Dinyatakan Positif Covid-19, Prosedur Penjemputan Aktivis di Samarinda Dipertanyakan
Prosedur penjemputan pasien Covid-19 di Samarinda dipertanyakan. Tiga aktivis dijemput dan dinyatakan positif Covid-19 oleh petugas tanpa ada surat hasil uji laboratorium.
BALIKPAPAN, KOMPAS — Sejumlah aktivis lingkungan hidup dan lembaga bantuan hukum di Samarinda, Kalimantan Timur, mempertanyakan kejanggalan prosedur penjemputan tiga aktivis yang dinyatakan positif Covid-19. Disebutkan akan dirawat di rumah sakit, petugas penjemput tidak bisa menunjukkan surat keterangan hasil uji laboratorium dan surat tugas.
Dalam siaran pers daring yang digelar Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Timur, Sabtu (1/8/2020), ketiga aktivis itu memberikan penjelasan. Mereka adalah Direktur Eksekutif Walhi Kaltim Yohana Tiko, aktivis Lembaga Bantuan Hukum Samarinda Bernard Marbun, dan pengacara publik Fathul Huda.
Tiko menjelaskan, pada Rabu (29/7/2020) pukul 16.00 Wita, petugas dari Dinas Kesehatan Kota Samarinda datang ke kantor Pokja 30 yang bersebelahan dengan kantor Walhi Kaltim di Samarinda. Petugas itu menyatakan akan mengambil tes usap dengan metode sampel acak.
”Karena kami bersebelahan dengan kantor Pokja 30, kami juga diminta mengikuti tes usap. Kami ikut meski tak ada surat tugas yang ditunjukkan,” kata Tiko.
Ia mengatakan, petugas yang mengambil sampel tes usap tidak dilengkapi alat pelindung diri. Mereka mengambil sampel dari hidung dan tenggorokan orang di sana dengan hanya mengenakan masker.
Pada Kamis (30/7/2020) sekitar pukul 15.00 Wita, kantor kedua lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu didatangi petugas gabungan, yakni Satpol PP, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Samarinda, dan dari Dinas Kesehatan Kota Samarinda. Mereka kemudian melakukan penyemprotan disinfektan di sekitar lokasi kantor.
Baca juga: Kluster Perkantoran Masih Muncul di Kaltim
Setelah itu, petugas Satpol PP meminta izin untuk memeriksa ruangan di kedua kantor LSM itu. ”Kami mempersilakan untuk mengecek semua ruangan. Mereka menyangka kami menyembunyikan seseorang, tetapi tidak mereka temukan yang dicari,” kata Tiko.
Keesokan harinya, Jumat (31/7/2020) sekitar pukul 17.30 Wita, puluhan orang yang terdiri dari kepolisian, BPBD, pejabat kelurahan, serta beberapa warga datang kembali ke kantor kedua LSM itu. Salah seorang di antaranya mengatakan, Tiko, Fathul, dan Bernard positif Covid-19 sehingga perlu dirawat di rumah sakit.
Berdasarkan video yang direkam Walhi Kaltim, terlihat beberapa orang mengenakan alat pelindung diri berwarna putih; seorang berseragam safari abu-abu mengenakan pelindung wajah, masker, dan sarung tangan, seorang polisi berseragam, serta sisanya mengenakan kaus.
”Saat penjemputan itu, kami ingin melihat secara tertulis hasil tes usap. Namun, ketika penjemputan tidak ditunjukkan surat-surat itu,” kata Bernard.
Saat itu terjadi perdebatan antara tim penjemput dan aktivis yang dijemput. Para aktivis merasa dalam kondisi sehat tidak mengalami gejala Covid-19. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No HK 01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, orang tanpa gejala (asimtomatik) tidak perlu dirawat di rumah sakit. Mereka hanya perlu melakukan isolasi mandiri selama 10 hari.
Baca juga: Di Pasar, Perjuangan adalah Pelaksanaan Protokol Kesehatan
Bernard mengatakan, untuk menghindari keributan yang meresahkan warga sekitar, ketiga aktivis itu kemudian dibawa ke rumah sakit. Namun, mereka meminta surat hasil tes usap bisa ditunjukkan kepada mereka setibanya di rumah sakit.
Fathul Huda mengatakan, ketiga aktivis itu dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) IA Moeis Samarinda dengan ambulans. Sesampainya di rumah sakit, mereka dibawa ke ruang isolasi.
”Kami minta ditempatkan di ruangan sendiri. Kami mau ruangan yang terpisah dari pasien Covid-19 dan akan kami bayar mandiri. Kami juga meminta hasil tes Covid-19,” kata Fathul.
Saat itu tak ada petugas di rumah sakit yang mampu menunjukkan surat hasil tes usap bagi ketiga aktivis tersebut. Kemudian, seorang petugas rumah sakit datang menghampiri mereka. Petugas itu meminta mereka untuk mengisi surat jika tidak bersedia dirawat di rumah sakit. Namun, ketiganya menolak mengisi surat itu karena mereka belum mendapatkan surat keterangan positif atau negatif Covid-19.
