Kekerasan Seksual di Kalteng Masif, RUU PKS Didesak Disahkan
Kasus kekerasan seksual di Kalteng kian masif. Aparat kepolisian di Palangkaraya setidaknya sudah mengungkap 38 kasus di tahun ini. Meskipun demikian, korban belum tertangani baik. RUU PKS dinilai urgen untuk disahkan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Polres Kota Palangkaraya baru saja meringkus S (20) yang diduga memerkosa anak di bawah umur. Perbuatan itu membuat korban mengalami trauma. Hingga kini di Kalimantan Tengah pelayanan pemulihan korban kekerasan seksual masih minim.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Palangkaraya Komisaris Todoan Agung Gultom mengungkapkan, pihaknya menangkap S setelah mendapatkan laporan dari orangtua korban. Pelaku ditangkap tanpa perlawanan di Kota Palangkaraya, Kalteng, Jumat (2/10/2020).
”Kami masih mendalami kasusnya. Namun, dari informasi sementara, pelaku mengaku sudah melakukannya enam kali sejak Juli lalu sampai beberapa waktu lalu,” kata Agung.
Agung menjelaskan, ada dugaan pemaksaan karena pada awalnya korban menolak. Namun, setelah dipaksa, korban akhirnya menyerah dan tidak memberitahukan kejadian itu hingga peristiwa tersebut berulang.
”Hal itu diketahui ketika korban ditanyai oleh orangtuanya karena menimbulkan sikap-sikap yang cukup aneh. Setelah itu baru dilaporkan ke kami dan kami langsung tangkap pelaku, tetapi kami dalami lagi kasusnya,” kata Agung.
Tak hanya itu, pada pertengahan September lalu, Polres Palangkaraya juga menangkap AH (34), pelaku pemerkosaan anak di bawah umur yang merupakan anak tirinya. Korban yang baru berumur 14 tahun itu mengalami trauma berat sehingga harus mendapatkan layanan dari psikolog.
Polres Palangkaraya melalui Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) mencatat di tahun ini setidaknya terdapat 38 tindak pidana perlindungan anak. Rinciannya, persetubuhan terhadap anak 9 kasus, pencabulan 4 kasus, kekerasan terhadap anak 9 kasus, kekerasan dalam rumah tangga 8 kasus, perzinaan 5 kasus, pencurian anak di bawah umur 2 kasus, dan 1 kasus penemuan bayi.
Pada Jumat pagi, Jaringan Perempuan Borneo menggelar konferensi pers daring bertema ”Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Lindungi Generasi Penerus dan Korban” yang dihadiri oleh sejumlah aktivis perempuan nasional dan Kalimantan.
Beberapa lembaga yang terlibat, antara lain, adalah Jaringan Perempuan Borneo, Aliansi Perempuan Kalimantan untuk Perdamaian dan Keadilan Gender, YLBHI PIK Pontianak, YLBHI PIK Kalimantan Timur, Jaringan Perempuan Peduli Gambut Kalimatan Selatan, Pasah Kahanjak Kalteng, dan Puan Mahakam Kaltim.
Pendiri Pasah Kahanjak Kalimantan Tengah, Ditta Wisnu, mengungkapkan, pihaknya mendesak Rancangan Undang Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) agar masuk dalam Prolegnas prioritas tahun 2021. Setidaknya empat tahun lamanya RUU tersebut masuk Prolegnas, tetapi tak kunjung dibahas tuntas dan disepakati.
”Dampaknya banyak, salah satu kasus di Palangkaraya itu pemerintah jadi beralasan tidak bisa membangun rumah aman korban kekerasan seksual lantaran tak ada payung hukum,” kata Ditta.
Ditta menjelaskan, di Kalteng, beberapa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang pernah ditangani, korban tidak memiliki tempat untuk mendapatkan pelayanan maksimal dari pemerintah. ”Bahkan, pernah satu kali itu korbannya dititipkan di dinas sosial. Sampai di sana malah dilecehkan oleh penjaga kantor,” ungkapnya.
Dari data Simfoni-PPA di Kalimantan Tengah tercatat 33 kasus kekerasan seksual yang sebagian besar korbannya masih di bawah umur. Ditta menyebutkan, salah satu kasus yang paling mencuat adalah pelaku yang merupakan dosen, bahkan ketua program studi di Universitas Palangkaraya, yang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka hingga menjalani masa tahanan.
Bahkan, pernah satu kali itu korbannya dititipkan di dinas sosial. Sampai di sana malah dilecehkan oleh penjaga kantor.
”Tetapi itu ada proses panjang sekali, kami menutut agar pelaku bisa dikeluarkan dari jabatan dan statusnya sebagai ASN, tetapi terbentur banyak hal. Kondisi ini harusnya dilihat sebagai pemicu percepatan pengesahan RUU PKS tersebut,” kata Ditta.
Kepala Polda Kalteng Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo mengungkapkan, pihaknya memiliki komitmen dan bekerja keras mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Ia menyadari, selama pandemi ini, kasus kekerasan dan pelecehan seksual meningkat.
”Kami selalu tekankan kepada seluruh pimpinan kepolisian di daerah agar mencermati betul peristiwa-peristiwa seperti ini,” kata Dedi.
Dedi mengungkapkan, tak hanya mengusut tuntas, tetapi bekerja sama dengan instansi pemerintah memberikan perlindungan juga pemulihan kepada para korban.