Selain muncul kluster Covid-19 di kantor pemerintahan, muncul juga kluster di kantor swasta di Kalimantan Timur. Penerapan protokol kesehatan tak bisa dikendurkan di dalam ruangan.
Oleh
SUCIPTO
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Selain muncul kluster Covid-19 di kantor pemerintahan, muncul juga kluster di kantor swasta di Kalimantan Timur. Penerapan protokol kesehatan tak bisa dikendurkan di dalam ruangan sebelum Covid-19 benar-benar dinyatakan hilang.
Di Kota Balikpapan, muncul kluster Bank BTPN yang hingga Selasa (28/7/2020) terdapat 15 pasien di kluster ini. Akibatnya, Bank BTPN Kantor Cabang Balikpapan ditutup sementara selama tujuh hari untuk memeriksa kontak erat pasien positif. Selain karyawan, di kluster ini juga terdapat anggota keluarga karyawan yang terkonfirmasi positif Covid-19.
”Bank BTPN sudah ditutup sementara tujuh hari. Nanti kita lihat perkembangan tingkat kesembuhannya. Setelah pasien dinyatakan sembuh, kemudian mereka melakukan isolasi mandiri 14 hari,” kata Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi.
Setelah fase pelonggaran kegiatan dilakukan sejak Juni, area perkantoran di Balikpapan mulai memberlakukan kerja di kantor bertahap. Jumlah karyawan di setiap ruangan dibatasi maksimal 50 persen. Selain itu, setiap kantor perlu menyediakan fasilitas tempat cuci tangan, kewajiban menggunakan masker bagi karyawan, dan mengatur jarak kursi antarpekerja.
Di Samarinda, kluster kantor dan pekerja migas mendominasi jumlah pasien Covid-19 mulai minggu kedua Juli. Saat ini, tercatat 102 pasien terkonfirmasi positif di Samarinda yang menjalani perawatan di rumah dan di rumah sakit. Dari jumlah itu, 61 kasus merupakan kluster kantor dan pekerja migas.
Terdapat empat kluster dari kantor pemerintahan di Samarinda, yakni kluster DPRD Provinsi Kaltim (6), kluster KT2 (13), kluster Pemkot Samarinda (6), dan kluster Pemprov Kaltim (22). Penularan Covid-19 juga terjadi di area perkantoran nonpemerintah di Samarinda yang membentuk kluster BUMN PT LEN dengan jumlah 2 pasien. Adapun kasus pekerja migas membentuk kluster Tanjung Aru yang berjumlah 12 kasus.
Munculnya kluster di perkantoran dan pekerja migas di Samarinda membuat ibu kota Kaltim ini memasuki puncak epidemik kedua. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Kota Samarinda Ismed Kusasih mengatakan, berdasarkan kurva epidemiologi Samarinda, puncak pertama terjadi pada April dan kembali menunjukkan peningkatan drastis mulai Juli. Peningkatan kasus ini terjadi setelah adanya pelonggaran kegiatan fase ketiga.
”Kini Samarinda berada di puncak epidemik kedua. Beberapa pasien melakukan isolasi mandiri di masyarakat. Kami fokus pada pemutusan mata rantai kluster dengan telusur kontak melalui masyarakat yang dipimpin oleh pemerintahan kecamatan,” kata Ismed.
Peningkatan kasus pada Juli ini membuat pemeriksaan spesimen di tiga laboratorium di Kaltim berjalan tidak maksimal. Hal itu terjadi karena adanya peningkatan spesimen yang harus diuji. Hasil uji laboratorium beberapa spesimen baru keluar seminggu kemudian karena banyaknya spesimen yang perlu diperiksa. Padahal, hasil uji laboratorium biasanya keluar dalam satu sampai tiga hari.
Kini Samarinda berada di puncak epidemik kedua. Beberapa pasien melakukan isolasi mandiri di masyarakat.
Saat ini, pemeriksaan spesimen pasien di Kaltim dengan alat reaksi rantai polimerase (PCR) dilakukan di RSUD AW Syachranie Samarinda, RS Pertamina Balikpapan, dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Laboratorium Kesehatan Daerah Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim.
”Kami coba meningkatkan kapasitas laboratorium yang ada agar pemeriksaan bisa dilakukan lebih cepat,” kata Pelaksana Tugas Dinas Kesehatan Kalimantan Timur Andi M Ishak.
Andi mengatakan, konsep penelusuran kontak erat juga diperbarui agar semakin cepat. Petugas kesehatan yang diturunkan untuk melacak kontak erat dipilih berdasarkan domisili petugas kesehatan. Mereka dibantu pemerintah kecamatan dan kelurahan agar mudah untuk mewawancarai dan mengidentifikasi kontak erat.
Sebelumnya, pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman, Ike Anggraeni, mengatakan, pengawasan dan penerapan protokol kesehatan di Kaltim seharusnya bisa fokus di pusat keramaian dan kantor. Sebab, transportasi umum belum banyak di Kaltim.
Ia menilai, meningkatnya kasus dan munculnya kluster di area perkantoran perlu menjadi bahan evaluasi untuk menentukan kebijakan pelonggaran dan pengetatan. ”Apa saja yang perlu dikaji ulang dalam kebijakan pelonggaran kegiatan ini. Kita bisa contoh Korea. Ketika di sana muncul beberapa kasus baru saja, mereka langsung pikir ulang (melakukan pelonggaran). Sekolah diliburkan dan melakukan kajian lagi,” kata Ike.