Pandemi Covid-19 memperburuk kondisi nelayan di pantai utara Jawa Barat. Harga hasil tangkap nelayan belum stabil, sementara kebijakan pemerintah, seperti legalisasi cantrang, mengancam nelayan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Sudah empat bulan terakhir Ribut Bachtiar (48) tidak melaut. Harga ikan yang tidak stabil, minimnya hasil tangkapan, hingga pandemi Covid-19 memaksa dia berdiam di rumah. Ia menyebut dirinya pengangguran kelas berat. Kondisi yang sama dialami banyak nelayan pantura lainnya di zaman sulit ini.
Nelayan asal Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, itu menganggur sejak Juni 2020. Sesekali, ia menghadiri undangan rapat virtual sejumlah lembaga untuk membahas persoalan nelayan.
Sering kali dia tak sampai selesai mengikutinya. Dia pernah ketiduran karena lelah menatap layar. Namun, ia juga pernah kesal tak bisa ikut hingga selesai karena kuota internetnya habis.
Di antara segudang masalah ini, Ribut sebenarnya bisa saja melaut. Namun, besar kemungkinan, bukan untung yang didapat, melainkan buntung. Hasil tangkapan rajungan selama tujuh hari di laut kurang dari 1 kuintal. Dengan harga Rp 70.000 per kilogram, maksimal ia meraup Rp 7 juta.
”Padahal, modal melaut itu butuh Rp 6 juta-Rp 7 juta. Daripada rugi, lebih baik menganggur,” katanya, Rabu (28/10/2020). Apalagi, ia harus membagi hasil tangkapan kepada lima anak buah kapal. Setiap ABK setidaknya mendapatkan upah Rp 100.000 per hari.
Seperti nelayan lainnya, Ribut terpaksa harus meminjam modal melaut ke bos. Bos atau bakul yang dimaksud adalah penampung hasil tangkapannya. Nelayan terbatas untuk menjual langsung ke pabrik tanpa campur tangan bos. Itu sebabnya, bos yang menentukan harga.
Untuk makan dapat utang dari teman-teman. Ya, gali lubang, tutup lubang.
Oleh karena itu, menganggur jadi pilihan rasional. ”Untuk makan dapat utang dari teman-teman. Ya, gali lubang, tutup lubang. Saya tidak mau terlalu memikirkan utang. Nanti jatuh sakit,” ujar Ribut.
Sebenarnya, bapak tiga anak ini bisa menabung lebih banyak saat rajungan cukup banyak sebelum bulan Juni. Namun, saat itu, harganya jatuh hingga Rp 20.000 per kilogram. Penyebabnya, pandemi Covid-19. Sejumlah negara yang menjadi tujuan komoditas ekspor itu membatasi permintaannya. Pasokan melimpah, tetapi permintaan sedikit berdampak pada anjloknya harga.
”Saya sudah sering bilang ke pemerintah supaya bikin standar harga rajungan. Tapi, ya begini,” kata Ketua Serikat Nelayan Indonesia di Cirebon ini. Andai saja tata niaga perikanan berpihak kepada nelayan, Ribut dan teman-temannya tidak mungkin menganggur dan menumpuk utang.
Padahal, bapak tiga anak ini sedang bekerja keras mengumpulkan modal. Dia punya cita-cita luhur menyekolahkan anak keduanya ke Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University.
”Semua harus ada modal. Harus diadakan! Syukur-syukur bisa jadi menteri. Kalau tidak, hidupnya kayak kita (saya), jadi nelayan,” kata Ribut yang tidak tamat sekolah dasar. Anak bungsunya masih duduk di bangku SD, sedangkan anak sulungnya lulusan paket C.
”Anak pertama saya rencananya ke Korea (Selatan). Persyaratan sudah selesai semua, tetapi ada virus korona,” ujarnya. Impian anaknya menjadi pekerja migran Indonesia pun belum terwujud.
Terancam cantrang
Akhmad Kusnanto (25), nelayan rajungan lainnya, juga sudah tak melaut lebih dari sebulan. Kapal orangtuanya dan nelayan lainnya hanya terpancang di muara Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jabar. Alasannya, serupa Ribut. Hasil tangkapan tidak setara dengan modal.
Kondisi bisa lebih buruk karena alat tangkap cantrang mulai berkeliaran di laut. Ia mendapati 100 unit alat tangkap bubu rajungan yang ditebar di laut rusak. ”Bubu rusak kena cantrang. Kami sempat mengejar kapal cantrang itu, tetapi mereka kabur,” kata Kusnanto.
Akibat kejadian itu, ia merugi sekitar Rp 2,5 juta. Ia bingung harus melapor ke mana agar kejadian bukan kali pertama itu tak lagi berulang. Apalagi, pemerintah kabarnya bakal melegalkan sejumlah alat tangkap yang sebelumnya dilarang, seperti cantrang. Padahal, kebijakan itu bisa memicu konflik antarnelayan, seperti yang Kusnanto alami.
Masalah itu jelas pelik. Hal itu bisa menambah daftar masalah yang dihadapi nelayan saat pandemi Covid-19. Sejak pandemi, masalah yang belum tuntas adalah anjloknya harga ikan hingga hampir 50 persen. Harga ikan remang, misalnya, kini Rp 28.000 kilogram, turun dibandingkan harga normal, Rp 40.000 per kilogram.
Kepala Bidang Usaha dan Pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan Dinas Kelautan dan Perikanan Indramayu Tahta Rahmatullah mengatakan, anjloknya harga ikan berujung pada turunnya nilai produksi. Hingga September 2020, nilai produksi baru Rp 301 miliar. Jumlah itu baru 48 persen dari target tahun ini sekitar Rp 623 miliar.
Adapun produksi ikan di 14 TPI Indramayu tercatat hanya 21.123 ton. Angka ini hanya 39,17 persen dari target 53.927 ton pada 2020. Indramayu merupakan salah satu sentra perikanan di Jabar.
”Tahun ini, target pendapatan asli daerah dari TPI dikurangi dari Rp 13 miliar jadi Rp 9 miliar,” katanya.
Ketua Serikat Nelayan Indonesia Indramayu Daryati ragu dengan masa depan keluarganya dan nelayan lain jika harga ikan belum juga stabil. Apalagi, belum ada anaknya yang menyentuh bangku kuliah. Anak pertamanya hanya lulusan SD. Anak keduanya lulusan SMA, sedangkan yang ketiga tidak lulus SMP. Sementara anak bungsunya belum sekolah.
”Saya sudah punya cucu satu usia setahun. Namanya Sri Mulyani. Mudah-mudahan bisa jadi menteri juga,” katanya. Barangkali hanya Sri Mulyani, cucunya, yang dapat menolong nelayan. Tentu saja dengan catatan, cucunya bisa jadi sesuai dengan keinginannya.