Buntut Kericuhan di Semarang, Polisi Masih Periksa Empat Orang
Dari 193 orang yang dibawa ke Polrestabes Semarang, empat orang yang masih diperiksa dan didalami. Sementara itu, Tim Advokasi Kebebasan Berpendapat Jateng berharap bisa mendampingi mereka yang masih ditahan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Hingga Kamis (8/10/2020), Kepolisian Resor Kota Besar Semarang, Jawa Tengah, masih memeriksa empat orang yang diduga terkait aksi perusakan dalam unjuk rasa menentang Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, sehari sebelumnya. Sementara 189 orang lain yang ditahan sudah dipulangkan.
Sebelumnya, Rabu (7/10/2020), massa yang terdiri dari mahasiswa dan buruh berunjuk rasa di depan kompleks kantor Gubernur dan DPRD Jateng di Jalan Pahlawan. Pagar kompleks itu sempat roboh. Namun, selanjutnya situasi relatif kondusif. Massa pun terus menyampaikan aspirasi.
Meski demikian, menjelang sore, sekitar pukul 15.00, suasana memanas. Terjadi lemparan berbagai benda ke arah kompleks kantor Gubernur dan DPRD Jateng. Polisi kemudian melepaskan meriam air dan gas air mata ke arah massa, yang kemudian berlarian. Sejumlah orang ditangkap untuk kemudian dimintai keterangan.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Semarang Ajun Komisaris Besar Benny Setyowadi, di Kota Semarang, Kamis, mengatakan, setelah kejadian Rabu kemarin, polisi mengamankan 269 orang di Gedung DPRD Jateng. Setelah diklarifikasi, 76 orang dipulangkan.
Sisanya, 193 orang, diduga peserta aksi, didata dan diwawancarai lebih lanjut di Polrestabes Semarang. ”Sampai akhirnya kami menemukan ada empat orang yang diduga keras pelaku yang menjurus perusakan. Sisanya, 189 orang kami pulangkan tadi (Rabu) malam,” ujarnya.
Benny menuturkan, belum ada penetapan tersangka karena pihaknya masih memproses secara mendalam. Adapun pasal sangkaannya ialah Pasal 170, 187, 212, 216, dan 218 KUHP. Keterangan saksi, termasuk dari mahasiswa, serta alat bukti sudah diperoleh.
Terkait jumlah rinci buruh, mahasiswa, hingga pelajar, Benny belum menyebutkannya dan masih dalam pendalaman. Namun, menurut dia, dalam aksi Rabu kemarin, ada pelajar SMA, SMK, bahkan SMP.
Terkait informasi adanya larangan pendampingan oleh tim advokasi, Benny mengatakan telah membangun komunikasi aktif. ”Saya langsung ngomong dengan pihak LBH (Lembaga Bantuan Hukum) dan universitas. Di SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu) Polrestabes juga kami duduk bersama dan cocokkan data serta berdiskusi,” ujarnya.
Perwakilan dari Tim Advokasi Kebebasan Berpendapat Jateng, yang terdiri dari sejumlah jaringan bantuan hukum, Arif, menuturkan, pihaknya sempat kesulitan mendampingi peserta unjuk rasa. Baru pada pukul 19.30, mereka bisa masuk, itu pun hanya di SPKT.
Menurut Arif, pihaknya sempat berdebat dengan sejumlah polisi di SPKT hingga akhirnya, pada Kamis sekitar pukul 01.45, sejumlah orang yang dimintai keterangan dipulangkan. ”Keterangan dari mereka yang sudah dibolehkan pulang, di dalam masih ada sekitar 10 orang lagi,” katanya.
Arif menuturkan, gesekan saat unjuk rasa terjadi karena saat itu, tuntutan massa untuk beraudiensi dengan anggota DPRD dari berbagai parpol tak dipenuhi. Kericuhan pun lalu terjadi. Namun, menurut dia, yang ikut dalam konsolidasi unjuk rasa tersebut ialah mahasiswa, sedangkan pelajar SMK tidak.
”Selanjutnya, kami mendesak Kapolda Jateng, Kapolrestabes Semarang segera membuka data. Juga agar kami bisa memberi pendampingan hukum, sebab kami belum bisa masuk,” katanya.
Edukasi
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan, telah mengunjungi sejumlah pelajar yang ikut unjuk rasa dan sempat diamankan di Polrestabes Semarang pada Rabu malam. Menurut dia, sebagian besar dari mereka hanya ikut-ikutan.
Saat ditanyai, sejumlah pelajar mengaku mendapat ajakan dari grup percakapan aplikasi Whatsapp. ”Saat ditanya apakah mereka tahu masalahnya (RUU Cipta Kerja), dan jawabannya rata-rata tidak tahu. Waktu ditanya apakah pernah baca RUU-nya, jawabnya juga belum,” ujar Ganjar.
Ganjar pun telah meminta seluruh kepala sekolah untuk mengecek, kemudian disampaikan kepada orangtuanya. ”Anak-anak ini masa depan kita sehingga mesti diedukasi soal itu. Penting untuk dikasih ruang untuk ketahui itu. Jangan sampai ikut-ikutan ini bikin mereka kena masalah. Kasihan,” ucap Ganjar.