”Munding Dongkol” dan Sikap Abai Hadapi Bencana Alam
La Nina diperkirakan memicu potensi bencana alam di tahun ini bakal terjadi lebih dahsyat. Kewaspadaan menjaga ingatan bencana alam menjadi modal penting meminimalkan risiko yang bakal ada.
Rupa sangar munding dongkol muncul lagi di awal musim hujan tahun ini berkeliaran di jalanan Kota Cimahi, Jawa Barat, Sabtu (24/10/2020). Kulit wajah sosok menyerupai kerbau itu merah. Matanya melotot. Giginya besar dengan empat taring menonjol. Tubuh besar sosok penjaga sungai ini kembali mengingatkan tingginya potensi bencana alam di seantero Jabar.
Diiringi alunan lagu tradisional Sunda, lagak munding dongkol itu tenang. Namun, sesekali dia menghanyutkan. Digerakkan beberapa warga Kelurahan Pasirkaliki dari balik kostum penuh ornamen, dia bergerak liar menanduk sana-sini.
Akan tetapi, dilakukan saat pandemi Covid-19, terkaman itu lebih banyak menangkap angin. Kerumunan massa yang melihat aksinya lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Kemunculan munding dongkol adalah bagian dari Kirab Budaya Ngarak Cai Festival Air 2020 di Cimahi, 24-25 Oktober. Kali ini, pesertanya 15 kelurahan dan 1 peserta gabungan komunitas budaya di Cimahi. Bila sebelumnya dilakukan terpusat, arak-arakan dilakukan di setiap tempat peserta kirab karena pandemi. Selain munding dongkol, ada juga sosok nanagaan (ular besar) yang diusung peserta lainnya.
”Kegiatan ini hanya didokumentasikan lewat video. Masyarakat banyak menyaksikan secara virtual di media sosial. Namun, kami yakin, misi mulia menjaga alam guna mencegah manusia terdampak bencana alam tetap terjaga,” kata Hermana HMT, salah seorang penggagas kirab yang juga Ketua Dewan Kebudayaan Kota Cimahi.
Hermana mengatakan, mitos muding dongkol sudah hidup sejak lama di Jabar. Leluhur menyakini, sosoknya di aliran sungai yang tenang dipercaya memberi hidup dan kelembutan.
Akan tetapi, munding dongkol juga bisa murka. Saat tempat tinggalnya dirusak, amarahnya serupa luapan air sungai dan banjir bandang yang tak jarang memakan korban jiwa.
”Kearifan lokal ini seperti ilmu pengetahuan masa lampau agar manusia waspada bencana alam. Pemahaman serupa tumbuh di sejumlah daerah di Jabar meski dengan nama berbeda,” katanya.
Hermana tidak keliru. Pelestarian mitigasi lokal ini masih hidup dan dijaga sebagian masyarakat yang peduli. Selain di Cimahi, kisah munding dongkol ada di sekitar aliran sungai Citarum dan anak sungainya. Ada 12 kota kabupaten yang dilintasi sungai sepanjang lebih kurang 269 kilometer atau terpanjang di Jabar itu.
Di samping munding dongkol, di Bandung Barat, dikenal sosok si layung, serupa ikan mas raksasa penjaga Situ Ciburuy. Ada juga banteng wulung di Ciamis, hingga nini kodok di Kabupaten Bandung. Semuanya bukan sosok yang dipuja, melainkan alarm bencana alam bila tidak waspada.
Lebih besar
Tahun ini, sebagian besar daerah di Jabar bakal kembali diuji. Saat degradasi lingkungan masih terjadi, musim hujan kali ini diduga bakal lebih ekstrem akibat La Nina. Kepala Stasiun Klimatologi Kelas I Bogor Abdul Mutholib menjelaskan, La Nina bakal berdampak pada tingginya potensi bencana hidrometeorologis, seperti gerakan tanah hingga banjir.
Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Agus Budianto menuturkan, kejadian gerakan tanah di Indonesia mencapai lebih dari 800 lokasi per tahun dan berpotensi lebih besar. Sebesar 25 persen di antaranya berada di Jabar. ”Kawasan rawan punya kemiringan ekstrem dan perubahan fungsi lahan di bagian hulu aliran sungai,” katanya.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jabar tahun 2019 menguatkannya. Kala itu, tercatat 605 kejadian longsor, puting beliung (489 kejadian), dan banjir (164). Sebulan terakhir, Sukabumi, Garut, Bandung, dan Tasikmalaya sudah terdampak di awal musim hujan. Total lima orang tewas dan ribuan orang lainnya mengungsi akibat banjir dan longsor.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo meminta semua pihak memetakan kerusakan lingkungan dan perubahan fungsi lahan di hulu aliran sungai. Hal itu bisa menjadi gambaran awal untuk mempersiapkan mitigasi di tingkat lokal.
”Sistem mitigasi berbasis lokal diperlukan, terutama untuk permukiman di daerah dengan kemiringan ekstrem lebih dari 30 derajat,” katanya saat mengunjungi Garut selatan yang terdampak banjir.
Kejadian gerakan tanah di Indonesia mencapai lebih dari 800 lokasi per tahun dan berpotensi lebih besar. Sebesar 25 persen di antaranya berada di Jabar.
Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Herry Yogaswara menuturkan, salah satu modal besar menata mitigasi adalah melestarikan kisah turun-temurun di masyarakat. Dibutuhkan pendekatan multidisiplin untuk menjaganya tetap menjaga warga di daerah rawan.
”Tidak hanya kajian saintifik, pengetahuan tata ruang hingga penelusuran kisah-kisah tradisional juga sangat dibutuhkan,” katanya.
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto menambahkan, cerita turun-temurun ini disebut Geomitologis atau peristiwa geologi yang disaksikan manusia sehingga melahirkan legenda atau mitos.
Hal tersebut menjadi kontrol masyarakat memandang alam sekitar dan berujung kepada kepercayaan terhadap sesuatu. Instrumen pembentuk mitos itu sama dengan sains. Semua folklore dihasilkan oleh ilmuwan masa lalu.
”Masyarakat zaman dulu sering kali lebih bijak memandang alam. Segala fenomenanya tidak dianggap bencana, tetapi bagian proses kehidupan. Ritual tidak hanya sekadar pemujaan, tetapi bentuk penghargaan mereka terhadap alam,” ujarnya.
Akan tetapi, bukan perkara mudah menjaga ingatan itu. Banyak daerah berulang kali dihantam bencana yang sama. Memori menakutkan tidak lagi menjadi pelajaran. Penyintasnya masih saja terpaksa menerima semuanya dengan lapang dada.
Sehari setelah munding dongkol menebar waspada, sebagian warga RW 007 Kelurahan Cibadak, Astanaanyar, Kota Bandung, kembali terdampak bencana, Minggu (25/10/2020). Sungai Citepus, anak Citarum, kembali meluap untuk ketiga kalinya dalam sebulan terakhir.
Sore itu, banjir merendam 40 rumah setinggi 1,5 meter dan mengurung penghuninya di dalam rumah. Atik Hidayat (69), salah seorang di antaranya. Setelah dua jam bertahan di lantai dua, dia turun ke lantai dasar rumahnya untuk membersihkan sampah sisa banjir, sekitar pukul 17.30. Banjir telah surut, tetapi rasa cemas itu tidak hilang.
Sejak puluhan tahun lalu, dia pasrah hidup berteman banjir. Namun, kecemasannya meningkat sejak dua tahun terakhir. Banjir yang semula hanya setengah meter kini bertambah tinggi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, harapan yang sama terus ia lambungkan. Atik ingin warga tidak dibiarkan menderita sendirian menghadapi banjir setiap musim hujan.
Apalagi, menurut dia, tingginya intensitas hujan bukan faktor tunggal penyebab banjir. Ada penyempitan saluran sungai sehingga air tidak bisa mengalir lancar. Akibatnya, air tertahan dan membanjiri permukiman kami. Lahan kritis di kawasan Bandung utara juga diharapkan dihijaukan untuk memperbaiki kualitas resapan air. ”Pilihan saat ini terbatas, bertahan di rumah sambil berdoa banjir tidak bertambah besar,” ujarnya.
Harapan Atik dan penyintas bencana alam di daerah lainnya adalah doa. Tahun ini, bencana bisa jadi mengancam lebih ganas. Di tengah pandemi yang belum usai, puncak musim hujan diprediksi terjadi bulan depan. Bila terus abai, munding dongkol bisa jadi kembali murka menerkam semua yang ada di sekitarnya.