Pencalonan Mantan Napi Korupsi Dinilai Pendidikan Politik Buruk
Pilgub 2020 di Sulawesi Utara memunculkan bakal calon yang merupakan mantan narapidana korupsi, yaitu Vonnie Anneke Panambunan. Pengamat politik menilai hal ini menjadi praktik pendidikan politik yang buruk.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Perebutan kursi gubernur dalam Pilkada 2020 di Sulawesi Utara memunculkan bakal calon yang merupakan mantan narapidana korupsi, yaitu Vonnie Anneke Panambunan. Pengamat politik menilai hal ini menjadi praktik pendidikan politik yang buruk. Di sisi lain, Vonnie menyatakan komitmennya untuk tidak terjerat korupsi lagi.
Vonnie menyelesaikan pendaftaran pencalonannya di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulut pada Senin (7/9/2020) dini hari bersama calon wakilnya, Pendeta Hendry Runtuwene. KPU Sulut menyatakan berkas pendaftarannya diterima, termasuk surat keterangan telah selesai menjalani pidana penjara.
Pada 2008, Vonnie, yang kala itu menjabat bupati Minahasa Utara, dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan karena terlibat korupsi proyek Bandara Loa Kulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Total kerugian negara yang disebabkannya mencapai Rp 4,047 miliar. Pada 2015, ia kembali terpilih sebagai bupati Minahasa Utara.
Dalam konferensi pers di KPU Sulut, Vonnie menyatakan komitmennya untuk tidak terjerat korupsi lagi. Ia juga menyatakan tidak punya niat mencari keuntungan pribadi dari pemerintahan jika terpilih menjadi gubernur Sulut.
”Saya yakin, dengan iman kepada Tuhan yang saya percaya, saya tidak akan masuk penjara lagi. Saya ingin membuat masyarakat Sulut menjadi penuh berkat. Doakan saya dan Pak Wakil (Hendry) agar kami menjalankan pemerintahan Sulut dengan selalu takut akan Tuhan,” kata Vonnie, disambut riuh sorak pendukungnya.
Ketua Dewan Pengurus Wilayah Nasdem Sulut Max Lomban mengatakan, Vonnie dan Hendry adalah dua dari sekian kader unggulan yang dipercaya bisa memenangi Pilkada 2020 di Sulut. Keputusan mengajukan Vonnie, terlepas dari rekam jejaknya, didasarkan pada beberapa survei. Max tak menyebutkan secara spesifik survei yang ia maksud.
”Kami punya banyak (kader) bintang. Semuanya unggul, tetapi kami memilih dua bintang ini. Hasil survei positif. Saya yakin dan percaya, Ibu Vonnie dan Pak Hendry akan mampu memimpin Sulut hingga lima tahun ke depan,” kata Max.
Mengutip Kompas TV, pada April 2020, Konsultan Citra Indonesia (KCI) dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) melaksanakan jajak pendapat yang melibatkan 800 responden di 15 kabupaten/kota di Sulut. Hasil survei yang dirilis pada 10 Agustus lalu menunjukkan elektabilitas Vonnie hanya 3,3 persen, jauh di bawah calon gubernur petahana Olly Dondokambey, yaitu 62 persen.
Elektabilitas Vonnie juga lebih rendah ketimbang Bupati Minahasa Selatan Christiany Eugenia Paruntu (9,3 persen) yang juga mendaftar sebagai calon gubernur Sulut. Vonnie juga kalah populer ketimbang dua rekan separtainya, yaitu Bupati Kepulauan Talaud Elly Lasut (6,7 persen) dan Wali Kota Manado Vicky Lumentut (4,5 persen).
Kendati begitu, Ketua Dewan Pengurus Pusat Nasdem Ivanhoe Semen mengatakan, Vonnie dan Hendry bisa menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat Sulut yang resah mendambakan perubahan. Semua kepala daerah di Sulut yang berasal dari Nasdem pun akan berupaya memenangkan Vonnie dan Hendry.
Keputusan Nasdem untuk mengusung Vonnie menuai kritik dari Ferry Daud Liando, pengajar Jurusan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi. Menurut Ferry, Nasdem telah mengingkari janji untuk tidak mencalonkan narapidana korupsi pada Pilkada 2020. Hal itu telah dinyatakan beberapa elite partai sebagai kesepakatan partai pada Desember 2019.
Ferry melanjutkan, Vonnie dinilai lebih kuat dalam hal finansial, tampak dari kebiasaannya membagi-bagikan lembaran uang kepada masyarakat secara langsung. ”Tampaknya Nasdem berhasil melihat kecenderungan pragmatis yang tinggi di kalangan pemilih di Sulut. Pilihan didasarkan pada calon yang paling mampu memberikan keuntungan material, berbeda dari pemilih di daerah lain yang cenderung emosional dengan melihat latar belakang calon,” ujar Ferry.
Karena itu, Ferry menambahkan, pencalonan Vonnie bisa menjadi praktik pendidikan politik yang buruk. Sebab, pertama, partai politik lagi-lagi menawarkan mantan terpidana korupsi. Kedua, potensi politik uang juga membuktikan parpol melegitimasi permainan curang untuk memenangi pilkada.
Ferry mengatakan, calon mantan narapidana korupsi selalu berisiko mengulangi kesalahannya. Mantan Bupati Kudus Muhammad Tamzil, misalnya, terjerat korupsi untuk kedua kalinya setelah terpilih di jabatan yang sama untuk kali kedua.
”Hanya Ibu Vonnie yang tahu dia akan korupsi lagi atau tidak. Namun, pengalaman di beberapa daerah menunjukkan tabiat lama bisa muncul kembali di kemudian hari,” katanya.
Pada 2016, Vonnie sempat diduga terlibat korupsi dalam proyek pengadaan pemecah ombak di Likupang Timur, Minahasa Utara. Negara merugi Rp 8,8 miliar dari total nilai proyek Rp 15,2 miliar. Pada 2017, empat terdakwa dari jajaran Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara telah ditahan. Namun, penyidikan perkara yang belum selesai itu terhenti sejak 2019.