Data Jomplang Kota Semarang yang Bikin Gamang
Ada perbedaan data signifikan pada jumlah kasus aktif di Kota Semarang, Jateng, antara data Satgas Covid-19 pusat dan pemerintah setempat. Selisihnya hingga 1.828 kasus. Kondisi ini tak ideal karena warga dibuat bingung.
Warga Kota Semarang, Jawa Tengah, beberapa hari terakhir dibuat bingung dengan perbedaan data kasus aktif Covid-19 yang jomplang, antara Satgas Covid-19 pusat dan Pemkot Semarang. Ketidaksinkronan data yang terus terjadi ini tak ideal. Apalagi, data menjadi acuan pengambilan kebijakan.
Pekan terakhir Agustus 2020, menurut data pada laman siagacorona.semarangkota.go.id, jumlah kasus aktif/dirawat/isolasi, berkisar 450-500 kasus. Ibarat petir di siang bolong, pada Senin (31/8/2020) sore, Satgas Covid-19 pusat mengumumkan jumlah yang jauh berbeda.
Juru bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito melalui konferensi pers yang disiarkan di kanal Youtube, Senin, menyampaikan, Kota Semarang menjadi kabupaten/kota dengan kasus aktif tertinggi di Indonesia, dengan 2.317 kasus. Daerah ini juga menjadi satu-satunya wilayah dengan kasus aktif di atas 2.000.
Baca juga: Data Covid-19 Pusat dan Jateng Lagi-lagi Tak Sama
Selanjutnya ada Jakarta Pusat (1.916), Kota Medan (1.432), Kota Surabaya (1.355), Jakarta Selatan (1.338), Jakarta Timur (1.327), Jakarta Utara (1.276), Kota Makassar (1.209), dan Jakarta Barat (1.135).
Data itu jauh beda dengan data pada laman siagacorona.semarangkota.go.id, Senin sore, yang menunjukkan ada 489 kasus aktif dan 143 kasus di antaranya merupakan warga ber-KTP luar Kota Semarang. Bukan hal kecil, ada selisih 1.828 kasus di antara kedua data tersebut.
Angka yang diumumkan Satgas Covid-19 pusat juga jauh berbeda dengan data pada laman corona.jatengprov.go.id, yang saat itu menunjukkan 678 kasus aktif di Kota Semarang.
Hingga Selasa (1/9/2020), belum ada kejelasan apa yang menyebabkan permasalahan itu. Pemkot Semarang meyakini pendataan yang dilakukan selama ini sudah sesuai kondisi nyata di lapangan. Sementara Satgas Covid-19 pusat mengatakan perbedaan data memang berpotensi terjadi.
Menanggapi kejanggalan selisih data itu, sejumlah warga pun gamang. ”Angka kasus aktif kok bisa simpang siur seperti itu? Kota Semarang disebut tertinggi se-Indonesia, jadi bikin deg-degan,” ujar Ferdianto (32), warga Kelurahan Kuningan, Semarang Utara.
Tyas (35), warga Kelurahan Lamper Kidul, Semarang Selatan, mengaku kaget setelah membaca pemberitaan berdasarkan konferensi pers Satgas Covid-19 pusat. Selama ini, ia rutin memantau perkembangan kasus aktif di media sosial Dinas Kesehatan Kota Semarang, tetapi belum pernah melihat jumlahnya setinggi itu.
Pemkot Semarang meyakini pendataan yang dilakukan selama ini sudah sesuai kondisi nyata di lapangan. Sementara Satgas Covid-19 pusat mengatakan perbedaan data memang berpotensi terjadi.
Selain bingung harus memercayai data yang mana, ia bingung kenapa data belum juga sinkron. ”Kenapa dalam situasi sulit begini, sudah berjalan enam bulan, data kok belum sinkron antara daerah dan pusat. Pemerintah harus lebih serius. Semua ingin pandemi segera berakhir,” kata Tyas.
Baca juga: Data yang Jelas dan Sinkron Bantu Masyarakat Pahami Covid-19
Sementara itu, A Wicaksono (30), warga Kelurahan Mangkang Wetan, Tugu, mengatakan, masyarakat berharap keseriusan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Karena itu, saat ada perbedaan data, pemerintah harus menerangkan sejelas-jelasnya.
Kegamangan serupa juga terjadi di media sosial. Di kolom komentar unggahan Instagram Dinas Kesehatan Kota Semarang, misalnya, sejumlah warganet bertanya, meminta kejelasan, dan mendukung akun itu. Ada juga warganet yang mengatakan, pada intinya, data mana pun, masyarakat tetap harus waspada penularan Covid-19 di kota lumpia itu.
Dalam unggahan di akun itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang Abdul Hakam memberi penjelasan. ”Sampai Selasa (1/9/2020) pukul 15.00, pasien confirm yang masih aktif berdasarkan data yang dihimpun dari Rumah Sakit rujukan, puskesmas, dan rumah isolasi, mencapai 322 pasien ber-KTP Kota Semarang dan 137 luar Kota Semarang sehingga total kasus aktif 459,” tulisnya.
Dinamis
Hakam menuturkan, pihaknya memiliki aplikasi yang menghimpun seluruh data terkait Covid-19, langsung dari sejumlah rumah sakit rujukan di Kota Semarang. Data tersebut real time sehingga pergerakan datanya dinamis. Data kasus aktif yang ditampilkan dikatakannya sudah sesuai.
