Sebanyak 752 pekerja di Kalimantan Barat terkena pemutusan hubungan kerja dan 3.978 orang dirumahkan selama masa pandemi Covid-19. Pemerintah diharapkan mengambil kebijakan-kebijakan untuk memutar roda perekonomian.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Sebanyak 752 pekerja di Kalimantan Barat terkena pemutusan hubungan kerja dan 3.978 orang dirumahkan selama masa pandemi Covid-19. Pemerintah daerah diharapkan mengambil kebijakan-kebijakan untuk memutar roda perekonomian agar kondisi dapat membaik.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalbar H Manto, Senin (19/10/2020), menuturkan, pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan yang dirumahkan tersebut tersebar di 14 kabupaten/kota. Data tersebut terhitung sejak 1 Maret hingga 1 Oktober. ”Mereka pekerja di hotel, restoran, dan perdagangan umum. Sektor tempat mereka bekerja semuanya terdampak pandemi Covid-19,” ungkap Manto.
Untuk membantu para pekerja yang terkena PHK dan dirumahkan tersebut, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah mendorong sejumlah program. Program itu antara lain mendorong pencari kerja untuk mengikuti program Kartu Prakerja.
Kemudian, meningkatkan program pelatihan yang dilengkapi dengan sertifikat keahlian serta memfasilitasi tenaga kerja yang memiliki keahlian tertentu untuk mendapatkan sertifikat keahlian. ”Untuk pelatihan kerja, sejauh ini ada 860 orang yang terkena PHK dan dirumahkan mengikuti pelatihan. Tahun depan juga ada, tergantung ketersediaan anggaran,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya memetakan peluang digitalisasi usaha untuk perluasan kesempatan kerja. Kemudian, memperluas kesempatan kerja melalui program padat karya dan program tenaga kerja mandiri.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman mengatakan, agar PHK tidak terjadi lagi, aktivitas ekonomi harus dijaga supaya terus berjalan. Terkait hal itu, ada beberapa kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah terkait dengan fiskal.
Pemerintah daerah hendaknya merelaksasi pajak di daerah. Relaksasi ini baru eksplisit dilakukan oleh pusat, tetapi pemerintah daerah belum melakukannya secara eksplisit. ”Adakah revisi peraturan daerah terkait pengaturan pajak? Seharusnya tarif diturunkan karena ketentuan mengenai penetapan tarif ada pada pemerintah daerah,” kata Eddy.
Kedua, relaksasi regulasi, misalnya terkait dengan persyaratan untuk investasi atau menjual barang. Jika ada beberapa persyaratan, sementara dibebaskan dulu untuk mendorong kegiatan ekonomi. Regulasi hanya bisa diterapkan pada saat situasi ekonomi normal, sedangkan saat ini situasi tidak normal.
Dengan dua kebijakan itu, menurut Eddy, ekonomi akan bergerak sehingga menciptakan kesempatan kerja. Pengangguran pun diharapkan tidak bertambah. Selain itu, perlu juga subsidi pendapatan bagi pekerja dari APBD. ”Pekerja yang terkena PHK dan yang dirumahkan itu memerlukan pekerjaan, bukan pelatihan. Maka, ciptakan aktivitas ekonomi sehingga ada lapangan pekerjaan,” kata Eddy.
Dia menambahkan, ke depan, jika dilihat dari kontraksi perekonomian Kalbar pada triwulan II-2020 sebesar minus 3,4 persen, kemungkinan pada triwulan III-2020 masih terjadi kontraksi meski diperkirakan lebih kecil. Saat perekonomian masih kontraksi, akan diikuti angka pengangguran.
Eddy menuturkan, pengangguran di Kalbar per Februari 2020 sebesar 4,56 persen. Jika perekonomian Kalbar masih terkontraksi pada triwulan III-2020, diprediksi angka pengangguran bisa naik mendekati 5 persen.