Tren Dugaan Pelanggaran Netralitas ASN Terus Meningkat
Tren dugaan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara atau ASN pada masa kampanye di tujuh kabupaten yang menggelar Pemilihan Kepala Daerah 2020 terus meningkat.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS – Tren dugaan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara atau ASN pada masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah 2020 di Kalbar terus meningkat. Semula ada dugaan 19 pelanggaran kini sudah mencapai 33.
Selama masa kampanye pemilihan bupati dan wakil bupati di tujuh kabupaten di Kalimantan Barat, hingga Selasa (3/11/2020) ada 19 kasus dugaan pelanggaran netralitas ASN. Dari 19 kasus itu itu, tiga di antaranya sudah dinyatakan melanggar netralitas. Tiga kasus itu melibatkan satu ASN dan dua kepala desa.
Komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Kalbar Faisal Riza, Senin (9/11/2020), mengungkapkan, ada tren kenaikan pelanggaran netralitas. “Trennya meningkat. Hampir setiap hari ada dugaan pelanggaran netralitas ASN,” ungkap Faisal.
Hal itu berdasarkan penelusuran Bawaslu di media sosial milik ASN. Dugaan pelanggaran ASN, antara lain ada yang menge-like foto salah satu pasangan calon kepala daerah.
Trennya meningkat. Hampir setiap hari ada dugaan pelanggaran netralitas ASN
“Ada yang menulis slogan salah satu pasangan calon. Ada juga yang diduga menunjukkan gestur yang mengarah dukungan kepada pasangan calon tertentu. Bahkan, ada yang diduga membawa atribut pasangan calon,” kata Faisal.
Hingga kini, total dugaan pelanggaran netralitas ASN sudah mencapai 33 kasus di tahapan kampanye. Dengan demikian ada tambahan sekitar 14 kasus baru dugaan pelanggaran netralitas ASN.
Menurut catatan Komisi ASN, secara nasional selama masa kampanye 2020 terdapat 604 ASN yang melanggar netralitas dan direkomendasikan dikenai sanksi oleh kepala daerah. Hanya saja sebagian besar rekomendasi belum ditindaklanjuti kepada daerah.
Padahal, dalam Pasal 2 Huruf f Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN jelas mengatur asas netralitas. Artinya, setiap ASN bebas dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak pada kepentingan siapa pun.
Bahkan, dalam jajak pendapat Kompas pekan lalu, separuh lebih (57,9 persen) responden mengakui, keberadaan ASN rawan dimanfaatkan untuk kepentingan elektoral. Hal itu terutama rawan dimanfaatkan kepala daerah petahana yang maju kembali di pilkada.
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura Pontianak Jumadi, beberapa waktu lalu pernah mengingatkan, apapun bentuknya yang namanya ASN dilarang sebagai partisipan dalam kontestasi politik. Maka jika ada pelanggaran netralitas ASN perlu ada pembelajaran dengan memberikan sanksi.
ASN harus profesional. Jika ASN terlibat dalam politik akan merusak profesionalisme mereka sebagai pelayan dan pengayom. Ada regulasi mengatur soal netralitas ASN. Mana kala ada pelanggaran netralitas ASN dan terdapat bukti yang cukup maka perlu ada sanksi sampai pemberhentian status sebagai ASN.
Dugaan ketidaknetralan ASN kemungkinan muncul lebih pada tarikan emosional. Adapun di level desa dan kecamatan kemungkinan ada pengaruh politik identitas. Kemungkinan lain terjadi karena faktor janji-janji salah satu pasangan calon kepada ASN.
Janji-janji itu memberi kompensasi ASN naik jabatan atau pindah dari tempat tugas jika salah satu pasangan calon kepala daerah yan didukung menang dalam pilkada.