Relaksasi PSBB Kota Tegal Picu Pergerakan Orang dari Zona Merah
Relaksasi pembatasan sosial berskala besar di Kota Tegal, Jateng, memicu pergerakan masyarakat dari daerah lain di sekitarnya. Pemerintah Kota Tegal diminta memastikan masyarakat tidak abai dengan protokol kesehatan.
Oleh
KRISTI UTAMI
·4 menit baca
TEGAL, KOMPAS — Relaksasi aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Kota Tegal, Jawa Tengah, mulai Jumat (16/5/2020), mesti disertai edukasi kepada warga untuk tetap tertib menjalankan protokol pencegahan Covid-19. Pada hari pertama relaksasi, mobilitas keluar-masuk dari wilayah lain terpantau menjadi lebih padat dan sulit terkontrol.
Setelah berhasil menekan pertambahan jumlah pasien Covid-19 dan menurunkan status daerah dari zona merah ke zona hijau, Pemerintah Kota Tegal memutuskan untuk merelaksasi sejumlah aturan dalam PSBB.
Relaksasi diwujudkan dengan membuka sejumlah ruas jalan yang selama ini ditutup pembatas beton, penyalaan kembali lampu penerangan jalan, pencabutan aturan pembatasan waktu operasional pusat perbelanjaan yang sebelumnya hanya sampai pukul 20.00 WIB, dan pencabutan aturan larangan restoran hanya melayani makan di tempat.
Berdasarkan pantauan Kompas, sepanjang Jumat, arus lalu lintas di sejumlah ruas jalan, seperti Jalan Sultan Agung, Jalan Mayjend Sutoyo, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Dr Cipto Mangunkusumo, dan Jalan Kolonel Sugiono, padat. Jalan-jalan tersebut adalah jalan yang menghubungkan Kota Tegal dengan Kabupaten Tegal serta Kabupaten Brebes. Pada hari-hari sebelumnya, jalan-jalan tersebut lengang karena aksesnya dibatasi pembatas beton.
Masyarakat dari daerah-daerah di sekitar Kota Tegal yang selama PSBB dibatasi akses masuknya mulai kembali hilir mudik. Sejumlah pusat perbelanjaan yang sebelumnya sepi juga tampak lebih ramai. Di Pacific Mall Tegal, misalnya, antrean pembeli di depan kasir salah satu toko tampak mengular. Jarak fisik antarpembeli juga kurang dari setengah meter.
Saat akan masuk ke dalam mal, para pengunjung memang diminta mencuci tangan, disterilkan dengan cairan disinfektan, dan dicek suhu tubuhnya. Mereka yang tidak bermasker juga diminta memakai maskernya.
Setelah melewati pintu pemeriksaan, sebagian pengunjung melepaskan masker yang dipakai dan menggantungkannya di leher. Bahkan, sebagian pengunjung memasukkan masker ke dalam tas.
Namun, setelah melewati pintu pemeriksaan, sebagian pengunjung melepaskan masker yang dipakai dan menggantungkannya di leher. Bahkan, sebagian pengunjung memasukkan masker ke dalam tas.
”(Maskernya) saya lepas karena (saya) tidak bisa bernapas dengan lega kalau memakai masker. Bagi saya, tidak pakai masker tidak masalah karena saya sehat, tidak sedang demam, flu, atau batuk,” kata Sandra (23), warga Adiwerna, Kabupaten Tegal, saat ditemui di salah satu pusat perbelanjaan di Kota Tegal, Jumat petang.
Sandra menyambut baik adanya relaksasi PSBB yang dilakukan Pemkot Tegal. Sebab, sudah tiga minggu dirinya tidak bisa dengan bebas berkunjung ke Kota Tegal karena akses menuju daerah tersebut dibatasi pembatas beton. Sebelum pandemi, Sandra selalu berkunjung ke Kota Tegal setiap akhir pekan.
Ari (33), warga Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, juga bersyukur dengan relaksasi PSBB di Kota Tegal. Relaksasi PSBB Kota Tegal membuat dirinya memiliki alternatif tempat berbelanja barang-barang untuk keperluan Lebaran.
”Biasanya (saya) belanja di Cirebon, tapi di sana mal-mal tutup karena Covid-19. Alhamdulillah, mal-mal di Kota Tegal buka, jadi saya bisa belanja kebutuhan Lebaran di sini,” ucap Ari.
Hingga Jumat malam, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes yang merupakan tetangga Kota Tegal masih berstatus sebagai zona merah. Di Kabupaten Brebes, sebanyak 23 orang masih dikarantina dan dirawat karena positif Covid-19. Adapun di Kabupaten Tegal ada tiga pasien positif Covid-19 yang masih dirawat.
Pemkot Tegal harus bisa memastikan masyarakat memahami bahwa relaksasi tidak sama dengan pembebasan.
Secara terpisah, pengamat kebijakan publik Universitas Pancasakti Tegal, Hamidah Abdurrachman, mengatakan, Pemkot Tegal harus mengimbangi pelonggaran aturan PSBB dengan pengetatan pengawasan terhadap penerapan protokol kesehatan. Pemkot Tegal harus bisa memastikan masyarakat memahami bahwa relaksasi tidak sama dengan pembebasan.
”Yang bahaya dari relaksasi adalah ketika hal ini dipahami sebagai sebuah kebebasan bagi masyarakat. Jangan sampai masyarakat berpikir, mereka bisa mengabaikan protokol kesehatan karena daerah mereka dinyatakan sebagai zona hijau Covid-19,” tutur Hamidah.
Selain pengetatan pengawasan dan edukasi kepada masyarakat terkait makna relaksasi, Pemkot Tegal juga disarankan melakukan tes massal. Tes massal, menurut Hamidah, bisa membuktikan bahwa status zona hijau yang saat ini disandang oleh Kota Tegal bukan merupakan status semu. Sebab, dari sekitar 240.000 warga Kota Tegal, baru sekitar 2.000 orang yang sudah dites.
”Kota Tegal juga harus bersiap dengan adanya kemungkinan gelombang kedua. Persiapkan rumah sakit dan kelangkapannya, persiapkan tempat karantina bagi pemudik, serta pastikan tenaga medis terlindungi,” imbuh Hamidah.
Wakil Wali Kota Tegal Muhamad Jumadi mengatakan, tes massal sulit dilakukan karena keterbatasan biaya, keterbatasan jumlah alat tes, dan keterbatasan reagen. Saat ini, segala jenis tes, baik tes usap tenggorok (swab test) maupun tes cepat (rapid test), diprioritaskan bagi tenaga medis, pasien yang memiliki gejela mirip Covid-19, dan kontak erat pasien positif Covid-19.
Jumadi menambahkan, pihaknya akan mengevaluasi relaksasi PSBB setiap hari untuk menguji efektivitasnya. Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tegal juga akan dikerahkan untuk berpatroli, memastikan protokol kesehatan dijalankan dengan baik oleh warga.