Warga Diimbau Tinggalkan Kawasan Konservasi
Warga yang berladang di dalam kawasan konservasi di sekitar konflik harimau-manusia di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, diimbau untuk meninggalkan kawasan itu.
PADANG, KOMPAS — Warga yang berladang di dalam kawasan konservasi di sekitar konflik harimau-manusia di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, diimbau untuk meninggalkan kawasan itu. Selain riskan akan konflik satwa-manusia, berladang di dalam kawasan konservasi juga melanggar hukum.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumbar Erly Sukrismanto, Kamis (18/6/2020), mengatakan, sebagai solusi jangka panjang konflik harimau-manusia di Kabupaten Solok, warga diminta tidak lagi berladang dalam kawasan konservasi. BKSDA Sumbar juga bakal berupaya merehabilitasi ladang yang telanjur dibuka di dalam kawasan itu.
”Memang (solusi itu) belum sampai pada titik keputusan kapan akan dilaksanakan. Tetapi, kami sudah mengimbau agar kegiatan-kegiatan di dalam kawasan hutan konservasi dihentikan karena melanggar aturan. Masyarakat, kan, yang memasuki kawasan harimau,” kata Erly.
Sebelumnya, tiga ekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), diperkirakan induk dan dua anak, berulang kali masuk ke perladangan dan meresahkan warga sejak 7 Mei 2020. Bukan hanya di Nagari Gantuang Ciri, harimau-harimau itu juga menampakkan diri atau terlihat jejaknya di Nagari Jawi-Jawi dan Nagari Koto Gaek, Kecamatan Gunung Talang.
Baca juga : Dua Harimau Sumatera Masih Berkeliaran di Perladangan Kabupaten Solok
Lokasi perladangan warga yang berada di area penggunaan lain (APL) berdekatan dengan Hutan Lindung Bukit Barisan dan Suaka Margasatwa Barisan. Dua lokasi ladang tempat harimau menampakkan diri bahkan sudah masuk kawasan hutan lindung dan suaka margasatwa (Kompas.id, 10/6/2020).
Satu anak harimau tertangkap pada Sabtu (13/6) siang dan dievakuasi untuk direhabilitasi di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PR-HSD) di Kabupaten Dharmasraya, Sumbar. Harimau betina yang diberi nama Putri Singgulung, tertangkap di sekitar Bukit Singgulung, itu berumur sekitar satu tahun dengan panjang sekitar 1 meter.
Selain meminta masyarakat meninggalkan kawasan konservasi, kata Erly, BKSDA juga segera memasang tanda peringatan di sekitar suaka margasatwa. Tujuannya agar masyarakat sadar bahwa kawasan itu hutan konservasi sehingga tidak boleh ada aktivitas masyarakat, seperti berladang, di dalamnya.
Erly melanjutkan, terkait hasil ladang yang bakal dipanen dalam jangka pendek, balai memberikan kesempatan kepada warga untuk panen dan setelah itu tidak diperkenankan lagi masuk. Adapun untuk tanaman tua, seperti cengkeh dan avokad, tidak perlu ditebang. Dalam hal pengambilan hasilnya, balai akan membicarakannya lebih lanjut dalam konteks kemitraan di dalam kawasan hutan konservasi.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Bukit Barisan Bambang Suyono berharap agar warga meninggalkan ladang yang sudah masuk ke dalam kawasan hutan lindung itu. Walaupun demikian, tidak tertutup kemungkinan warga memanfaatkan kawasan itu melalui skema perhutanan sosial.
Tidak tertutup kemungkinan warga memanfaatkan kawasan itu melalui skema perhutanan sosial.
”Masyarakat bisa didorong mengurus izin perhutanan sosial. Bisa jadi hutan desa, hutan nagari, atau kemitraan kehutanan. Namun, kami berharap tidak ada lagi konflik antara manusia dan satwa di sana. Kalau memang ke depan terjadi konflik lagi, itu jadi bahan pertimbangan kami. Ada apa di sana?” kata Bambang.
