Dokter Residen Universitas Sam Ratulangi Tuntut Keringanan Biaya Kuliah
Para dokter residen Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, menuntut pemangkasan biaya kuliah yang dianggap memberatkan selama pandemi Covid-19. Pihak universitas menawarkan skema bayar kuliah dengan mencicil.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Para dokter residen Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, menuntut pemangkasan biaya kuliah yang dianggap memberatkan selama pandemi Covid-19. Pihak universitas menawarkan skema bayar kuliah dengan mencicil.
Lebih dari 50 mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) menggelar aksi untuk kedua kali, Jumat (24/7/2020), di area kampus. Sebelumnya, mereka menggelar aksi pada Selasa (21/7/2020). Membawa beberapa poster bertuliskan seruan penurunan biaya kuliah, mereka berjalan dari gerbang kampus menuju gedung rektorat sebelum ditemui beberapa wakil rektor di luar gedung.
Koordinator Forum Komunikasi Residen Fakultas Kedokteran (FK) Unsrat dr Jacob Pajan mengatakan, biaya operasional pendidikan (BOP) yang mereka tanggung setiap semester sebesar Rp 24 juta, salah satu yang tertinggi di Indonesia. Di masa pandemi Covid-19, Jacob mengklaim, para dokter tidak ada pemasukan lain sehingga kesulitan membayar BOP.
Pendapatan residen sebagai dokter pun berkurang karena lesunya ekonomi selama pandemi. Di saat yang sama, tenggat pembayaran BOP semakin dekat, yaitu Minggu (26/7/2020).
”Siapa yang pendapatannya tidak berkurang selama pandemi ini? Kami selama ini tidak pernah dibayar sebagai residen. Karena itu, kami minta keringanan BOP agar bisa tetap bisa menjalani pendidikan dan memberikan pelayanan untuk masyarakat Sulut di rumah sakit pendidikan dan jejaringnya,” kata Jacob.
Di saat yang sama, para residen juga harus menghadapi risiko terkena Covid-19. Namun, para dokter residen Unsrat tidak pernah mendapatkan insentif atas jasa mereka, termasuk pelayanan Covid-19. Padahal, menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 392 Tahun 2020, dokter yang mengikuti penugasan khusus residen di rumah sakit berhak mendapatkan insentif maksimal Rp 10 juta per bulan atau Rp 5 juta per bulan jika bekerja di puskesmas.
”Kami residen tidak pernah dapat insentif itu hingga kini. Kami tidak masalah karena selama ini tidak pernah dapat. Namun, kami membutuhkan keringanan BOP,” katanya.
Menurut Jacob, sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi adalah biaya penyelenggaraan Pendidikan Tinggi (SSBOPT) yang mengatur keringanan biaya kuliah. Namun, Unsrat menyatakan peraturan itu tidak dapat digunakan memangkas BOP PPDS.
”Rektor berdalih, peraturan itu tidak bisa dipakai. Padahal, universitas lain bisa memangkasnya secara mandiri, termasuk dua universitas yang berstatus badan layanan umum (BLU). Kami malah diminta mengajukan keringanan sendiri ke pemerintah,” katanya.
Menurut Jacob, seharusnya universitas yang mengajukan permohonan keringanan tersebut. Ia juga mengatakan, jika tuntutan para residen PPDS tidak dikabulkan, ada kemungkinan 477 orang yang kini aktif kuliah akan melakukan cuti massal sehingga pelayanan kesehatan di rumah sakit pendidikan bisa terganggu.
Menanggapi tuntutan tersebut, Wakil Rektor II Bidang Akademik Unsrat Prof Grevo Gerung mengatakan, Permendikbud No 25/2020 tidak bisa digunakan sebagai instrumen hukum untuk menurunkan besaran BOP PPDS karena hanya mengatur uang kuliah tunggal (UKT) mahasiswa sarjana dan diploma. Aspirasi para residen PPDS itu telah disampaikan lewat forum rektor universitas negeri se-Indonesia.
”Kami sudah mengusulkan, tetapi yang keluar aturan yang seperti itu. Ada 130-an universitas se-Indonesia yang mengusulkan itu. Lalu apa yang bisa kami lakukan? Tidak mungkin kami mengganti keputusan menteri,” katanya.
Di saat yang sama, Unsrat tidak bisa memangkas BOP secara sepihak. Sebab, Unsrat berstatus BLU, bukan perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH). Karena itu, pihaknya hanya dapat mengambil keputusan sesuai ketetapan Kemendikbud.
Grevo pun meminta para mahasiswa PPDS tidak egois. Sebab, ada sekitar 4.000 mahasiswa pascasarjana S-2, S-3, ataupun profesi di bidang lain yang tetap bisa membayar BOP. Ia menegaskan, Unsrat memiliki 526 mahasiswa PPDS dan sekitar 200 orang di antaranya telah membayar BOP sebesar Rp 24 juta.
Sebagai solusi, kata Grevo, universitas menawarkan penundaan tenggat pembayaran menjadi 5 Agustus mendatang. Para mahasiswa juga diperbolehkan membayar dua kali, yaitu 50 persen di awal dan 50 persen sisanya maksimal 5 Oktober mendatang.
Kami sudah mengusulkan, tetapi yang keluar aturan yang seperti itu. Ada 130-an universitas se-Indonesia yang mengusulkan itu. Lalu apa yang bisa kami lakukan? Tidak mungkin kami mengganti keputusan menteri.
”Ini demi kelancaran studi PPDS juga. Kami bahkan sudah minta insentif dari Pemprov Sulut untuk teman-teman mahasiswa PPDS. Harusnya ada upaya juga dari PPDS, bukan hanya bikin demo,” katanya.
Dekan FK Unsrat Billy Kepel menambahkan, universitas harus patuh pada aturan yang telah ditetapkan kementerian. Yang diperbolehkan saat ini hanyalah skema cicilan pembayaran BOP. ”Ada hierarki yang harus kita patuhi,” katanya.
Jika memang tidak sanggup membayar, Billy dan Grevo menyarankan mahasiswa mengajukan cuti akademik. ”Itu adalah hak mahasiswa jika memang tidak bisa mencicil biaya kuliah,” katanya.
Billy menambahkan, ia sudah mengirim daftar nama dokter residen yang turut menjadi garda terdepan perlawanan terhadap pandemi Covid-19. Ada insentif yang akan diberikan pada mereka. ”Namun, saya tidak tahu besarannya, tergantung pelayanan Covid-19 yang residen berikan,” katanya.