Tolak Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan, Buruh Jawa Barat Tuntut Kenaikan Upah 8,5 Persen
Sejumlah buruh di Jawa Barat menolak Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan yang meminta gubernur menetapkan upah minimum 2021 sama dengan upah minimum 2020. Buruh menuntut kenaikan upah minimal 8,5 persen.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Ribuan buruh di Jawa Barat menolak Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan yang meminta gubernur menetapkan upah minimum 2021 sama dengan upah minimum 2020. Buruh menuntut kenaikan upah minimal 8,5 persen.
Tidak naiknya upah minimum dinilai sangat merugikan buruh. Sebab, meskipun pertumbuhan ekonomi minus, kebutuhan hidup buruh terus meningkat.
”Kami menuntut kenaikan upah minimum minimal 8,5 persen sesuai rata-rata kenaikan upah dalam lima tahun terakhir,” ujar Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat Roy Jinto Ferianto saat berunjuk rasa bersama 1.000-an buruh di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (27/10/2020).
Upah minimum provinsi (UMP) Jabar 2020 sebesar Rp 1,8 juta. Jumlah itu meningkat 8,51 persen dari tahun sebelumnya.
Akan tetapi, UMP 2021 terancam tidak naik. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan Surat Edaran (SE) yang ditujukan kepada gubernur se-Indonesia tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Covid-19.
Penerbitan SE ini dilatarbelakangi kondisi perekonomian dan kemampuan perusahaan memenuhi hak pekerja yang terdampak pandemi. Upah minimum 2021 disamakan dengan upah minimum 2020.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi Jabar terkontraksi lebih dalam, minus 5,98 persen.
Menurut Roy, alasan tidak menaikkan upah minimum karena perekonomian yang terdampak pandemi tidak bisa diterima. Sebab, kebutuhan hidup tetap meningkat. Kemudian, pertumbuhan ekonomi pada 2021 diproyeksi naik 4-5 persen.
”Kalau ketidaknaikan upah tetap dipaksakan, akan terjadi penurunan daya beli masyarakat. Padahal, pertumbuhan ekonomi ditopang konsumsi masyarakat,” ujarnya.
Alasan tidak menaikkan upah minimum karena perekonomian yang terdampak pandemi tidak bisa diterima. Sebab, kebutuhan hidup tetap meningkat. Kemudian, pertumbuhan ekonomi pada 2021 diproyeksi naik 4-5 persen.
Roy mengatakan, buruh mendesak bupati/wali kota di Jabar untuk mengeluarkan rekomendasi kenaikan upah minimum 2021 sebesar minimal 8,5 persen. Rekomendasi itu diharapkan menjadi pertimbangan Gubernur Jabar Ridwan Kamil dalam menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) paling lambat pada 21 November 2020.
Dalam unjuk rasa itu, buruh kembali menyampaikan penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Mereka menilai pembahasan RUU itu terlalu terburu-buru dan dipaksakan sehingga banyak merugikan buruh.
Di tengah demonstrasi, belasan perwakilan buruh berdialog dengan pejabat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Biro Hukum dan Hak Asasi Manusia Jabar di Gedung Sate. Mereka meminta Pemprov Jabar menetapkan kenaikan UMK minimal 8,5 persen.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar Rachmat Taufik Garsadi mengatakan, pihaknya tetap mengacu pada SE Menteri Ketenagakerjaan dalam menetapkan UMP 2021. Ia mengatakan, pihaknya terganjal waktu yang terbatas untuk menyurvei kebutuhan hidup layak (KHL) karena penetapan UMP paling lama pada 1 November.
Selain itu, menurut Taufik, jika kenaikan upah didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 tentang Pengupahan, upah minimum 2021 berpotensi turun. Sebab, penghitungannya turut menyertakan pertumbuhan ekonomi yang minus di masa pandemi.
”Untuk penetapan UMK masih ada waktu sampai 21 November. Jika pemerintah kabupaten/kota mempunyai waktu untuk survei KHL, bupati/wali kota dapat merekomendasikan kenaikan UMK kepada gubernur,” ujarnya.