Perlahan
Wali Nagari Gantuang Ciri Hendri Yuda mengatakan belum mengambil sikap terkait adanya permintaan agar warga meninggalkan ladang yang sudah berada dalam kawasan hutan. Saat ini, pihaknya fokus pada penangkapan ataupun pengusiran harimau dari ladang di kawasan APL.
Secara prinsip, Hendri setuju bahwa kawasan hutan, terutama hutan konservasi, tidak boleh diganggu. Namun, warga tidak bisa langsung disuruh meninggalkan ladang tersebut. Warga perlu diberi pemahaman secara perlahan-lahan. Sejauh ini, warga tidak paham ternyata ladang mereka sudah masuk kawasan hutan karena kurang mendapat sosialisasi.
”Sambil lambat-lambat diberikan sosialisasi. Di kampung, (soal lahan) ini masalah sensitif. Kalau sudah selesai masalah harimau ini, baru usahakan pelan-pelan memberikan pengertian kepada masyarakat. Tidak bisa dipergegas. Latar belakang cara berpikir dan ekonomi warga berbeda,” kata Hendri.
Menurut Hendri, sejak dulu, sebenarnya profesi warga sekitar adalah bersawah, bukan berladang. Namun, seiring waktu dengan semakin banyaknya penduduk, sedangkan lahan sawah cenderung berkurang, warga mau tidak mau beralih menggarap ladang. Sekarang, dapat dikatakan, jumlah warga yang bersawah dan berladang seimbang.
Baca juga : Kemunculan Harimau Sumatera di Ladang Resahkan Warga Solok
Dengan latar belakang demikian, kata Hendri, penyelesaian konflik harimau-manusia ini tidak bisa dengan meminta warga meninggalkan ladang di hutan. Perlu juga dipikirkan bersama bagaimana agar ada solusi warga tidak kehilangan mata pencarian.
Mulai menjauh
Kepala Resor Konservasi Wilayah Solok BKSDA Sumbar Afrilius mengatakan, hingga Kamis, petugas masih mengupayakan menangkap dua harimau tersisa. Perangkap masih dipasang di ladang dalam APL di Jorong Beringin, Nagari Gantuang Ciri. Jarak lokasi perangkap sekitar 300 meter dari Hutan Lindung Bukit Barisan dan 1 kilometer dari Suaka Margasatwa Barisan. Dari permukiman, jarak perangkap sekitar berkisar 3-4 kilometer.
Dari permukiman, jarak perangkap sekitar berkisar 3-4 kilometer.
Menurut Afrilius, dalam dua hari terakhir, harimau-harimau itu tidak menampakkan diri atau tidak terlihat jejak keberadaannya. Di dua nagari lain, keberadaan harimau juga tidak ditemui warga. Tiga hari lalu, jejak-jejak harimau masih terlihat berkisar 50-100 meter dari perangkap. ”Saya berharap harimau-harimau kembali ke hutan dan tidak kembali ke ladang,” kata Afrilius.
Afrilius melanjutkan, petugas dibantu masyarakat masih berjaga-jaga di posko yang jaraknya berkisar 600-700 meter dari perangkap ke arah permukiman. Tujuannya mengawasi warga agar tidak beraktivitas di ladang dari lokasi perangkap ke arah hutan. Meskipun tanda-tanda keberadaan harimau mulai hilang, kondisi belum benar-benar aman.
Penangkapan harimau dimulai sejak Selasa (9/6). Kata Afrilius, sebelumnya petugas sudah berupaya mengusir harimau kembali masuk ke hutan dengan bunyi-bunyian meriam karbit. Namun, harimau masih menampakkan diri atau terlihat jejaknya di perladangan warga. Kondisi ini membuat warga resah, apalagi saat ini sedang musim panen cengkeh. Petugas akhirnya berupaya menangkap harimau-harimau itu.
