Program Dinilai Tak Transparan, Sejumlah Pihak Desak Program Pembibitan Sapi di Aceh Diusut
Program pembibitan dan penggemukan sapi di Provinsi Aceh menghabiskan anggaran ratusan miliar rupiah. Namun, hingga empat tahun belum ada manfaat bagi daerah dan publik. Justru banyak sapi yang mati dan sakit.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS – Sejumlah pihak mendesak transparansi program pembibitan dan penggemukan sapi milik Pemerintah Provinsi Aceh. Mereka juga mendorong agar aparat penegak hukum turut mengusut proyek tersebut. Program itu diduga menghabiskan anggaran ratusan miliar, namun hasilnya tak tampak.
Program pembibitan sapi itu dikelola Dinas Peternakan Aceh dipusatkan di UPTD Inseminasi Buatan Inkubator (IBI) Saree, Kabupaten Aceh Besar. Program itu dimulai pada 2016, namun hingga Juni 2020 belum ada kontribusi bagi daerah baik swasembada daging maupun pendapatan asli daerah.
Kepala Ombudsman Provinsi Aceh Taqwaddin Husin, Minggu (7/6/2020) menuturkan dia telah meninjau lokasi pembibitan sapi milik Pemprov Aceh itu. Fakta yang dia temukan sangat mengejutkan karena sebagian besar sapi dari 490 ekor kondisinya kurus kering.
“Sapinya banyak yang kurus karena kurang pakan. Ini patut kita pertanyakan, kemana anggaran pakan konsentrat dan pakan hijau,” kata Taqwaddin.
Sapinya banyak yang kurus karena kurang pakan. Ini patut kita pertanyakan, kemana anggaran pakan konsentrat dan pakan hijau
Pada Jumat (5/6/2020), Kompas datang langsung ke lokasi pembibitan sapi itu. Sebagian besar sapi memang terlihat kurus kering, tulang iga menonjol, dan kurang pakan. Bukan hanya indukan, anakan juga terlihat kurus. Namun ada juga sebagian sapi yang terlihat gemuk. Sapi kurus dan gemuk kandangnya dipisah.
Taqwaddin mendesak agar Pemprov Aceh menjelaskan secara utuh kepada publik terkait program itu mulai dari pengadaan sapi, perawatan, hingga pemanfatan. Ombudsman menginformasikan bahwa sampai saat ini belum ada kontribusi terhadap daerah. “Belum ada payung hukum tentang pemanfaatan sapi tersebut sebagai Penghasilan Asli Daerah (PAD), jadi hanya dipelihara saja,” kata Taqwaddin.
Informasi yang dihimpun oleh Ombudsman pengadaan sapi dilakukan pada 2016 dan 2017 dengan menghabiskan anggaran mencapai Rp 22 miliar. Jumlah sapi yang yang dibeli mencapai 700 ekor. Sebagian sapi jantan dan sebagian sapi betina. Jenis sapi peranakan ongole, limosin, simental, brahman, bali, dan sapi lokal.
Setiap tahun Pemprov Aceh menggelontorkan ratusan juta untuk pengadaan pakan. Pada 2018 anggaran pakan Rp 800 juta, 2019 Rp 400 juta, dan 2020 sebesar Rp 1,5 miliar.
“Setelah dipelihara empat tahun mengapa jumlah sapi berkurang, seharusnya bertambah. Saya berharap kejaksaan dan kepolisian mengusut permasalahan ini,” kata Taqwaddin.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian menilai program pembibitan sapi Pemprov Aceh gagal. Pasalnya realisasi tidak sesuai dengan besaran anggaran yang dihabiskan. Catatan Alfian, pada 2019 dan 2020 jumlah anggaran untuk program pembibitan dan penggemukan sapi di Aceh mencapai Rp 158 miliar.
“Hasilnya tidak diketahui, padahal satu rupiah uang rakyat harus dipertanggungjawabkan,” kata Alfian.
Alfian mengatakan program pembibitan sapi itu menjadi contoh buruknya kinerja Pemprov Aceh mulai perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. “Polisi harus mengusut tuntas kasus ini. Kami menduga ada potensi penyalahgunaan anggaran di sana,” kata Alfian.
Ketua Masyarakat Pengawal Otonomi Khusus Aceh Syakya Meirizal anggaran pengadaan dan perawatan sapi itu menggunakan dana otonomi khusus. Syaksa merasa prihatin dana kompensasi konflik itu digunakan tanpa ada hasil bagi publik.
Kehadiran UPTD pembibitan sapi awalnya diharapkan bisa menghasilkan bibit sapi unggul untuk memenuhi kebutuhan peternak di seluruh Aceh. “Jika dikelola dengan benar, harusnya jumlah sapi dilokasi ini sudah mencapai 2 kali lipat dari volume awal,” ujar Syakya.
Kepala Dinas Peternakan Aceh Rahmandi menuturkan sebagian sapi mati karena kekurangan pakan dan sakit, namun Rahmandi tidak ingat berapa jumlah sapi yang mati. Sejak Maret 2020 hingga Juni 2020 sapi di UPTD itu tidak diberikan konsentrat karena anggaran pengadaan konsentrat dan pakan belum cair.
“Ada perubahan harga sehingga tidak bisa ditender, maka direvisi. Sekarang tinggal menunggu pengadaan konsentrat dan penghijauannya,” kata Rahmandi.
Rahmandi optimis setelah anggaran pengadaan konsentrat dan pengadaan pakan dicairkan kondisi sapi di UPTD itu akan kembali sehat. Rahmandi membantah jumlah sapi kurus lebih banyak daripada sapi yang sehat. “Hanya 10 persen yang kurus,” kata Rahmandi.
Rahmandi menambahkan pembibitan sapi itu berpotensi menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD). Namun, dia mengakui saat ini belum ada sumbangsih PAD dari program itu karena belum regulasi tentang pemanfaatan. “Peraturan gubernur (Pergub) sedang disusun,” kata Rahmandi.