Ia belum mengetahui dari mana Satgas Covid-19 pusat mengambil data untuk kemudian diumumkan. ”Itu yang menjadi pertanyaan. Apakah mereka mengambil data (kasus) dari orang- orang yang ber-KTP Semarang ditarik ke sana (kasus aktif) semua? Saya juga tidak tahu,” ujar Hakam.
Menurut Hakam, tim dari bagian teknologi informasi Dinas Kesehatan Kota Semarang sudah berkoordinasi terkait perbedaan itu. Koordinasi juga dilakukan dengan Pemprov Jateng.
Sementara itu, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi berharap data terkait Covid-19 antara pusat dan daerah bisa sinkron. Menurut dia, saat Satgas Covid-19 pusat menemukan kasus-kasus positif di luar pendataan pihaknya, diharapkan dikonfirmasi ke wilayah yang bersangkutan.
”Sebenarnya, kami lebih senang jika tahu lebih awal saat ada kasus sehingga bisa berupaya bikin mereka segera sembuh dan tak menularkan kepada yang lain. Namun, lebih baik dikonfirmasi ke wilayah,” kata Hendrar. Ia juga mengaku tak tahu dari mana Satgas Covid-19 pusat mendapat data itu.
Juru bicara Satgas Covid-19, Wiku Adisasmito, saat dikonfirmasi mengatakan, data yang didapatnya bersumber dari Kementerian Kesehatan. Pengumpulan data dari fasilitas-fasilitas kesehatan.
”Bisa saja terjadi perbedaan data karena kelengkapan data dan sistem pelaporan data yang belum real-time. Kami sedang berusaha terus untuk sinkronisasi sistem sehingga datanya satu,” kata Wiku, melalui pesan singkat pada Selasa (1/9/2020) malam.
Ini bukan pertama kalinya terjadi perbedaan data Covid-19 antara Provinsi Jateng dan pemerintah pusat. Sebelumnya, data kematian Covid-19 di Jateng sempat disorot karena berbeda signifikan dengan pusat. Bahkan, jumlahnya sempat dua kali lipat.
Pada 16 Juli 2020 misalnya, Pemprov Jateng mencatat sudah ada 568 orang meninggal, sedangkan Gugus Tugas pusat baru mencatatkan 267 orang. Artinya ada selisih 301 orang atau lebih dari dua kali lipat. Saat itu, dari pantauan, perbedaan sudah berlangsung beberapa hari.
Baca juga: Tingkat Keterisian Rumah Sakit di Semarang Capai 79 Persen
Maka, saat Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto meninjau penanganan Covid-19, perbedaan itu dibicarakan. ”Setelah dicek, ada problem data. Cut-off (time) dan input-nya berbeda. Maka, kami dari GRMS (government resource management system), Kominfo, dan (dinas) kesehatan meminta setiap hari agar bisa terintegrasi dan real-time,” kata Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.
Setelah itu, selisih antara data kematian Covid-19 Pemprov Jateng dan pusat bersangsur menipis. Akan tetapi, perbedaan masih belum terhindarkan. Pada Selasa (1/9/2020) misalnya, Pemprov Jateng mencatat ada 1.424 kematian Covid-19, sedangkan pada data pusat 1.012 kematian.
Data terkait dengan Covid-19 merupakan milik publik. Dengan demikian, publik berhak tahu dan mendapat penjelasan jika ada perbedaan atau kejanggalan terkait data yang disampaikan.
Pengambilan keputusan
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang, Budiyono, mengatakan, data terkait dengan Covid-19 merupakan milik publik. Dengan demikian, publik berhak tahu dan mendapat penjelasan jika ada perbedaan atau kejanggalan terkait data yang disampaikan.
Data yang valid dan konsisten dibutuhkan masyarakat, juga menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menangani Covid-19. ”Data itu intinya harus bisa dipercaya, akurat, valid, dan konsisten karena akan dipakai untuk pengambilan keputusan. Data sebagai pendukung pengambilan keputusan,” kata Budiyono.
Ia menambahkan, jika ada permasalahan teknis, seharusnya data yang dihimpun tetap tercatat. Jika tidak demikian, penundaan pemasukan data berpotensi tertumpuknya data yang dapat membuat masyarakat bingung. Pada hal-hal semacam itu, pemerintah perlu menjelaskan.
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Undip, Ari Udijono, menambahkan, banyak faktor yang membuat data yang disampaikan setiap lembaga pemerintah berbeda. Namun, idealnya, perbedaan data antara daerah dan pusat bisa ditekan serendah mungkin. Komitmen dan kapasitas SDM menjadi hal penting.
Perbedaan data bisa jadi tak bisa dihindarkan jika melihat banyaknya jenjang dalam pelaporan kasus terkait Covid-19. Namun, perbedaan data yang terlampau jauh antara pusat dan daerah membuat masyarakat bingung. Ini menjadi momentum memperbaiki sistem data agar lebih terintegrasi dan tersistem, dari daerah ke pusat.
Baca juga: Perbedaan Data Kasus Covid-19 Kota Medan Rawan Jadi Dasar Kebijakan