109 Ton Ikan Budidaya Mati di Danau Toba, Relokasi Mendesak Dilakukan
Sedikitnya 109 ton ikan budidaya mati di keramba jaring apung milik masyarakat di perairan Danau Toba, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Kematian ikan sudah berulang kali terjadi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
PANGURURAN, KOMPAS — Sedikitnya 109 ton ikan budidaya mati di keramba jaring apung milik masyarakat di perairan Danau Toba, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Kematian ikan sudah berulang kali terjadi karena masyarakat tidak setuju kerambanya direlokasi dari tempat yang saat ini tidak sesuai syarat budidaya.
”Kematian ikan berulang kali terjadi karena memang lokasi tersebut tidak memenuhi syarat budidaya ikan. Namun, masyarakat belum mau direlokasi,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Pemerintah Kabupaten Samosir Viktor Sitinjak, Jumat (23/10/2020).
Viktor mengatakan, kematian ikan awalnya terjadi pada Selasa (20/10/2020), tetapi jumlahnya belum banyak. Kematian pun menjalar ke ratusan keramba di perairan yang berada di dekat Kelurahan Siogung-Ogung itu. Lokasi tersebut berada di pinggir Jalan Pangururan-Tele. Hingga kini, kematian ikan sudah mencapai 109 ton dengan petani ikan yang terdampak sebanyak 39 keluarga.
”Kerugian akibat kematian ikan kami perkirakan total Rp 2,3 miliar. Sebagian besar ikan yang mati sudah siap panen dalam beberapa minggu ke depan,” kata Viktor.
Pemerintah bersama petani ikan pun kini masih terus mengevakuasi bangkai ikan dari keramba dengan menggunakan kapal. Ikan dimasukkan ke dalam karung lalu dikubur di tanah yang digali dengan alat berat.
Menurut Viktor, kematian ikan diduga terjadi karena menurunnya kadar oksigen terlarut di dalam air. Kadar oksigen terlarut menurun karena tata ruang keramba di lokasi itu tidak sesuai dengan persyaratan budidaya ikan. Kedalaman air di sekitar lokasi di bawah 20 meter, padahal seharusnya minimal 30 meter.
”Lokasi keramba juga seharusnya minimal 100 meter dari tepi pantai. Padahal, keramba di lokasi tersebut bahkan hampir menempel ke bibir pantai,” kata Viktor.
Keramba juga dibuat berdempetan satu dengan yang lain tanpa ada lorong pemisah. Hal tersebut membuat kualitas air sangat buruk, khususnya karena kadar oksigen terlarut yang bisa menurun sewaktu-waktu. Penurunan kadar oksigen terlarut juga diduga karena arus di bawah air yang meningkat dan membawa limbah ke permukaan.
Catatan Kompas, kematian ikan karena kadar oksigen terlarut yang menurun pertama kali terjadi pada Mei 2016 di perairan Haranggaol, Kabupaten Simalungun. Sejak saat itu, kematian ikan secara massal berulang kali terjadi di sejumlah daerah. Pemprov Sumut juga telah mengeluarkan Keputusan Gubernur Sumut Nomor 188.44/213/KPTS/2017 tentang Daya Dukung Perairan Danau Toba.
Aturan itu menetapkan daya dukung dan daya tampung ikan budidaya di Danau Toba sebesar 10.000 ton per tahun. Pengurangan produksi secara bertahap pun diminta dilakukan karena produksi sudah lebih dari 60.000 ton per tahun.
Viktor mengatakan, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya, zona budidaya ikan di Samosir sebenarnya ditetapkan di tiga kecamatan, yakni Sianjur Mula-Mula, Pangururan, dan Palipi. Lokasi itu dipilih karena sesuai dengan persyaratan budidaya dan tidak mengganggu estetika zona pariwisata. ”Namun, sudah berulang kali kami hendak melakukan relokasi, tetapi masyarakat menolak. Padahal, Pemkab Samosir sudah menyediakan anggaran untuk relokasi,” ujar Viktor.
Sudah berulang kali kami hendak melakukan relokasi, tetapi masyarakat menolak. Padahal, Pemkab Samosir sudah menyediakan anggaran untuk relokasi. (Viktor Sitinjak)
Niolando Naibaho, pemilik keramba, mengatakan, para pembudidaya ikan sangat merugi karena semua ikan yang mereka pelihara mati. ”Ikan itu beberapa minggu lagi siap panen dengan harga jual Rp 23.000 per kilogram. Namun, kami rugi total karena semua ikan telah mati,” katanya.
Niolando menyebutkan, kematian sangat cepat terjadi sejak ikan mengalami gejala mengap-mengap dan berpencar ke tepi kolam pemeliharaan. Ia sendiri mengalami kerugian Rp 80 juta akibat kematian enam ton ikan.
Menurut Niolanda, para petani ikan enggan direlokasi ke zona budidaya di tiga kecamatan karena tempatnya jauh dan rawan pencurian. Biaya operasional pun akan bertambah karena setiap hari harus pergi pulang ke lokasi keramba yang jauh.
Namun, dengan kondisi kematian ikan yang sudah terjadi beberapa kali, sebagian petani ikan pun berharap untuk direlokasi. Mereka berharap pemerintah memfasilitasi relokasi tersebut.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumut Mulyadi Simatupang mengatakan, pihaknya akan memeriksa kematian ikan di Danau Toba. Pemprov Sumut dalam beberapa tahun ini melakukan zonasi ikan budidaya dan pengurangan populasi keramba milik petani ikan ataupun perusahaan.