Komnas HAM Menilai Pilkada pada Desember 2020 Tidak Rasional
Komnas HAM meminta aspek keselamatan dan kualitas dijadikan pertimbangan untuk tidak memaksakan pilkada pada Desember 2020. Pilkada dinilai lebih rasional digelar pada 2021 setelah pandemi Covid-19 mereda.
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan pemilihan kepala daerah pada Desember 2020 dinilai tidak rasional di tengah kondisi penyebaran Covid-19 yang masih tinggi. Apalagi, sejumlah daerah baru memberlakukan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Pilkada dinilai lebih memungkinkan untuk berlangsung pada 2021 setelah pandemi Covid-19 mereda.
Sementara itu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada mengamanatkan Pilkada 2020 diselenggarakan Desember. Ini hanya mundur tiga bulan dari jadwal semula, 23 September 2020. Jika pilkada berlangsung Desember, tahapan pilkada sudah kembali dimulai Juni.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, sebelumnya juga mengingatkan kasus positif Covid-19 hingga hari ini masih tinggi. Dikhawatirkan, jika pilkada serentak di 270 daerah dilanjutkan tahapannya dan tetap diselenggarakan tahun ini, akan membuat pandemi Covid-19 di Indonesia kian sulit dikendalikan (Kompas, 15/5/2020).
Komnas HAM melihat, dengan angka positif virus korona yang masih tinggi hari ini. Apalagi Lebaran dan orang bergerak ke mana-mana, bahkan masih ada daerah melakukan PSBB, tahapan kelanjutan pilkada di Juni tidak meyakinkan, tidak make sense (masuk akal).
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Amiruddin, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (15/5/2020), mengatakan, pilkada pada Desember 2020 masih sangat berisiko, baik dari kualitas pilkada maupun aspek keselamatan masyarakat. Oleh karena itu, menurut dia, pilkada seyogianya dilaksanakan setelah kondisi darurat kesehatan benar-benar berakhir.
Baca juga: Pilkada Berisiko Memperparah Pandemi
”Komnas HAM melihat, dengan angka positif virus korona yang masih tinggi hari ini, apalagi Lebaran dan orang bergerak ke mana-mana, bahkan masih ada daerah melakukan PSBB, tahapan kelanjutan pilkada pada Juni tidak meyakinkan, tidak make sense (masuk akal),” ujar Amiruddin.
Berdasarkan data Satuan Tugas Covid-19, kasus positif di Indonesia masih tinggi. Hingga Jumat, ada 16.496 kasus positif di Indonesia. Adapun pada Rabu (13/5/2020), ada 689 kasus baru positif virus korona. Angka itu merupakan penambahan harian terbesar sejak kasus pertama terkonfirmasi di Tanah Air, 2 Maret. Kamis (14/5/2020), penambahan kasus positif Covid-19 mencapai 568 kasus. Pada Kamis, Kementerian Kesehatan juga baru menyetujui PSBB di lima kabupaten/kota di Provinsi Riau.
Tim Pemantau Pilkada 2020 Komnas HAM, tutur Amiruddin, meminta kepada pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu agar pilkada di 270 daerah dilaksanakan pada 2021. Sebab, saat ini, kondisi psikologis dan ekonomi masyarakat sedang tidak dalam batas normal. Akibatnya, kampanye yang disampaikan oleh peserta pemilu tidak dilihat secara rasional.
”Kalau dalam situasi tertekan, khawatir, penuh ketakutan seperti sekarang ini, kami membayangkan kemampuan masyarakat untuk mencerna apa yang dikampanyekan nanti sangat kurang. Implikasinya, legitimasi hasil pilkadanya kurang. Jadi, kalau ingin mendapatkan legitimasi yang cukup, tunda sampai 2021. Jadi, masyarakat diberi ruang untuk recovery,” ucap Amiruddin.
Jika pilkada tetap dipaksakan digelar pada Desember 2020, Amiruddin mengkhawatirkan fenomena jatuhnya korban jiwa, seperti pada Pemilu 2019, akan terulang kembali. Sebab, sejumlah tahapan akan melibatkan interaksi banyak orang.
”Kita belajarlah dari pengalaman yang tempo hari itu. Makanya, Komnas HAM dari awal mengingatkan betul penyelenggara pemilu. Jangan sampai petugasnya di lapangan, yang kontak langsung itu, menjadi korban. Karena itu, kami minta agar menimbang secara rasional,” kata Amiruddin.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, lebih dari 400 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal pada Pemilu 2019. Sebagai pembanding, pada Pemilu 2014, Ketua KPU 2012-2016 (alm) Husni Kamil Manik menyatakan, ada 157 korban jiwa selama penyelenggaraan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden.