Di PR-HSD, Kabupaten Dharmasraya, Sumbar, Putri Singguluang sudah menjalani proses rekam medik, Selasa (16/6). Kondisi Putri secara keseluruhan sangat baik dan tidak ditemukan kelainan fisik. Berat badan harimau betina itu 49,3 kilogram, panjang tubuh dari kepala sampai pangkal ekor 101 sentimeter, panjang tubuh dari kepala sampai ujung ekor 175 sentimeter. Selain itu, sampel darah dan feses juga diambil.
Baca juga : Harimau yang Tertangkap di Solok Direhabilitasi di PR-HSD
”Kami sudah melaporkan hasil rekam medis ke BKSDA Sumbar dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selanjutnya, Putri menjalani masa karantina selama 14 hari untuk observasi kesehatan dan perilaku. Paralel kegiatan ini dilakukan dengan persiapan survei lokasi lepas liar untuk mempersiapkan Putri bisa segera kembali ke alam bebas,” kata Catrini Pratihari Kubontubuh, Direktur Eksekutif Yayasan Arsari Djojohadikusumo, pengelola PR-HSD, Kamis pagi.
Berulang
Konflik harimau sumatera dan manusia berulang kali terjadi di Sumbar. Berdasarkan data BKSDA Sumbar, terjadi 52 kasus konflik harimau dan manusia, yaitu dua kasus pada 2019 dan 50 kasus pada 2018. Sementara itu, dalam periode 2005-2019 (tidak termasuk tahun 2017), ada 135 kasus konflik harimau dan manusia. Konflik tersebut mulai dari harimau masuk permukiman/perladangan, harimau kena jerat, harimau diracun/diburu, harimau menyerang ternak, hingga harimau menyerang manusia.
Menurut Erly, konflik harimau-manusia terjadi akibat adanya invasi kegiatan manusia ke habitat harimau. Aktivitas itu antara lain penebangan liar dan perburuan liar satwa. Perburuan liar satwa dengan jerat atau anjing pemburu, misalnya, menyebabkan mangsa harimau semakin berkurang. Oleh sebab itu, harimau keluar hutan untuk mencari makan dengan memangsa ternak.
Selain itu, harimau juga memiliki daerah jelajah seluas 100 kilometer2. Harimau bakal berkeliling di wilayah jelajah itu. Karena sangat luas, harimau baru sampai di salah satu titik wilayah jelajahnya beberapa waktu kemudian dan kawasan itu sudah dikuasai manusia.
Ketika harimau berjalan-jalan di wilayah yang dulu merupakan wilayah jelajahnya, tetapi sekarang sudah jadi ladang dan permukiman, dianggap harimau masuk ladang. (Erly Sukrismanto)
”Ketika harimau berjalan-jalan di wilayah yang dulu merupakan wilayah jelajahnya, tetapi sekarang sudah jadi ladang dan permukiman, dianggap harimau masuk ladang. Padahal, dia sedang berjalan-jalan di rumahnya sendiri yang sudah dihuni oleh manusia baik secara legal maupun ilegal,” ujar Erly.
Kata Erly, warga mesti tahu pola keberadaan harimau sehingga bisa menghindar. Erly telah meminta anggotanya untuk mencari pola kemunculan harimau. Apakah beberapa tahun sebelumnya harimau pernah muncul, misal 6, 10, 12 tahun lalu. Jika ada pola, harimau akan muncul lagi beberapa tahun kemudian sesuai polanya.
Erly menambahkan, warga juga mesti memahami karakteristik harimau yang tidak akan mengganggu manusia jika ia tidak diganggu. Jika berjumpa harimau, warga jangan kaget dan langsung lari, tetapi pergi perlahan diam-diam. Warga diminta tidak sendirian beraktivitas di ladang. ”Yang jelas, jangan berkegiatan di kawasan konservasi,” kata Erly.