Baca juga: Hadapi Virus Korona Baru, Pemerintah Mesti Transparan
Setelah itu, tidak ada lagi petugas rumah sakit, BPBD, kepolisian, atau dari Dinkes Kota Samarinda. Merasa dibiarkan begitu saja, mereka lantas memutuskan minta dijemput rekannya.
”Kami diantar ke safe house oleh rekan kami untuk melakukan isolasi mandiri sampai sekarang,” kata Fathul.
Mereka tetap melakukan isolasi mandiri meski belum mendapat surat keterangan resmi hasil uji laboratorium dari tes usap yang mereka ikuti. Ia mengatakan, hal itu dilakukan untuk mendukung upaya pencegahan Covid-19. Namun, ia meminta penegakkan aturan hendaknya tidak dilakukan dengan melanggar aturan.
Tiko mencurigai kejadian ini merupakan modus baru membungkam demokrasi. Ia mengatakan, ada beberapa advokasi yang tengah dilakukan ketiga aktivis yang dinyatakan positif Covid-19.
”Tanggal 4 Agustus ada putusan pengadilan dari kasus tumpahan minyak di Teluk Balikpapan. Kami juga menolak omnibus law dan RUU Cipta Kerja. Selain itu, kami menolak RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) Kaltim karena dokumennya tidak melindungi wilayah tangkap nelayan,” kata Tiko.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bidang Kedaruratan BPBD Samarinda Irfan membenarkan ada personelnya yang diturunkan menjemput warga terindikasi Covid-19 dan menyemprot disinfektan di kantor Walhi dan Pokja 30. Irfan mengatakan, mereka melakukannya setelah mendapat arahan dari Dinas Kesehatan Kota Samarinda.
”Kami dapat telepon untuk melakukan penjemputan. Itu pekerjaan yang biasa kami lakukan selama pandemi Covid-19,” kata Irfan ketika dihubungi.
Baca juga: Anak-anak Berkebutuhan Khusus Membingkai Masa Depan dari Rumah
Saat dikonfirmasi, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Kota Samarinda Ismed Kusasih mengatakan sedang sakit. Permintaan wawancara diminta diajukan kepada Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Kota Samarinda Osa Rafshodia.
Saat dihubungi, Osa enggan berkomentar banyak. Ia menyatakan sudah menjawab pertanyaan yang Kompas ajukan kepada jurnalis di Samarinda. Ia tidak mau menjawab ulang pertanyaan yang sama dan mengakhiri telepon. Dari rekaman wawancara yang diterima kompas.com, Osa mengatakan, pihak terkait di Samarinda tidak pernah memberikan bukti tertulis hasil uji laboratorium kepada pasien Covid-19.
”Biasanya SOP (prosedur standar operasi) kami, (pasien) ditelepon dan dari kelurahan itu kami beri tahu. Enggak pernah ada (bukti tertulis). Kalau kamu positif juga enggak ada hasil tertulis,” katanya.
Menanggapi tempat perawatan orang tanpa gejala, ia mengatakan, Covid-19 ini tidak hanya persoalan kesehatan. ”Ada juga aspek sosial yang harus diperhatikan. Saya tidak bisa membandingkan case by case,” kata Osa tanpa menjelaskan aspek sosial apa yang dimaksud.
Sebagai perbandingan, Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi dinyatakan positif Covid-19 pada Rabu (15/7/2020). Karena termasuk pasien tanpa gejala, Hadi menjalani karantina mandiri di rumah sesuai Keputusan Menkes No HK 01.07/MENKES/413/2020. Saat ini Hadi sudah beraktivitas di luar ruang dan sempat mengikuti prosesi pemotongan hewan kurban di Samarinda.
Pendiri laporcovid19.org, Irma Hidayanam mengatakan, semua petugas yang mengambil uji sampel seharusnya menggunakan alat pelindung diri lengkap. Itu merupakan pedoman resmi pengambilan sampel dan jika tidak dilakukan, akan sangat berbahaya bagi petugas laboratorium.
Ia mengatakan, biasanya pasien yang terkonfirmasi positif mula-mula akan mendapat pemberitahuan melalui SMS dari laboratorium yang memeriksa spesimen pasien. Keesokan harinya, pasien akan mendapat surat hasil uji laboratorium. ”Hak pasien untuk mendapatkan semua hasil apa pun dan dijamin oleh undang-undang kesehatan,” kata Irma.
Dalam Pasal 12 Ayat (2) dan Ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis menyebutkan, isi rekam medis merupakan milik pasien yang dibuat dalam bentuk ringkasan rekam medis. Dalam Pasal 12 Ayat (4), ringkasan rekam medis dapat diberikan, dicatat, atau diduplikat oleh pasien, yang diberi kuasa, atau keluarga pasien yang berhak.