Pendampingan Anak Korban Kekerasan Seksual di Cirebon Belum Optimal
Pendampingan anak korban kekerasan seksual di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, belum optimal. Selain tidak menanggung biaya visum, pemkab juga kekurangan psikolog untuk mengurangi trauma korban.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Pendampingan anak korban kekerasan seksual di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, belum optimal. Selain tidak menanggung biaya visum, pemkab juga kekurangan psikolog untuk mengurangi trauma korban. Pemkab Cirebon berkomitmen menyelesaikan masalah ini pada 2021.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Kabupaten Cirebon Iyan Ediyana mengakui memiliki keterbatasan anggaran untuk visum gratis bagi korban kekerasan seksual. Pihaknya baru bekerja sama dengan pemerintah desa untuk mendampingi korban saat visum.
”Tahun 2021, kami akan buat MOU (nota kesepahaman) dengan RSUD Waled dan RSUD Arjawinangun untuk visum gratis. Jumlah anggarannya saya lupa, tetapi sudah kami anggarkan,” ujar Iyan kepada Kompas, Kamis (19/11/2020).
Selama ini korban dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan anak menanggung biaya visum Rp 100.000 hingga lebih dari Rp 400.000. Visum gratis bagi korban hanya terdapat di RSD Gunung Jati, Kota Cirebon.
Selain visum, pendampingan korban juga terkendala terapi. Pihaknya hanya memiliki seorang psikolog berstatus honorer. Padahal, lanjutnya, korban minimal membutuhkan 12 kali terapi dalam setahun. Tanpa terapi, korban bisa larut dalam trauma berkepanjangan, bahkan korban berpotensi mengulangi perbuatan pelaku di kemudian hari.
Itu sebabnya, pihaknya akan mengajukan tiga formasi psikolog yang berstatus aparatur sipil negara ke Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Cirebon. ”Tiga psikolog ini nanti bertugas di wilayah timur, barat, dan tengah. Layanannya gratis,” ujarnya.
Di sisi lain, Cirebon yang berstatus Kota Layak Anak Kategori Pratama pada 2018 hingga kini belum memiliki rumah aman untuk korban. Padahal, sebagian besar kasus kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat korban.
”Kami sudah berupaya maksimal mendampingi korban. Bahkan, tidak jarang menggunakan uang pribadi. Namun, anggaran untuk bidang perlindungan perempuan dan anak (PPA) hanya Rp 400 juta-Rp 500 juta. Idealnya di atas Rp 1 miliar,” ungkapnya.
Meski demikian, pihaknya bekerja sama dengan 15 lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang PPA untuk mendampingi korban. Sejumlah lembaga juga memiliki rumah aman bagi korban. Bahkan, ada yang membantu korban agar tetap bersekolah.
Kepala Unit V Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Cirebon Inspektur Satu Sujiani Dwi Hartati berharap pemda menanggung biaya visum anak korban kekerasan seksual. Seorang korban asal Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, misalnya, karena tidak punya uang akhirnya visum di RSD Gunung Jati.
”Tetapi, di sana hasilnya lama. Apalagi, RS sempat tutup karena Covid-19. Padahal, visum itu menjadi bukti kasus,” katanya. Meskipun sudah dilaporkan sejak 30 September lalu, kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan. Pelaku belum ditangkap hingga kini.
Polresta Cirebon mencatat, kasus kekerasan seksual terhadap anak dalam 10 bulan terakhir mencapai 40 kasus. Tahun lalu, tercatat 53 kasus serupa.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Cirebon Raya Siti Nuryani mengatakan, selain menanggung biaya visum, pemkab juga harus memisahkan jalur visum bagi anak korban kekerasan seksual dengan kasus lainnya. ”Saya pernah mengantar anak korban sodomi. Dia mengantre di tempat umum. Akhirnya, enggak tahan karena melihat banyak pria,” ungkapnya.