Tren peningkatan kasus Covid-19 di sejumlah daerah menjadi ”alarm” untuk lebih meningkatkan penapisan, penelusuran kontak, dan penyediaan infrastruktur kesehatan yang memadai.
Oleh
TIM KOMPAS
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beberapa pekan ke depan menjadi krusial bagi sejumlah daerah karena diprediksi menjadi puncak pandemi Covid-19. Langkah antisipatif mutlak disiapkan untuk menghadapi puncak pandemi.
Jumlah kasus positif Covid-19 terus meningkat seiring kian gencarnya tes massal di sejumlah daerah. Di Sulawesi Selatan, Tim Gugus Tugas Covid-19 sudah melakukan 26.417 tes reaksi berantai polimerase (PCR). Adapun kemampuan pemeriksaan tes PCR di Sulsel per hari 60 sampel per 1.000.000 penduduk.
Pada Senin (15/6/2020), jumlah positif Covid-19 di Sulsel naik menjadi 2.941 kasus, bertambah 101 kasus dari hari sebelumnya. Sekitar 70 persen kasus berada di Makassar.
Tempat-tempat publik saat ini sudah semakin ramai.
Pakar epidemiologi Universitas Hasanuddin, Ridwan Amiruddin, mengatakan, berdasarkan penelitian dan penghitungan epidemiologi, puncak pandemi terjadi di Sulsel pada akhir Juni hingga awal Juli. Adapun di Makassar, puncak pandemi diprediksi mulai pekan ketiga.
Di Sumatera Utara, selama Juni terjadi penambahan kasus lebih dari dua kali lipat, yakni dari 417 kasus menjadi 932 kasus. Selain karena penapisan yang lebih masif dilakukan, Kepala Dinas Kesehatan Sumut Alwi Mujahit Hasibuan mengakui peningkatan kasus juga dipicu pelaksanaan protokol kesehatan yang belum maksimal. Puncak pandemi di Sumut diperkirakan terjadi pada Juni.
Alwi mengingatkan, Sumut sama sekali belum memasuki normal baru. Protokol kesehatan seharusnya semakin ketat melihat kasus yang semakin tinggi. ”Namun, yang terjadi di lapangan justru seolah-olah tidak ada pandemi Covid-19 di Sumut. Tempat-tempat publik saat ini sudah semakin ramai,” kata Alwi.
Banyaknya kasus positif yang ditemukan membuat pemerintah setempat harus mempersiapkan lebih banyak lagi rumah sakit. Rumah sakit rujukan Covid-19 di Sumut kini diaktifkan semua, yakni RSUP H Adam Malik, RS Martha Friska Multatuli, RS Martha Friska Brayan, dan RS dr GL Tobing.
Langkah percepatan penanganan Covid-19 dilakukan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dengan menggencarkan penapisan dan pelacakan. Sebelumnya, penanganan kasus di Kalsel mendapat sorotan dari gugus tugas penanganan Covid-19 di tingkat pusat.
”Kami mendorong penguatan puskesmas untuk percepatan penanganan Covid-19 di kabupaten/kota melalui kegiatan tracking, tracing, dan tes yang lebih masif lagi. Sebab, Juni sampai Juli nanti masih upaya tracing,” kata Sekretaris Daerah Kalsel Abdul Haris Makkie yang juga Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kalsel.
Dengan gencarnya upaya pelacakan dan penapisan, puncak pandemi di Kalsel diproyeksi sekitar akhir Juli sampai Agustus. Rekapitulasi pada Senin sore menunjukkan ada penambahan 66 kasus positif Covid-19, menjadi 1.953 kasus.
Sulit diprediksi
Sementara itu, puncak pandemi Covid-19 di Kalimantan Tengah sulit diprediksi karena kelemahan data dari kabupaten. Apalagi, komitmen menjalankan pemeriksaan cepat, uji usap, dan penguatan rumah sakit di kabupaten masih rendah.
