Dalam layanan kesehatan mental, pasien mendapatkan penanganan yang beragam sesuai dengan kondisinya. Ada pemeriksaan kesehatan mental, konseling, psikoedukasi, pengobatan, dan rehabilitasi psikososial.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
Pemulihan mental orang dengan gangguan jiwa menghadapi tantangan yang tidak ringan selama pandemi Covid-19. Situasinya semakin rumit karena impitan ekonomi kian membelit. Di Sidoarjo, Jawa Timur, Kopisemel berikhtiar memberikan layanan psikososial kesehatan mental demi memanusiakan orang dengan gangguan jiwa.
Kopisemel, akronim dari Komunitas Peduli Sehat Mental, berdiri sejak 2015. Anggotanya sekitar 60 orang, berasal dari orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), keluarga ODGJ, dokter, perawat, sukarelawan, dan kelompok masyarakat lain. Mereka bekontribusi sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Seperti yang dilakukan Sarji (70), salah satu keluarga ODGJ. Dengan mengayuh sepeda unta, laki-laki lanjut usia itu meninggalkan Puskesmas Krian, Kamis (1/10/2020) siang. Terik matahari yang menyengat kepala tak menahan langkahnya menempuh perjalanan pulang ke rumah kontrakan di Desa Kraton.
Setiap dua pekan, Sarji dan istrinya bergantian mengambil obat di Puskesmas Krian. Rutinitas itu dijalani sejak Pram (33), anak ketiga dari empat bersaudara, menjalani rawat jalan di Puskesmas Krian. Pram mengalami gangguan jiwa saat tengah berikhtiar menempuh pendidikan di pesantren, 15 tahun lalu.
Saat awal sakit, Pram dirawat intensif selama hampir setahun di RS Jiwa Menur, Surabaya. Setelah itu dia melanjutkan rawat jalan di Puskesmas Krian. Lamanya proses pengobatan menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga ODGJ karena mereka harus memastikan pasien mengonsumsi obat secara teratur dan rutin.
Setelah mengayuh sepeda sekitar 10 kilometer, Sarji tiba di sebuah rumah kontrakan berlantai tanah, berdinding anyaman bambu. Halaman depan rumah itu dinaungi pohon rindang dan di bawahnya terdapat aneka pot bunga hias berbahan campuran pasir dan semen.
Rumah sederhana itu tidak lain tempat produksi pot bunga. Di situlah Pram menyibukkan diri membuat aneka pot sebagai wadah bunga-bunga cantik, seperti bonsai. Hasil produksinya lantas dijual dengan cara dititipkan di pedagang pot yang memiliki gerai di pinggir jalan. Adik Pram juga membantu memasarkan secara daring melalui media sosial.
Menurut Sarji, rumah produksi pot bunga menjadi tempat psikoterapi bagi Pram selama bertahun-tahun. Dengan beraktivitas, fokus pikiran Pram teralihkan dari hal-hal yang bisa memicu kekambuhan (stressor). Pram juga menjadi manusia yang produktif ketika kondisi mentalnya stabil.
”Dukungan penuh dari keluarga membesarkan hatinya sehingga tidak merasa dikucilkan. Pram sebenarnya ingin mencari kerja. Namun, keluarga mengkhawatirkan kesehatan mentalnya,” ujar Sarji.
Sarji sendiri bekerja serabutan di luar rumah demi menambah penghasilan. Sejak pandemi Covid-19, pekerjaan semakin susah didapat sehingga dia lebih banyak membantu Pram memproduksi pot bunga. Usaha ini pun praktis menjadi sandaran utama ekonomi keluarga.
Tak disangka, permintaan pot bunga justru meningkat di masa pandemi Covid-19. Namun, ketiadaan modal usaha yang besar membuatnya tak mampu memanfaatkan peluang pasar secara maksimal. Meski demikian, Sarji tak tega menolak saat ada orang yang meminta pekerjaan. Apalagi jika orang itu sebaya dengan Pram.
Baru-baru ini, dia mengajari Faisol (30), penderita gangguan jiwa asal Madura. Selama empat bulan, Faisol diajari memproduksi pot bunga agar kelak bisa membuka usaha serupa di kampungnya. ”Cari kerja susah, apalagi untuk mereka (Pram dan Faisol). Kalau bukan kita yang memperhatian mereka, siapa lagi,” kata Sarji.
