Banyak Kasus Kematian Gajah di Aceh Belum Terungkap
Sepanjang 2016-2020, jumlah gajah yang mati sebanyak 37 ekor. Penyebab kematian paling banyak karena konflik, baik diracun, disetrum, dijerat, maupun ditembak. Pada 2017, terjadi 103 konflik.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Setidaknya sepanjang 2014-2020 ada 17 kasus kematian gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis) di Provinsi Aceh yang belum terungkap apa penyebab dan siapa pelakunya. Deretan kasus itu menunjukkan perlindungan gajah masih lemah.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi ”Mengungkapkan Kematian Gajah di Aceh” bertepatan dengan Hari Gajah Sedunia, Rabu (12/8/2020). Diskusi itu diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh.
Kasubdit IV Tipiter Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Aceh Ajun Komisaris Besar Mulyadi menuturkan, pengungkapan kematian gajah butuh kerja ekstra karena proses penyelidikan berbeda dengan kriminal lain. ”Banyak kesulitan, salah satunya kejadian di hutan sehingga saksinya sudah ditemukan,” kata Mulyadi.
Kasus terbaru yang hingga kini belum terungkap adalah kematian lima gajah secara bersamaan karena terkena setrum listrik. Bangkai gajah ditemukan pada 2 Januari 2020 di kebun warga di Desa Tuwi Priya, Kecamatan Pasie Raya, Kabupaten Aceh Jaya. ”Kasus di Aceh Jaya masih penyelidikan. Namun, kami berkomitmen akan mengungkap kasusnya,” kata Mulyadi.
Banyak kesulitan, salah satunya kejadian di hutan, sehingga saksinya sudah ditemukan. (Mulyadi)
Mulyadi mengatakan kasus kejahatan terhadap satwa liar merupakan kriminal luar biasa. Namun, anggaran untuk penyelidikan minim sehingga tidak semua kasus bisa diungkap sampai tuntas.
”Selama ini kami banyak dibantu oleh LSM lingkungan karena anggaran kurang,” ujarnya.
Mulyadi menambahkan, penegakan hukum hanya upaya perlindungan pada hulu, tetapi selama persoalan hilir tidak tertangani, konflik satwa akan terus terjadi. Persoalan di hilir, seperti kerusakan habitat, pola pertanian yang keliru, dan perburuan.
Kepala Seksi I Konservasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Kamaruzzman mengatakan, sepanjang 2016-2020, jumlah gajah yang mati sebanyak 37 ekor. Penyebab kematian paling banyak karena konflik, baik diracun, disetrum, dijerat, maupun ditembak.
Eskalasi konflik juga cukup tinggi. Pada 2017, konflik terjadi 103 kali, pada 2018 sebanyak 73 kali, dan naik menjadi 107 pada 2019. Pada tahun ini hingga Agustus, jumlah konflik tercatat 76 kali.
Kewenangan aparat
Kamaruzzaman mengatakan, penegakan hukum kematian gajah merupakan kewenangan aparat penegak hukum. Sedangkan BKSDA menangani konflik dan penyelesaikan persoalan di tingkat tapak.
Untuk mengurangi konflik gajah, pihaknya sedang membangun benteng alami dan memasang pagar kejut (power fencing) pada area batas perkebunan dengan koridor gajah. Di Kabupaten Bener Meriah, dari 10 kilometer rencana pemasangan, telah dipasang 4 kilometer.
Pemasangan pagar kejut juga akan dilakukan di Kabupaten Pidie sepanjang 8 kilometer. Selain itu, BKSDA Aceh juga akan memasang kalung deteksi pergerakan pada gajah.
”Ini semua upaya kita menekan konflik gajah dengan manusia. Namun, kami berharap warga juga ikut menjaga kawasan hutan,” kata Kamaruzzaman.
Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Muhammad Daud mengatakan, hutan Aceh seluas 3 juta hektar merupakan rumah besar bagi ragam satwa lindung. Namun, posisi gajah liar sebagian besar berada di luar kawasan hutan sehingga konflik sering terjadi.
Untuk itu, Pemprov Aceh akan menetapkan kawasan ekosistem esensial (KEE) sebagai koridor gajah. Saat ini ada 10 kawasan hutan yang disiapkan sebagai KEE. Pengelolaan KEE mengutamakan keberlangsungan hidup satwa.