Konflik Harimau di Sumatera Tinggi karena Perebutan Ruang Hidup
Prevalensi konflik manusia dengan harimau di Sumatera dinilai masih tinggi. Kerusakan habitat harimau sumatera dinilai menjadi salah satu penyebab tingginya konflik antara manusia dan satwa liar tersebut.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
TANGGAMUS, KOMPAS — Prevalensi konflik manusia dengan harimau di Sumatera dinilai masih tinggi. Rusaknya habitat harimau sumatera dinilai menjadi salah satu penyebab tingginya konflik antara manusia dan satwa liar tersebut. Perebutan ruang hidup pun terjadi.
Hal itu mengemuka dalam kegiatan bincang-bincang bertajuk ”17 Agustus, Harimau, dan Kemitraan Konservasi” di Kabupaten Tanggamus, Selasa (18/8/2020). Acara itu dihadiri oleh Pelaksana Tugas Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Ismanto dan Kepala Balai Taman Nasional Way Kambas Subakir.
Selain para pembicara yang hadir secara langsung, perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga berpartisipasi melalui video konferensi. Kegiatan itu terlaksana atas kerja sama antara pemerintah dan sejumlah lembaga mitra konservasi, seperti Wildlife Conservation Society-Indonesia Program, dan Sumatran Tiger Project GEF-UNDP.
Kepala Subdirektorat Pengawetan Jenis Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK Sri Mulyani mengungkapkan, sepanjang 2020, tercatat ada 23 kali konflik antara manusia dan harimau di Sumatera. Konflik tersebut, antara lain, terjadi di Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.
Sri menilai tingginya prevalensi konflik manusia dengan harimau dipicu oleh perebutan ruang hidup. Aktivitas perambahan dan perburuan satwa liar juga memicu kerusakan habitat harimau sumatera sehingga memicu konflik.
Menurut dia, pemerintah sudah berupaya bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memitigasi konflik. ”Yang paling penting di tingkat tapak adalah menghimpun kemandirian dan kesadaran masyarakat untuk melakukan upaya konservasi,” kata Sri melalui video konferensi.
Yang paling penting di tingkat tapak adalah menghimpun kemandirian dan kesadaran masyarakat untuk melakukan upaya konservasi.
Populasi meningkat
Pelaksana Tugas Kepala Balai Besar TNBBS Ismanto menjelaskan, berdasarkan penelitian, kepadatan populasi harimau di kawasan TNBBS tergolong tinggi, yakni 2,8 individu per 100 kilometer persegi. Berdasarkan pemantauan kamera trap, populasi harimau di TNBBS juga diperkirakan bertambah. Indikasi adanya kelahiran alami harimau di alam terbuka muncul karena ada harimau remaja yang terpantau oleh kamera trap.
Berdasarkan hasil monitoring pada 2018, jumlah populasi harimau di TNBBS bagian utara diprediksi sekitar 18 ekor. Sementara di wilayah TNBBS bagian selatan, populasi harimau diprediksi berjumlah 37 ekor. Jumlah itu menunjukkan adanya peningkatan populasi dibandingkan tahun 1998-2003. Saat itu, populasi harimau di seluruh kawasan TNBBS diprediksi hanya 30-43 ekor.
Menurut Ismanto, prevalensi konflik antara manusia dan harimau di Lampung tidak begitu tinggi. Namun, maraknya perburuan masih menjadi ancaman terbesar bagi harimau.
Penguatan kelembagaan masyarakat menjadi kunci penting bagi keberhasilan mitigasi konflik satwa dengan manusia. (Subakir)
Selama ini, pemerintah bersama mitra melakukan patroli dan operasi jerat di dalam hutan untuk menekan aktivitas perburuan. Dalam setiap operasi, petugas masih kerap menemukan adanya jerat seling yang dipasang pemburu.
Seekor harimau terakhir kali dilaporkan terkena jerat di kawasan Batu Ampah, Kecamatan Suoh, Lampung Barat, pada 2019. Hingga kini, harimau itu masih berada di lembaga konservasi Lembah Hijau karena kaki depan bagian kanannya rusak.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah III Lampung Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung-Bengkulu Hifzon Zawahiri menuturkan, saat ini, kondisi harimau yang diberi nama ”Batua” sudah membaik. Namun, tim dokter hewan masih terus melakukan kajian terhadap sifat liar harimau itu. Jika tidak memungkinkan untuk dilepasliarkan, harimau itu dapat dijadikan indukan bagi pengembangbiakan harimau secara ex situ.
Kepala Balai TNWK Subakir menuturkan, penguatan kelembagaan masyarakat menjadi kunci penting bagi keberhasilan mitigasi konflik satwa dengan manusia. Di TNWK, misalnya, pengelola balai melibatkan warga sekitar hutan untuk membantu pemerintah mengamankan kawasan dan menjaga perburuan satwa.