Petani kopi di Sumsel kesulitan memasarkan produknya karena sektor hilir banyak membatasi aktivitas akibat pandemi Covid. Hal ini berdampak pada melonjaknya pasokan dan anjloknya harga.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pandemi Covid-19 di Sumatera Selatan berdampak pada sulitnya petani kopi menyalurkan produknya ke sektor hilir. Hal ini akhirnya berdampak pada penurunan harga kopi yang cukup signifikan. Pemerintah mengimbau agar petani tidak menjual dulu kopinya sampai harga membaik.
Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Semendo, Mulustan, Jumat (15/5/2020), mengatakan, sejak pandemi ini mulai merebak di Sumatera Selatan pada Februari lalu, harga kopi terus turun. Padahal, saat ini belum memasuki masa panen. Untuk kopi robusta, misalnya, saat ini harganya hanya berkisar Rp 15.000 per kg. Sebelum pandemi, harga bisa mencapai Rp 20.000 per kg.
Adapun untuk kopi jenis arabika, harganya sekitar Rp 30.000 per kg, jauh anjlok dibanding sebelum pandemi Covid-19 yang mencapai Rp 70.000 per kg. Harga arabika memang lebih tinggi dibandingkan robusta karena menggunakan skema petik merah. Sementara robusta kebanyakan adalah petik pelangi (asalan).
Mulustan mengatakan, penurunan harga ini disebabkan sulitnya mencari pasar lantaran banyaknya sektor hilir yang harus membatasi atau bahkan menutup aktivitasnya akibat kebijakan pembatasan sosial dari pemerintah. Salah satu pasar petani adalah warung kopi atau kafe yang ada di wilayah Palembang.
Namun, saat ini, kebanyakan kafe tutup karena kebijakan pembatasan sosial dan larangan berkerumun. ”Padahal, saat ini, kafe itulah yang menjadi salah satu sumber pasar bagi petani,” kata Mulustan. Tidak hanya di Palembang, kesulitan dalam menyalurkan kopi juga terjadi di sejumlah pasar lain, seperti Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Lampung.
Saat ini, petani belum memasuki masa panen raya. Panen robusta baru berlangsung pada Agustus 2020 dan arabika dimulai bulan ini. Namun, jika kondisi ini terus berlangsung hingga masa panen, petani akan kian kesulitan karena pasokan melimpah. ”Kami berharap situasi ini segera pulih sehingga proses penjualan kopi tetap lancar,” kata Mulustan.
Ketua Dewan Kopi Sumatera Selatan Zain Ismed mengungkapkan, saat ini petani dihadapkan pada kenyataan terbatasnya pasar. Padahal, Sumsel dapat menghasilkan 150.000-180.000 ton kopi per tahun.
Selama ini, petani bersandar pada sektor hilir kopi yang terus berkembang di Sumsel. ”Bayangkan, di Palembang saja setidaknya ada 200 kafe yang berdiri. Jika sebagian besar tutup, ke mana lagi petani akan memasarkan produknya,” kata Zain.
Tidak hanya itu, untuk kebutuhan ekspor pun, proses distribusi terkendala transportasi, apalagi sebagian besar kopi Sumsel diekspor melalui Lampung. ”Untuk menyalurkan barang ke Lampung saja saat ini sulit, apalagi ke negara lain,” ucapnya.
Jangan sampai petani terpaksa menjual kopinya dengan harga murah.
Menghadapi situasi ini, menurut Zain, pihaknya berharap petani jangan dulu menjual kopinya. Kalaupun harus dilakukan karena terdesak kebutuhan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan semua pemilik kafe untuk membeli dan menyimpan kopi tersebut.
Di sisi lain, Zain berharap pemerintah memberikan bantuan bagi petani selama petani tidak menjual kopinya. ”Jangan sampai petani terpaksa menjual kopinya dengan harga murah,” katanya.
Dia menambahkan, pemerintah sebenarnya memiliki program untuk mengatasi permasalahan ini, yakni sistem resi gudang. Sistem ini menyimpan komoditas sampai harga kembali membaik. Hanya saja, menurut Zain, program ini tidak berjalan optimal lantaran petani lebih memilih jual cepat agar bisa cepat mendapat uang.
Kepala Bidang Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (P2HP) Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Arpian mengungkapkan, sebenarnya saat ini penurunan harga kopi tidak terlalu signifikan. Namun, pasokan sedang berlebih karena petani kesulitan memasarkan kopinya.
Harga kopi di sejumlah daerah produsen kopi di Sumsel beragam, contohnya harga robusta sekitar Rp 15.000-Rp 18.000 per kg. Untuk menghadapi kondisi ini, Rudi menyarankan petani tidak buru-buru dalam memetik kopi.
”Petiklah biji kopi saat sudah merah,” ungkapnya. Untuk robusta petik merah, harga di Kabupaten Lahat bisa mencapai Rp 40.000 per kg.
Untuk itu, dia berharap petani tidak buru-buru menjual kopinya. Apalagi, kopi yang telah diolah dapat bertahan hingga satu tahun. Selain itu, petani diminta melakukan tahapan penjemuran yang benar sehingga kualitas kopi bisa lebih baik.