Eksploitasi Ribuan Ton Telur Ikan Terbang di Perairan Maluku Tak Terlaporkan
Ribuan ton telur ikan terbang dieksploitasi dari perairan Seira, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku. Eksploitasi berlebihan dan tanpa pelaporan itu dianggap bagian dari IUU Fishing.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Ribuan ton telur ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus) dieksploitasi dari perairan Seira, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku. Eksplotasi oleh ratusan kapal ikan yang didominasi dari luar daerah itu dinilai berlebihan sehingga mengancam populasi ikan terbang. Kegiatan penangkapan itu pun dikategorikan sebagai bagian dari praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau IUU Fishing.
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kepulauan Tanimbar F Batlayeri, lewat sambungan telepon kepada Kompas di Ambon, Rabu (1/7/2020), mengatakan, dalam catatan pemerintah, sebanyak 152 kapal beroperasi mengambil telur ikan terbang. Data itu baru dihimpun dalam satu bulan terakhir. Selama ini, pengambilan telur ikan terbang tidak diawasi pemerintah.
Ia menuturkan, pengambilan telur ikan biasanya dilakukan selama lebih kurang empat bulan setiap tahun, terhitung sejak Mei. Periode itu merupakan musim ikan terbang bertelur. Dalam satu bulan, masing-masing kapal bisa mendapatkan hingga 1 ton telur ikan. Dengan demikian, dalam satu bulan total telur ikan yang dieksploitasi mencapai 152 ton.
Jika dihitung empat bulan, jumlah yang diambil dari periran Seira itu mencapai 608 ton. ”Bayangkan, ini sudah berlangsung sejak tahun 2012. Sudah berapa banyak,” ujar Batlayeri. Artinya, dalam delapan tahun terakhir, telur ikan terbang yang diambil mencapai ribuan ton.
Menurut Batlayeri, telur ikan terbang itu dijual ke sejumlah pengusaha di Saumlaki, ibu kota Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Harga 1 kilogram mencapai Rp 400.000 atau berarti Rp 400 juta per ton. Artinya, dalam empat bulan, satu kapal bisa meraup hingga Rp 1,6 miliar. ”Masyarakat lokal yang ikut kapal, satu minggu bisa bawa pulang uang hingga belasan juta rupiah,” katanya.
Telur ikan terbang itu lalu dijual ke pengusaha di Surabaya, kemudian diedarkan ke sejumlah restoran. Di aplikasi jual-beli dalam jaringan, harga 50 gram telur ikan terbang senilai Rp 19.499. Sebagian besar telur ikan terbang diekspor ke sejumlah negara, seperti Jepang dan Korea Selatan. Telur ikan terbang mengandung protein dan lemak yang tinggi.
Semua kapal yang mengambil telur ikan tidak melaporkan kepada pemerintah daerah sehingga tidak ada manfaat bagi daerah.
Batlayeri mengatakan, semua kapal yang mengambil telur ikan tidak melaporkan kepada pemerintah daerah sehingga tidak ada manfaat bagi daerah. Data hasil tangkapan itu baru diketahui setelah pihaknya melakukan pendataan beberapa waktu lalu. Ia mengakui, sejauh ini, negara kehilangan potensi pendapatan dari telur ikan terbang.
Pada tahun 2017, Kompas pernah mendapatkan sejumlah nelayan dari luar Maluku yang mengambil telur ikan di perairan Seira dekat Pulau Ngolin. Pengambilan telur ikan itu dengan cara menghanyutkan daun kelapa di atas permukaan air laut. Ikan terbang kemudian datang melepas telurnya hingga menempel di daun kelapa itu. Warna telur yang kuning keemasan membuat telur ikan terbang kerap disebut ”emas laut”.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon Alex Retraubun berpendapat, eksploitasi telur ikan terbang secara berlebihan menyebabkan menurunnya populasi ikan terbang. Ia mendorong perlunya penelitian untuk mengukur keseimbangan eksosistem di daerah yang berada di tepian Laut Banda itu. Keluhan nelayan terkait minimnya hasilnya tangkapan menjadi salah satu indikator.
Lebih dari itu, menurut Alex, eksploitasi itu masuk dalam kategori penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing). Dalam konteks ini, kasus di Tanimbar masuk dalam kategori tidak dilaporkan. Pemerintah diharapkan secepat mungkin melakukan penertiban. ”Ini masuk dalam kategori kejahatan perikanan. Di perairan Maluku, IUU Fishing sangat tinggi,” katanya.
Tokoh agama di Pulau Seira Pastor Stanislaus D Layan, MSC, mengatakan, eksploitasi telur ikan yang didominasi nelayan dari luar Maluku menimbulkan reaksi di tengah masyarakat. Sebagian masyarakat menolak kehadiran kapal-kapal itu. Alasannya, hasil tangkapan ikan layang berkurang.
Selain itu, muncul pula masalah kecemburuan sosial. Sementara itu, ada kelompok masyarakat yang mendukung, terutama mereka yang memiliki wilayah adat. Kelompok ini mendapatkan jatah dari kapal ikan.
Selain itu, ada juga kelompok warga lokal yang mengeluh gagal panen rumput laut. Kapal penangkap telur ikan dalam jumlah banyak membuang oli dan air bercampur minyak sehingga mencemari rumput laut milik warga lokal. ”Kondisi ini harus dikelola secara baik karena berpotensi menimbulkan konflik. Sekarang tergantung pada pemerintah,” kata Stanislaus.
Wilayah perairan Seira masuk kategori perairan subur di Maluku. Selain perikanan tangkap, di sana juga cocok untuk budidaya. Hasil laut lainnya yang terkenal adalah teripang. Masyarakat setempat menyandarkan hidup mereka pada sektor perikanan. Mereka membiayai hidup dan pendidikan anak dari hasil laut.
Pulau Seira masuk Kecamatan Wermaktian, berada di sisi barat Pulau Yamdena. Untuk mencapai Pulau Seira, dibutuhkan perjalanan dengan kapal laut dari Saumlaki sekitar 1 jam.