Harimau sumatera semakin rentan berkonflik dengan manusia akibat invasi manusia ke habitat satwa. Padahal, dahulu manusia dan harimau hidup berdampingan berbagi alam.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
Ciuniang Nurantih panik dan berlari mengelilingi kandang berpagar kawat besi. Ia begitu risi dengan beberapa orang yang melintas di pinggir kandangnya. Beberapa kali ia menabrak pagar mencari celah untuk lari. Ciuniang, yang tak menemukan celah, pun balik mengaum untuk membela diri.
Menurut Manajer Operasional Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PR-HSD) Sauredi Simamora, harimau sumatera betina berumur sekitar dua tahun itu wajar merasa terancam. Manusia bukanlah mangsa satwa liar itu. Di alam liar, harimau sumatera cenderung menghindar jika bertemu manusia. Satwa ini menyerang jika benar-benar terdesak.
”Itu tanda Ciuniang merasa terancam. Hendak lari tidak bisa. Ia mengaum sebagai bentuk perlawanan,” kata Kartika Amarilis, Koordinator Tim Medis PR-HSD di Dharmasraya, Sumatera Barat (Sumbar), Senin (27/7/2020).
Ia mengaum sebagai bentuk perlawanan.
Sikap Ciuniang yang terganggu dengan kehadiran manusia ini menandakan bahwa satwa itu masih punya sifat liar. Sifat ini merupakan salah satu indikator harimau layak untuk kembali dilepasliarkan. Aspek lain yang diperhatikan adalah kesehatan fisik dan mental serta kemampuan berburu.
Ciuniang merupakan satu dari lima harimau sumatera yang direhabilitasi di PR-HSD, yang dikelola Yayasan Arsari Djojohadikusumo, agar siap dilepasliarkan. PR-HSD berada di tengah perkebunan kelapa sawit PT Tidar Kerinci Agung, sekitar 280 kilometer dari Padang, ibu kota Sumbar, ke arah selatan via jalan lintas tengah Sumatera.
Selain Ciuniang yang berasal dari Padang Pariaman, Sumbar, ada dua bersaudara Putra-Putri Singgulung yang berumur sekitar 1 tahun dari Solok, Sumbar; Ria (5) dari Indragiri Hilir, Riau; dan Corina (3,5) dari Pelalawan, Riau. Ciuniang dan Putra-Putri Singgulung ditempatkan di kandang perawatan. Adapun dua betina, yakni Ria dan Corina, ditempatkan di kandang habituasi yang semi-alami.
Harimau-harimau itu punya nasib yang sama. Satwa liar tersebut sama-sama terusir dari rimba akibat konflik dengan manusia.
Putra-Putri, misalnya, dievakuasi dari Nagari Gantuang Ciri, Kecamatan Kubung, Solok, pada 13 Juni 2020 dan 29 Juni 2020. Mereka berulang kali masuk ladang bersama induknya sejak 7 Mei 2020 dan meresahkan warga. Ladang yang dimasuki di antaranya masuk kawasan Hutan Lindung (HL) Bukit Barisan dan Suaka Margasatwa (SM) Barisan.
Sementara itu, Ciuniang dievakuasi dari Nagari Lubuk Alung, Kecamatan Lubuk Alung, Padang Pariaman, pada 13 Juli 2020. Ciuniang terpotret kamera perangkap sebagai pemangsa tujuh kambing di kandang di permukiman warga. Lokasinya 5-6 kilometer dari HL Bukit Barisan dan SM Barisan.
Ria punya cerita yang ironis. Sebelum dievakuasi dari wilayah PT Riau Indo Agro Palma (RIA), Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran, Indra Giri Hilir, pada 2 Mei 2020, Ria diduga pernah membunuh manusia. Perilaku menyimpang itu yang membuat Ria ditangkap.
Sementara Corina punya cerita yang amat naas. Kaki kanan depan terjerat kawat baja dan terluka dalam. Ia dievakuasi dari area Konsesi Hutan Tanaman Industri PT RAPP Blok Meranti, Kecamatan Teluk Meranti, Pelalawan, pada 29 Maret 2020.
Sauredi Simamora menjelaskan, luka di kaki kanan depan Corina sangat parah, bahkan tulangnya sampai kelihatan. Di awal masa perawatan, kondisi kesehatannya naik turun. Namun, akhirnya Corina bisa melewati masa kritis dan kondisi lukanya semakin membaik sehingga siap untuk dilepasliarkan.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar Erly Sukrismanto mengatakan, konflik harimau dan manusia terjadi akibat invasi manusia ke habitat satwa, antara lain, dalam bentuk penebangan liar dan perburuan liar. Perburuan liar satwa dengan jerat atau anjing pemburu, misalnya, menyebabkan mangsa harimau semakin berkurang. Harimau pun keluar hutan mencari makan dengan memangsa ternak warga.
Selain itu, harimau memiliki daerah jelajah seluas 100 kilometer persegi. Harimau berkeliling di wilayah jelajahnya yang karena sangat luas butuh waktu lama untuk kembali ke titik tertentu. Tidak aneh jika ketika satwa liar itu kembali, ternyata habitatnya berubah menjadi permukiman warga. ”Kemudian dianggap harimau masuk ladang. Padahal, dia sedang berjalan-jalan di rumahnya sendiri yang sudah dihuni manusia, baik secara legal maupun ilegal,” papar Erly.
Pelindung desa
Budayawan Minangkabau, Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto atau Mak Katik, berpendapat, bagi masyarakat Minangkabau, harimau merupakan pagar nagari atau pelindung desa. Harimau justru melindungi warga yang tersesat di rimba.
Mak Katik menuturkan, mamak rumah (saudara laki-laki dari istri) Mak Katik pernah mengalaminya. ”Harimau yang mengarahkan untuk turun ke permukiman. Di mana orang tersesat, ia mengaum di sana (agar jalur tidak ditempuh). Atau dipatahkannya ranting kayu untuk menghambat jalur yang salah. Akhirnya, orang yang tersesat sampai ke rumah,” kata Mak Katik.
Kisah lainnya, kata Mak Katik, serombongan warga kemalaman di rimba dan tidak bisa melanjutkan perjalanan pulang. Orang-orang itu membuat api unggun di tengah hutan. Dari pengakuan mereka, justru harimau yang menjaga mereka di rimba hingga pagi dari serangan hewan buas lainnya.
Relasi manusia dan harimau juga tergambar dari keberadaan silek (silat) di Minangkabau. Silek Minangkabau punya kuda-kuda rendah menyerupai gerakan harimau (Kompas, 26/7/2020). Kata Mak Katik, orang dahulu belajar basilek (bersilat) dari harimau.
Tak adil jika kebutuhan ekonomi jadi alasan manusia menggusur habitat harimau. Manusia dan harimau, bahkan seluruh makhluk di bumi, sama-sama punya kebutuhan untuk bisa bertahan hidup.
Oleh sebab itu, relasi baik antara manusia dan harimau perlu dijaga, salah satunya dengan terus mempertahankan kearifan lokal menjaga harmoni satwa liar dan manusia.