Ketua Harian Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kalteng Darliansjah mengungkapkan, semula puncak pandemi di Kalteng diprediksi terjadi pada September. Namun, melihat statistik yang terus berubah, pihaknya tidak yakin dengan analisis awal tersebut.
”Kami perkirakan akhir tahun mulai menurun. Namun, melihat kesiapan dan komitmen daerah yang kurang, analisis ini jadi tidak bisa dipakai. Meski begitu, kami terus melakukan analisis dalam beberapa hari ke depan,” katanya.
Kalteng kini fokus pada tiga upaya, yakni pemeriksaan cepat massal, uji usap, dan penguatan rumah sakit. Dari 14 kabupaten/kota di Kalteng, setidaknya ada 10 kabupaten yang belum melakukan pemeriksaan massal.
”Jadi, karena daerah itu kasusnya sedikit, mereka masih tenang-tenang saja, pemeriksaan juga tidak banyak. Kami dari provinsi akan terus melakukan pemeriksaan cepat, tetapi, kan, tidak bisa sekaligus, harus bertahap,” kata Darliansjah.
Ia menambahkan, 10 kabupaten itu masih melakukan pemeriksaan hanya kepada jaringan kontak. Di satu sisi, daerah-daerah tersebut belum memiliki kebijakan pembatasan sosial.
Di Jawa Timur, pelacakan kontak pasien Covid-19 belum dilakukan secara optimal. Hal ini terlihat dari perbandingan antara jumlah pasien positif dan kumulatif pasien dalam pengawasan dan orang dalam pemantauan, yakni 7.780 berbanding 34.912, atau sekitar 1:5. Artinya, dari satu pasien Covid-19, tim hanya mampu menelusuri kontak pasien selama dua pekan terakhir dengan orang lain maksimal 5 orang.
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan, idealnya pelacakan kontak dilakukan kepada 25 orang. Namun, sebagian besar daerah di Indonesia tidak mampu mencari sebanyak itu. Pelacakan tersebut sangat penting untuk memutus penularan sekaligus mencegah timbulnya kluster penularan baru.
Kami ingin menemukan sebanyak mungkin warga yang sudah terpapar.
”Tes dan pelacakan kontak menjadi kunci mencegah terjadinya gelombang kedua Covid-19 karena semua orang yang berpotensi menularkan sudah dilacak dan dites,” katanya.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, untuk mengantisipasi adanya kontak dekat yang belum ditemukan, pihaknya menggelar tes massal di kawasan yang ada kluster penularan. Tes menyasar warga di perkampungan dengan kasus positif lebih dari tiga.
Hingga Sabtu (13/6), tes cepat di Surabaya dilakukan terhadap 61.606 orang dengan kasus reaktif rata-rata 10,95 persen. Sementara tes usap tenggorokan sudah dilakukan kepada 8.214 orang dengan kasus positif rata-rata 25,43 persen dari orang yang diperiksa.
”Kami ingin menemukan sebanyak mungkin warga yang sudah terpapar, terlebih saat ini banyak orang tidak memiliki gejala yang sangat berpotensi menularkan ke orang lain,” tutur Risma.
Transmisi lokal
Dari Aceh dilaporkan, setelah melonggarkan aktivitas publik dalam masa normal baru, tujuh warga Kota Lhokseumawe terjangkit Covid-19 setelah dua orang di antaranya tertular saat berada di Medan, Sumatera Utara.
”Ini kasus transmisi lokal pertama di Aceh. Kami sedang menelusuri orang-orang yang pernah berinteraksi dengan pasien ini,” kata Kepala Dinas Kesehatan Lhokseumawe Said Alam Zulfikar.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh Safrizal Rahman menilai pertahanan Aceh akhirnya bobol setelah pemerintah memberikan kelonggaran bagi warga untuk beraktivitas. Pelonggaran aktivitas tanpa dibarengi dengan penegasan penerapan aturan justru menjadi ancaman. ”Saya khawatir, kalau masyarakat tidak patuh, Aceh akan memulai episode Covid-19,” katanya.