Potensi malapraktik
Sementara itu, peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Moch Nurhasim, menilai, potensi malapraktik terbuka lebar jika pilkada tetap digelar Desember 2020. Salah satunya pada tahap verifikasi syarat dukungan calon perseorangan.
Akibat pandemi dan pemberlakuan PSBB di sejumlah daerah, verifikasi syarat dukungan berpotensi tidak berjalan optimal. Padahal, tahapan itu menentukan lolos atau tidaknya calon perseorangan. Jika tak diantisipasi, itu bisa menjadi obyek gugatan.
”Tingkat kemungkinan malapraktik pada tahap ini bisa terjadi karena berdasarkan pengalaman pada situasi normal saja, dari sejumlah kasus pada pilkada serentak sebelumnya, verifikasi syarat dukungan pasangan perseorangan ini banyak menimbulkan sengketa,” ujar Nurhasim.
Potensi malapraktik lain, menurut Nurhasim, ialah pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih. Persoalan ini menjadi salah satu isu krusial dalam sejarah pemilu di Indonesia karena basis data pemilih selalu berbeda dan sering menimbulkan perselisihan antara penyelenggara dan peserta pemilu.
”Salah satu tingkat kesulitan dalam pilkada mendatang adalah jika Covid-19 tidak usai, bagaimana dengan pemilih yang merantau atau tinggal di luar wilayah provinsi atau kabupaten yang menyelenggarakan pilkada,” kata Nurhasim.
Potensi malapraktik selanjutnya, lanjut Nurhasim, ada pada tahap penghitungan suara. Peserta Pilkada 2020, baik calon dari partai maupun perseorangan, harus memenuhi target untuk menyediakan saksi di setiap tempat pemungutan suara (TPS). Namun, di tengah situasi PSBB, itu akan mempersulit calon mencari saksi. Kendala serupa bisa dialami oleh pengawas pemilu.
Dievaluasi
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyampaikan, Komisi II akan mengevaluasi kelanjutan tahapan pilkada bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu pada Juni mendatang. Keputusan perpanjangan atau tidaknya status bencana nasional terkait pandemi Covid-19 pada 29 Mei mendatang akan menjadi acuan dalam evaluasi itu.
”Jadi, semua nanti kami lihat informasi terakhir dari pemerintah,” ujar Doli.
Jika situasi pandemi belum terkendali, Doli menuturkan, tak menutup kemungkinan pilkada ditunda hingga 2021 demi keselamatan masyarakat. Namun, dia juga mengatakan tak tertutup kemungkinan bahwa pilkada akan digelar di sejumlah daerah yang telah terkendali pandeminya. Oleh karena itu, dia meminta kepada Menteri Dalam Negeri agar terus berkoordinasi dengan Gugus Tugas Covid-19 untuk memetakan daerah-daerah tersebut.
”Petakan sekarang daerah-daerah mana, terutama daerah pilkada, yang sudah melewati batas puncak sehingga mungkin daerah-daerah itu bisa dilaksanakan dengan skenario KPU. Namun, jika tidak bisa dijangkau dengan skenario KPU, ya kami akan cari alternatif lain, salah satunya mungkin kami tunda,” ucap Doli.
Dalam rapat kerja bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu nanti, Doli mengungkapkan, KPU juga akan dimintakan skenario detail tahapan kelanjutan pilkada jika pilkada tetap digelar Desember 2020. Tentunya, tanpa mengurangi kualitas demokrasi dan mengedepankan protokol kesehatan.
Doli juga meminta agar KPU menghitung detail jika terjadi pembengkakan anggaran akibat penambahan protokol kesehatan. Ada dua hal yang akan dilakukan jika terjadi pembengkakan anggaran.
Pertama, subsidi silang. Artinya, sisa anggaran dari hasil tahapan yang dimodifikasi dimasukkan ke tahapan lain yang membutuhkan dana lebih besar. Kedua, jika cara itu tak memungkinkan, harus dicari solusinya, entah dikembalikan kepada pemerintah daerah atau diambil alih pemerintah pusat.
”Harus ada pembicaraan khusus, ini menjadi tanggung jawab siapa? Kalau diambil alih pemerintah pusat, ya, dicarikan jalan keluarnya. Kami akan koordinasikan juga nanti dengan Menteri Keuangan,” kata Doli.