Dampak Pandemi, Mulai dari Pemotongan Gaji hingga PHK
Sudah lebih dari lima bulan pandemi Covid-19 mendera Indonesia. Selain memberikan dampak di bidang kesehatan berupa jatuhnya korban jiwa, pandemi juga menyebabkan pertumbuhan ekonomi lesu. Pendapatan warga menurun.
Dampak pandemi Covid-19 telah menggerus pendapatan masyarakat. Kelompok pekerja kelas bawah paling membutuhkan perhatian pemerintah agar tetap memiliki kemampuan bertahan sekaligus menggairahkan aktivitas perekonomian nasional.
Terhitung sejak 2 Maret 2020, sudah lebih dari lima bulan pandemi Covid-19 mendera Indonesia. Selain dampak kesehatan berupa jatuhnya korban jiwa, pertumbuhan ekonomi nasional menjadi lesu karena mata pencarian masyarakat tergerus.
Hilangnya aktivitas kerja dan berkurangnya durasi jam kerja membuat pendapatan publik berkurang. Jutaan pekerja harus bersiasat mencari sumber penghasilan lain karena diberhentikan sementara dan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Baca juga : Gelombang PHK Masih Menghantui
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, hingga 31 Juli 2020, lebih dari 3,5 juta pekerja formal ataupun informal terdampak Covid-19. Dari data yang sudah diverifikasi, setidaknya ada 1.132.117 pekerja formal yang dirumahkan. Adapun pekerja formal yang di-PHK mencapai 383.645 orang.
Baca juga: Catatan untuk Pemulihan Ekonomi
Pandemi juga memukul daya beli masyarakat. Badan Pusat Statistik melaporkan anjloknya daya beli masyarakat yang tecermin dalam pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga yang pada triwulan II-2020 berperan 57,85 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) tumbuh minus 5,51 persen secara tahunan.
Tergerusnya pundi-pundi rezeki dan ladang penghidupan warga Indonesia juga tergambar dari hasil jajak pendapat Kompas yang dilakukan pada 27-29 Juli 2020. Sebagian besar publik (70,6 persen) mengaku mengalami pemotongan gaji. Responden lain pun mengalami pengurangan pendapatan karena terkena pemotongan penghasilan, penundaan pemberian honor, atau hilangnya tunjangan.
Benang merah dampak pandemi terhadap ruang penghidupan masyarakat ialah penurunan pendapatan yang dirasakan di hampir semua lapisan. Mereka meliputi pekerja, buruh harian, buruh pabrik, pekerja lepas atau honorer, ASN/pegawai BUMN, guru/dosen, karyawan swasta, dan pengusaha.
Baca juga : Jaminan Kerja Korban PHK Korona
Dari jajak pendapat tersebut, responden yang bermatapencarian sebagai buruh pabrik dan pekerja lepas merupakan lapisan masyarakat yang paling banyak mengalami pemotongan gaji. Dibandingkan dengan pengusaha dan buruh, kelompok pekerja lepas yang tergolong sebagai pekerja informal mengalami kondisi lebih rentan. Sebanyak 70 persen pekerja lepas/buruh harian mengaku penghasilan mereka turun.
Hal ini sejalan dengan banyaknya pekerja informal di masyarakat. Berdasarkan data BPS, pada Februari 2020, ada 74,04 juta pekerja informal atau 56,5 persen dari total jumlah pekerja.
Selain buruh dan pekerja harian lepas, penurunan pendapatan juga dirasakan responden wiraswasta atau pengusaha, bahkan kaum profesional kerah putih. Perekonomian yang lesu berpengaruh langsung kepada para pekerja atau buruh. Hal ini terjadi karena pemilik usaha tak mampu lagi menahan kondisi penurunan pendapatan selama berbulan-bulan.
Dirumahkan
Pandemi membuat dunia usaha tak leluasa bergerak. Kebijakan pembatasan sosial dan aturan jaga jarak membuat banyak perusahaan mengurangi aktivitas. Industri padat karya adalah salah satu sektor yang mengalami pukulan telak. Padahal, sektor ini menjadi ujung tombak untuk menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja.
Ditilik dari bentuk perubahan pola kerja, bekerja dari rumah (work from home) termasuk yang paling ”ringan” dampaknya. Responden mengungkapkan, hal yang berubah hanya terletak pada cara dan lokasi bekerja.
