Mitigasi bencana banjir di tengah pandemi Covid-19 di Desa Kedungbanteng dan Desa Banjarasri, Sidoarjo, Jawa Timur, mulai disiapkan. Itu dilakukan setelah terjadi banjir padahal hanya hujan ringan.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS - Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sidoarjo menyiapkan mitigasi bencana banjir di tengah pandemi Covid-19 di Desa Kedungbanteng dan Desa Banjarasri. Itu dilakukan setelah terjadi banjir dengan ketinggian air 20 -30 sentimeter meski hujan turun dengan intensitas ringan dan berdurasi kurang dari satu jam.
Kepala BPBD Sidoarjo Dwijo Prawito mengatakan berdasarkan prediksi Badan Meteorologi, Klimatoligi, dan Geofisika Juanda Surabaya, saat ini memasuki musim pancaroba. Pada musim ini ada peluang terjadi hujan dengan intensitas ringan hingga sedang. Sidoarjo baru memasuki musim hujan pada November mendatang.
“Meski masih pancaroba, dua desa di Kecamatan Tanggulangin tergenang banjir pada Sabtu (10/10/2020). Padahal sungai dan saluran air di sekitarnya sudah dinormalisasi,” ujar Kepala BPBD Sidoarjo Dwijo Prawito, Senin (12/10/2020).
Dwijo mengatakan apabila tidak diantisipasi sejak dini, kondisi bencana banjir di Desa Kedungbanteng dan Banjarasri pada musim hujan nanti, bisa lebih parah. Pada musim hujan awal tahun ini, banjir menggenangi dua desa itu selama tiga bulan. Selama itu beragam upaya penanggulangan telah dikerahkan.
Meski masih pancaroba, dua desa di Kecamatan Tanggulangin tergenang banjir pada Sabtu (10/10/2020). Padahal sungai dan saluran air di sekitarnya sudah dinormalisasi (Dwijo Prawito)
Dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti ini, potensi bencana harus dimitigasi agar tak menambah klaster baru penularan penyakit. Pada bencana banjir di Kedungbanteng dan Banjarasri, mitigasi dimulai dengan mengidentifikasi penyebab banjir. Untuk mengungkapnya BPBD Sidoarjo melibatkan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS).
“Hasil penelitian tentang penyebab banjir akan dikaji lebih lanjut dan menjadi pijakan pengambilan kebijakan penanganan banjir agar tepat sasaran, efektif dan efisien,” kata Dwijo.
Upaya penanggulangan
Sekretaris Daerah Sidoarjo Achmad Zaini menambahkan upaya penanggulangan banjir di Desa Kedungbanteng dan Banjarasri sudah dilakukan oleh pemda pada awal tahun lalu. Salah satunya dengan menormalisasi sungai-sungai yang mengalir melintasi desa tersebut.
Pemda juga membangun dua kolam retensi atau penampungan air. Jalan desa telah ditinggikan atas permintaan dari masyarakat. Hanya mesin pompa berkapasitas besar yang belum dipasang karena memang belum masuk musim hujan.
Ahli bencana dari Tim Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (MKPI) ITS Profesor Amin Widodo mengatakan dugaan awal terjadi penurunan permukaan tanah (subsidence) yang signifikan sehingga air hujan menggenang dan genangan susah surut atau bertahan lama di dua desa tersebut.
“Tim MKPI ITS akan turun ke lapangan untuk mengukur tingkat penurunan tanahnya. Penelitian akan memakan waktu 1-2 bulan. Tim juga akan meneliti penyebab lain serta merumuskan sejumlah rekomendasi terkait dengan strategi penanggulangan bencananya,” ucap Amin.
Amin mengatakan penelitian dilakukan dengan memasang patok untuk mengukur tinggi penurunan tanah. Selain itu pihaknya akan menggunakan pesawat tanpa awak untuk melihat lanskap lokasi secara keseluruhan. Penelitian ini sebenarnya direncanakan sejak Maret lalu namun tertunda karena pandemi.
Tim peneliti berharap ada pendampingan dari pemerintah desa hingga pemda selama proses penelitian berlangsung, selain sosialisasi pada masyarakat. Selain itu diperlukan proses perizinan yang cepat agar peneliti bisa bekerja secara maksimal dan menyelesaikan tahapan penelitian tepat waktu.
Bencana banjir menggenang Desa Kedungbanteng dan Banjarasri, Kecamatan Tanggulangin selama tiga bulan pada musim hujan awal tahun ini. Sebanyak 2.500 jiwa atau sebanyak 600 keluarga terdampak bencana. Selama banjir itu, Dinkes Sidoarjo mencatat lebih dari 700 orang mengeluh sakit demam, batuk, pilek, dan gatal-gatal.
Warga yang punya anak kecil, bayi, dan orang lanjut usia harus mengungsi mandiri ke rumah sanak saudara terdekat karena lingkungan tempat tinggalnya tidak sehat. Banjir menyebabkan limbah rumah tanggal tak bisa mengalir ke saluran pembuangan. Limbah itu mengalir kembali ke dalam rumah sehingga memicu beragam penyakit seperti gatal-gatal dan diare.
Banjir yang tak kunjung surut berbulan-bulan juga memukul perekonomian masyarakat. Warung makan dan warung kopi tutup, tempat usaha seperti cuci motor juga tak beroperasi. Petani tak bisa menggarap sawahnya karena genangan banjir lebih tinggi di lahan pertanian dibandingkan permukiman penduduk.
Beragam daya telah dikerahkan. Sembilan mesin pompa dioperasikan selama 24 jam. Namun air seperti memutar di dua desa dan tak mengalir ke sungai yang bermuara di Selat Madura. Selain terdapat permukiman warga, di dua des aitu terdapat proyek strategis nasional berupa pengeboran migas lengkap dengan jaringan pipa gasnya untuk produksi maupun distribusi.