Jumlah Kasus Baru Covid-19 di DIY Kembali Pecahkan Rekor
Jumlah kasus baru Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta kembali memecahkan rekor tertinggi. Rata-rata kasus harian Covid-19 di DIY pada awal Desember juga meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Oleh
HARIS FIRDAUS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Jumlah kasus baru Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (6/12/2020), kembali memecahkan rekor tertinggi, yakni 224 kasus dalam sehari. Selain itu, rata-rata kasus harian Covid-19 di DIY pada awal Desember ini juga meningkat dua kali lipat lebih dibandingkan bulan sebelumnya. Ini tanda penularan Covid-19 terus meluas.
”Hasil pemeriksaan laboratorium dan terkonfirmasi positif pada tanggal 6 Desember 2020 terdapat tambahan 224 kasus positif sehingga total kasus positif Covid-19 di DIY menjadi 6.956 kasus,” kata juru bicara Pemerintah Daerah DIY untuk Penanganan Covid-19, Berty Murtiningsih, Minggu sore, di Kota Yogyakarta.
Tambahan 224 kasus itu merupakan rekor baru untuk jumlah kasus harian tertinggi di DIY. Rekor sebelumnya terjadi pada Kamis (3/12/2020) dengan 189 kasus dalam sehari. Untuk ukuran DIY, tambahan 224 kasus dalam sehari tergolong tinggi karena sebelumnya jumlah kasus baru di provinsi tersebut belum pernah lebih dari 200 kasus.
Hingga Minggu, total jumlah pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 di DIY sebanyak 6.956 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.816 orang sudah dinyatakan sembuh dan 152 orang lain meninggal. Oleh karena itu, jumlah kasus aktif atau pasien yang belum sembuh sebanyak 1.988 orang.
Berty menjelaskan, dari 224 kasus baru pada Minggu ini, sebanyak 114 kasus berasal dari Kabupaten Sleman, 51 kasus dari Kabupaten Bantul, 35 kasus berasal dari Kota Yogyakarta, 18 kasus dari Kabupaten Kulon Progo, dan 6 kasus dari Kabupaten Gunung Kidul. Jika dilihat riwayat kasusnya, sebanyak 62 kasus merupakan hasil pemeriksaan mandiri, 119 kasus hasil tracing atau penelusuran kontak, dan 43 kasus belum ada keterangan.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY, sebanyak 224 kasus itu didapatkan dari hasil pemeriksaan terhadap 1.489 orang. Jumlah orang yang menjalani tes dengan metode reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) itu memang sudah melebihi rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Untuk DIY, berdasarkan rekomendasi WHO, jumlah orang yang dites minimal 543 orang per hari.
Namun, positivity rate atau rasio positif di DIY pada Minggu ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan rekomendasi WHO. Rasio positif adalah perbandingan jumlah orang yang menjalani tes PCR dengan jumlah orang yang terkonfirmasi positif Covid-19. Pada Minggu ini, rasio positif di DIY 15,04 persen atau tiga kali lipat rekomendasi WHO sebesar 5 persen.
Rasio positif yang tinggi itu tidak hanya terjadi pada Minggu ini. Berdasarkan data yang dihimpun Kompas dari laporan harian Dinkes DIY, pada 1-6 Desember 2020, rasio positif di provinsi tersebut selalu di atas 10 persen. Bahkan, pada 3 Desember lalu, rasio positif 19,23 persen.
Sementara itu, rasio positif secara keseluruhan pada periode 1-6 Desember 2020 mencapai 15,63 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan rasio positif pada November 2020 yang sebesar 10,23 persen.
Selain itu, rata-rata kasus harian di DIY pada periode 1-6 Desember 2020 juga meningkat signifikan dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Pada periode tersebut, rata-rata kasus harian di DIY 165,5 kasus. Angka ini meningkat dua kali lipat dibandingkan rata-rata kasus harian selama November 2020 yang sebesar 70,93 kasus.
Angka ini meningkat dua kali lipat dibanding rata-rata kasus harian selama November 2020 yang sebesar 70,93 kasus.
Tes mandiri
Selama beberapa waktu terakhir, penambahan jumlah kasus baru Covid-19 di DIY tidak hanya disumbang oleh pemeriksaan yang dilakukan pemerintah. Hal ini karena jumlah warga yang melakukan pemeriksaan mandiri juga meningkat. Kondisi ini antara lain terjadi di Kabupaten Sleman.
Berdasarkan data Dinkes DIY, dari 114 kasus baru di Sleman pada Minggu ini, sebanyak 32 kasus berasal dari tes PCR mandiri yang dilakukan warga. Berbeda dengan tes yang dilakukan pemerintah, biaya tes PCR mandiri itu harus ditanggung sendiri oleh warga yang menjalani tes.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman Joko Hastaryo mengatakan, cukup banyaknya warga yang menjalani tes mandiri ini merupakan fenomena baru yang terjadi beberapa waktu terakhir. Sebab, selama beberapa beberapa bulan sebelumnya, jumlah warga yang melakukan tes PCR mandiri relatif sedikit.
”Warga yang melakukan tes mandiri itu biasanya baru saja melakukan perjalanan dari luar kota. Ada juga yang untuk keperluan perjalanan. Warga yang merasakan demam atau batuk-batuk sebagian juga ada yang melakukan tes mandiri ini. Untuk merasa aman, mereka periksakan diri,” kata Joko.
Joko menambahkan, tindakan sebagian warga yang melakukan tes mandiri ini didukung akses layanan tes PCR yang semakin mudah. Apalagi, saat ini, sudah semakin banyak fasilitas kesehatan di Sleman yang bisa melayani tes PCR. Sebagian fasilitas kesehatan itu bahkan mampu mengeluarkan hasil tes PCR dalam waktu satu hari.
Salah satu yang bisa mengeluarkan hasil tes PCR dalam sehari itu adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sleman. Di rumah sakit itu, jumlah sampel yang dapat diperiksa dengan metode PCR berjumlah 36 sampel setiap hari. Dari jumlah tersebut, sebanyak 15 sampel merupakan hasil penelusuran kontak, sedangkan sisanya merupakan sampel dari masyarakat yang mengajukan untuk pemeriksaan mandiri.
”Begitu tahu RSUD Sleman bisa memeriksa sehari jadi, banyak sekali yang ingin periksa karena di tempat lain periksa harus menunggu tiga sampai empat hari. Setelah tahu ini, banyak juga yang positif karena pasien yang periksa mandiri cenderung menjadi kasus tambahan nantinya,” kata Joko.
Warga yang melakukan tes mandiri itu biasanya baru saja melakukan perjalanan dari luar kota. Ada juga yang untuk keperluan perjalanan. Warga yang merasakan demam atau batuk-batuk sebagian juga ada yang melakukan tes mandiri ini. (Joko Hastaryo)
Joko memaparkan, tingginya jumlah kasus di Sleman beberapa waktu terakhir dipengaruhi mobilitas masyarakat yang semakin tinggi di ruang-ruang publik. Selain itu, penerapan protokol kesehatan oleh masyarakat juga cenderung longgar, terutama jika tidak ada petugas yang mengawasi. Tingginya mobilitas dan longgarnya penerapan protokol kesehatan itu mengakibatkan risiko penularan Covid-19 menjadi kian tinggi.