Empat Penjual ”Offset” Harimau Sumatera dan Beruang Madu di Aceh Diringkus
Empat tersangka penjual ”offset” bagian tubuh harimau sumatera dan beruang madu diringkus aparat Polda Aceh. Tanpa penegakan hukum yang tegas, kepunahan satwa dilindungi itu bisa terjadi dalam waktu singkat.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Empat tersangka penjual offset bagian tubuh harimau sumatera dan beruang madu diringkus aparat Polda Aceh. Tanpa penegakan hukum yang tegas, kepunahan satwa dilindungi itu bisa terjadi dalam waktu singkat.
Dalam penangkapan itu, polisi menyita offset atau bagian tubuh yang diawetkan dari harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), di antaranya 1 kulit, 4 taring, dan tulang belulang Selain itu, ada juga empat taring dan 20 kuku beruang madu (Helarctos malayanus). Menurut Badan Konservasi Dunia (IUCN), organisasi internasional untuk konservasi sumber daya alam, keduanya masuk kategori rentan dan populasinya terus menurun.
Direktur Direktorat Kriminal Khusus Polda Aceh Komisaris Besar Margiyanta, Senin (22/6/2020), mengatakan, empat tersangka itu adalah MR (43), A (47), MD (50), dan S (45). Mereka ditangkap Rabu (17/6/2020) di Kecamatan Pante Bidari, Aceh Timur. Saat konferensi pers digelar, empat tersangka dan barang buktinya ditampilkan polisi.
Margiyanta menuturkan, para tersangka adalah pelaku utama. Tugas mereka beragam, mulai dari memasang jerat, mengawetkan organ satwa, hingga mencari pembeli. Saat dalam proses mencari pembeli, semuanya ditangkap terlebih dahulu oleh polisi. ”Mereka profesional dan kemungkinan bagian jaringan (perdagangan satwa). Semuanya terancam hukuman maksimal 5 tahun penjara,” kata Margiyanta.
Sejak 2015 hingga 2020, Polda Aceh menangani 33 kasus kejahatan terhadap satwa lindung, lima kasus merupakan perdagangan offset harimau. Menurut Margiyanta, bagian tubuh harimau harganya lebih tinggi dan jadi incaran jaringan perdagangan gelap. ”Kami berkali-kali berpesan, lindungi harimau karena itu milik kita dan dunia. Aceh rumah terakhir. Jika diburu, suatu saat punah,” kata Margiyanta.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto menuturkan, perburuan menjadi ancaman terbesar keberlangsungan hidup harimau dan satwa lindung lain di Aceh. Berdasarkan data terakhir, jumlah individu harimau di Aceh 197 ekor. Hewan dilindungi itu tersebar di Hutan Ulu Masen dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Selain harimau, populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) juga paling banyak mati karena dibunuh. Dalam beberapa kasus sebelumnya pelaku yang ditangkap hanya pemain lapangan. Pembeli atau penampung kerap tidak terdeteksi batang hidungnya.
Dalam beberapa kasus sebelumnya pelaku yang ditangkap hanya pemain lapangan. Pembeli atau penampung kerap tidak terdeteksi batang hidungnya.
Agus menuturkan, konflik harimau dengan manusia juga sedang terjadi di kawasan Aceh Selatan dan Subulussalam. Harimau berada di kawasan permukiman sehingga dapat mengancam keselamatan manusia dan harimau sumatera. Teranyar, dua harimau direlokasi ke Taman Nasional Gunung Leuser.
Dari data BKSDA Aceh periode 2007-2019, konflik harimau dengan manusia terjadi 98 kali. Kawasan paling sering terjadi konflik ada di Kabupaten Aceh Selatan. Sebanyak sembilan warga tewas dan puluhan ternak mati diterkam harimau. Sementara enam harimau mati karena terkena jerat.
Koordinator Wildlife Protection Team-Forum Konservasi Leuser (WPT-FKL) Dediansyah menuturkan, kurun waktu 2014-2018, mereka menemukan 5.529 perangkap dan jerat satwa di hutan. Jerat dan perangkap sengaja dipasang pemburu.
Bentuk jerat dan perangkapnya beragam. Ada yang terbuat dari baja sling, papan yang dipasangi paku, dan jeruji besi yang dilas. Satwa lindung yang diburu, kata Dediansyah, di antaranya, gajah, harimau, rusa, beruang, rangkong, dan orangutan.
Dediansyah mengatakan, perburuan marak karena penegakan hukum dan perlindungan satwa di dalam kawasan masih lemah. Pemburu dengan mudah masuk ke dalam kawasan dan memburu satwa lindung.
”Permintaan terhadap organ satwa di pasar gelap tinggi sehingga perburuan juga marak. Tanpa penegakan hukum yang tegas, satwa lindung ini akan punah,” kata Dediansyah.