Baca juga: Mencermati Angka Pengangguran
Tantangan terberat dialami oleh warga yang dirumahkan dan terkena PHK. Sebanyak 14,2 persen responden menyatakan mereka dirumahkan sementara. Perusahaan tempat mereka bekerja berjanji akan memanggil lagi jika kondisi sudah berangsur pulih.
Pukulan lebih dalam dialami 12,8 persen responden yang mengalami PHK. Mereka harus segera mencari pekerjaan pengganti guna menyambung hidup. Tantangan bagi para pencari kerja adalah penurunan lowongan pekerjaan akibat terpaan pandemi.
Berdasarkan data BPS, jumlah lowongan pekerjaan dari berbagai sektor pada Januari-April 2020 mengalami penurunan. Dengan demikian, kesempatan kerja semakin sempit dengan bertambahnya pencari kerja akibat PHK.
Pusat Studi Infrastruktur Indonesia (PSII) dalam penelitiannya mengungkap bahwa pandemi ini memukul berbagai lapangan pekerjaan. Sektor transportasi daring, penerbit, industri kreatif, kontrakstor, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta sektor informal berjibaku dengan menurunnya pemasukan.
Di sisi lain, PSII menemukan bahwa industri farmasi dan perusahaan media mengalami peningkatan permintaan produk. Dalam hal ini, kelompok usaha yang terdampak negatif maupun positif harus sesegera mungkin beradaptasi dengan kondisi yang serba baru.
Persoalannya adalah kapan kondisi dapat kembali seperti sedia kala? Kondisi ini menyebabkan perusahaan tidak bisa langsung mempekerjakan kembali pekerja yang sempat dirumahkan sementara.
Sekoci
Pemutusan hubungan kerja berujung pada penambahan jumlah pengangguran. Bappenas memperkirakan, jumlah penganggur pada tahun ini bertambah 4 juta hingga 5,5 juta orang dibandingkan dengan 2019. Proyeksi Bappenas untuk 2021, jumlah penganggur bertambah 10,7 juta hingga 12,7 juta orang.
Salah satu solusi untuk menampung tenaga kerja yang terkena PHK adalah memajukan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dengan penguatan sektor UMKM, para pekerja yang dikenai PHK dapat ditampung dalam unit usaha kecil dan mikro. Bantuan stimulus bagi UMKM bisa menjadi sekoci bagi pekerja informal dan formal.
Bappenas memperkirakan, jumlah penganggur pada tahun ini bertambah 4 juta hingga 5,5 juta orang dibandingkan dengan 2019.
Pemerintah mengalokasikan dana Rp 123,46 triliun untuk pemulihan koperasi dan UMKM. Selain itu, masyarakat dapat membantu UMKM dengan membeli produk mereka. Wujudnya, antara lain, membeli makanan dari warung di sekitar tempat tinggal atau berbelanja bahan kebutuhan pokok di warung kelontong.
Namun, program tersebut belum terakselerasi dengan maksimal. Hingga 7 Agustus, dana ini baru terserap 29,8 persen, yaitu Rp 36,82 triliun. Strategi lain yang diterapkan pemerintah adalah Kartu Prakerja. Namun, program dengan kuota 5,6 juta orang ini belum banyak dirasakan manfaatnya oleh pekerja informal.
Berdasarkan data Manajemen Pelaksanaan Kartu Prakerja, peserta dari kelompok pekerja di sektor informal baru 1 persen. Program yang dilaksanakan sejak April ini memiliki peserta yang terdiri dari 7.396 pekerja informal dan 680.918 pekerja formal.
Baca juga : Jangan Lupakan Pekerja Informal
Program termutakhir dari pemerintah bagi pekerja formal yang akan diluncurkan adalah bantuan subsidi upah (BSU). Bantuan ini diterimakan kepada karyawan swasta yang bergaji kurang dari Rp 5 juta.
Dana disalurkan melalui BPJS Ketenagakerjaan. Bantuan senilai Rp 600.000 per bulan ini diterimakan selama empat bulan mulai September 2020. Negara menganggarkan dana senilai Rp 33,1 triliun bagi 13,8 juta pekerja formal yang memenuhi syarat. Dana ini diharapkan dapat meringankan beban ekonomi pekerja formal di sektor swasta.
Ragam bantuan dari pemerintah diharapkan menjadi harapan pemulihan penghasilan bagi pekerja. Keterbatasan anggaran pemerintah harus diimbangi dengan kemampuan merancang program bantuan dan akselerasi kecepatan program yang tepat sasaran membidik pekerja yang terpukul pandemi.
(LITBANG KOMPAS)