Keluarga
Sementara itu, di depan ruang Poli Curhat Puskesmas Krian, Khotim (45) berupaya menganyam potongan kain menjadi keset. ODGJ asal Kabupaten Bojonegoro itu selama 10 tahun belakangan ini menjadi anak asuh Lilis Suryani (43), salah satu sukarelawan Kopisemel. Dia telah dianggap saudara sendiri.
Lilis, yang berpendidikan sekolah menengah pertama (SMP), saat ini menampung dan merawat sembilan ODGJ di rumahnya. Sejak pengalaman pertama merawat orang dengan gangguan jiwa pada 2003, sudah puluhan anak asuh yang dipulihkan mentalnya. Lama perawatan setiap anak asuh bergantung pada kondisi sakitnya, bisa tiga bulan hingga dua tahun, bahkan 10 tahun seperti Khotim.
Setelah pulih, baru mereka diantarkan ke rumah agar bisa berkumpul kembali bersama keluarga. Namun, karena pandemi Covid-19, Lilis yang mendirikan Perkumpulan Masyarakat Spiritual (Rasi), mengaku terpaksa menunda pertemuan dengan keluarga anak asuhnya.
Hal itu membuat beban pekerjaan Lilis menjadi ganda karena harus memberikan perhatian lebih, selain mengingatkan agar rutin meminum obat. Contoh perhatiannya adalah menyibukkan ”anak-anak” (sebutan untuk para ODGJ yang dirawat Lilis) dengan kegiatan yang berfungsi sebagai psikoterapi.
”Biasa dengan berolahraga, membersihkan rumah atau diajak berkegiatan bersama di Kopisemel. Namun, selama pandemi, agenda pertemuan rutin Kopisemel ditunda sementara untuk mencegah penularan Covid-19,” ujar Lilis.
Sarji dan Lilis hanya gambaran kecil dari para anggota Kopisimel. Inisiator Kopisimel, Ratna Dewi Rahmawati, mengatakan, Puskemas Krian memiliki layanan kesehatan mental melalui poli curhat. Pengunjungnya cukup tinggi, yakni 30-40 orang per hari dengan keluhan yang beragam.
Dalam layanan kesehatan mental, pasien mendapatkan penanganan yang beragam sesuai dengan kondisinya. Ada pemeriksaan kesehatan mental, konseling, psikoedukasi, dan pengobatan. Selain itu disediakan rehabilitasi psikososial melalui Kopisimel yang anggotanya sekitar 60 orang ini.
Komunitas ini rutin mengadakan pertemuan setiap dua pekan atau sebulan sekali dengan durasi sekitar 2 jam per pertemuan. Kegiatannya beragam, biasanya diawali dengan senam atau menari untuk menggugah semangat peserta. Setelah itu menginventarisasi masalah melalui ungkapan perasaan para peserta, baik ODGJ maupun keluarganya.
Permasalahan itu diberi umpan balik baik oleh fasilitator maupun sesama keluarga yang memiliki pengalaman sama. Umpan balik ini untuk memotivasi memberikan solusi. Apabila diperlukan, akan dilakukan pendampingan keluarga oleh sukarelawan. ODGJ juga diajak melukis, membuat keset, merangkai bunga, dan mengikuti pelatihan keterampilan lain agar mereka bisa produktif.
Seiring berjalannya waktu, Kopisemel berkembang menjadi gerakan untuk mengajak masyarakat agar tidak menjauhi orang yang memiliki masalah mental, apalagi mendiskriminasikannya. Komunitas ini berkomitmen membebaskan ODGJ dari pemasungan, merangkul mereka agar memiliki semangat untuk pulih, mampu mandiri dan menjadi manusia yang produktif. Upaya yang dilakukan memang tidak mudah dan butuh proses panjang.
Berdasarkan data Puskesmas Krian, jumlah penderita gangguan jiwa 103 orang. Dari jumlah itu, ada yang dirujuk ke RS Jiwa dan ada yang perlu ditangani spesialis. Banyak juga yang sudah pulih dan bisa diterima di tempat kerja atau berwirausaha, seperti Pram. Di masa pandemi, beban ODGJ dan keluarganya menjadi ganda karena situasi ekonomi yang sulit. Namun, Kopisemel tetap berupaya menyemangati mereka dengan memberikan layanan kesehatan mental secara maksimal demi memanusiakan orang dengan gangguan jiwa.