Jurnalis Cirebon Desak Aparat Polisi Lindungi Kebebasan Pers
Puluhan jurnalis di Cirebon dan sekitarnya berunjuk rasa di depan kantor Kepolisian Resor Cirebon Kota, Jawa Barat, Senin (12/10/2020). Mereka mendesak polisi agar menjamin kerja jurnalis bebas dari kekerasan aparat.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Puluhan jurnalis di Cirebon dan sekitarnya yang tergabung dalam Solidaritas Jurnalis Anti Kekerasan atau Sajak berunjuk rasa di depan Kantor Kepolisian Resor Cirebon Kota, Jawa Barat, Senin (12/10/2020). Mereka mendesak polisi menjamin jurnalis bebas dari kekerasan aparat saat melakukan peliputan.
Aksi tersebut merupakan gabungan dari sejumlah organisasi wartawan, seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Cirebon Raya, Serikat Media Siber Indonesia Cirebon (SMSI), dan Ikatan Wartawan Online (IWO) Cirebon. Mengenakan masker, peserta aksi secara bergantian berorasi dengan pengawalan aparat.
Massa membawa spanduk dan aneka poster. Isinya, antara lain, ”Pak polisi, tugasmu mengayomi, bukan mengintimidasi”, ”Kami tidak bawa batu, kami bawa kamera”. Para jurnalis juga meletakkan kartu pers dan peralatannya di dekat kaki polisi sebagai simbol kebebasan pers terancam oleh aparat.
Menurut Faisal Nurathman, koordinator aksi Sajak, unjuk rasa tersebut merupakan bentuk solidaritas terhadap jurnalis yang menjadi korban kekerasan aparat saat meliput aksi penolakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Kekerasan itu terjadi di sejumlah daerah pada 7 dan 8 Oktober lalu.
Sebanyak 28 jurnalis dan enam anggota pers mahasiswa mengalami kekerasan oleh aparat keamanan. Kasus kekerasan itu, antara lain, berupa perusakan atau perampasan data hasil liputan, disusul intimidasi oleh aparat, kekerasan fisik, dan penahanan atau penangkapan (Kompas, 12/10/2020).
”Kami juga mendapat laporan, seorang rekan jurnalis televisi yang diminta aparat menghapus videonya karena merekam kekerasan polisi yang diduga dilakukan kepada pendemo, beberapa waktu lalu. Ini bentuk intimidasi,” ungkapnya. Padahal, jurnalis itu telah menunjukkan identitasnya.
Aksi penolakan RUU Cipta Kerja di Kota Cirebon, Kamis (8/10/2020), diwarnai bentrokan hingga berjam-jam. Polisi menangkap 112 peserta aksi karena diduga merusak fasilitas umum dan melawan petugas. Sejumlah pendemo juga mengalami luka-luka.
Untuk itu, para jurnalis mendesak Kepala Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Syamsul Huda menandatangani pakta integritas yang berisi tuntutan agar polisi menjamin keselamatan jurnalis saat meliput dan tidak mengintimidasi jurnalis. Polisi juga diminta menjamin keterbukaan informasi.
Namun, hingga 1 jam massa menggelar aksi, Kapolres Cirebon Kota tidak menemui jurnalis. Kepala Subbagian Humas Polres Cirebon Kota Inspektur Dua Ngatidja mengatakan, kapolres sedang menggelar pertemuan virtual dengan Kepala Polri Jenderal Idham Azis. ”Kapolres mewakilkan kepada saya,” ucapnya.
Faisal mengatakan, keengganan kapolres menemui jurnalis menunjukkan belum ada jaminan agar jurnalis di Cirebon terbebas dari kekerasan aparat. Massa pun memunggungi aparat dan meninggalkan lokasi aksi.
”Sampai saat ini, kami belum mendapatkan jaminan. Tidak ada respons sama sekali,” ucap ketua IJTI Cirebon Raya tersebut.
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, terdapat 28 jurnalis yang mengalami kekerasan saat meliput unjuk rasa penolakan RUU Cipta Kerja pada 7 dan 8 Oktober 2020. Kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan aparat keamanan tersebut terjadi di sejumlah daerah (Kompas.id, 10/10/2020).
Berdasarkan data yang dihimpun AJI, kasus kekerasan tidak hanya menimpa 28 jurnalis, tetapi juga enam orang yang merupakan pers mahasiswa. Kasus kekerasan terbanyak ialah perusakan atau perampasan data hasil liputan, disusul intimidasi oleh aparat, kekerasan fisik, dan penahanan atau penangkapan.
Sementara berdasarkan lokasinya, kasus kekerasan terbanyak terjadi di Jakarta dengan delapan kasus, disusul enam kasus di Surabaya, lima kasus di Samarinda, serta masing-masing tiga kasus di Semarang dan Palu.
Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito Madrin saat konferensi pers secara daring, Sabtu (10/10/2020), menyampaikan, pada kasus penahanan di Jakarta, enam jurnalis ditahan hampir selama 2 kali 24 jam. Enam jurnalis tersebut kemudian baru dibebaskan pada Jumat (9/10/2020) malam oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya.
”Hasil pengamatan dan verifikasi yang dilakukan AJI, sebagian jurnalis yang meliput aksi tersebut sudah menunjukkan id card (identitas diri sebagai wartawan) kepada polisi. Bahkan, ada juga jurnalis yang sudah mengenakan baju bertuliskan pers masih tetap ditangkap. Jadi tidak ada alasan bagi kepolisian mengatakan tidak mengetahui bahwa mereka adalah jurnalis,” ujarnya.