Tumbangnya Dua Dinasti di Jawa Barat Setelah 20 Tahun Berkuasa
Setelah dua dekade berkuasa, dinasti politik di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tumbang dalam Pilkada 2020. Tahun ini diperkirakan menjadi puncak kejenuhan warga melihat kinerja penguasa di sana.
Oleh
abdullah fikri ashri/machradin wahyudi ritonga
·5 menit baca
Ratusan orang berkumpul di posko pemenangan pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor 04, Nina Agustina-Lucky Hakim, di Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Indramayu, Rabu (9/12/2020) malam. Saking padatnya, jalan kaki pun sangat sulit.
Pandemi Covid-19 tidak menyurutkan orang-orang itu untuk datang. Massa malah bersorak bahagia lebih keras saat menyaksikan paslon Nina-Lucky mengungguli tiga kandidat berdasarkan hitung cepat sejumlah lembaga survei. Nama besar Nina sebagai anak mantan Kapolri Jenderal (Purn) Da’i Bachtiar dan Lucky yang tenar sebagai selebritas kemungkinan jadi magnetnya.
Posko yang juga kediaman Da’i itu didatangi buruh hingga elite partai. Hadir Ketua DPD PDI-P Jabar Ono Surono; pimpinan partai pengusung Nina-Lucky dari PDI-P, Gerindra, Nasdem, dan Perindo; serta Ketua Umum Gerakan Rakyat Indonesia Baru Hercules.
Dalam hitung cepat Indikator Politik Indonesia, Nina-Lucky meraih 37,49 persen suara. Urutan kedua ditempati paslon nomor urut 03, Daniel Mutaqien-Taufik Hidayat (29,29 persen). Selanjutnya ada paslon 01, Muhamad Sholihin-Ratnawati (24,58 persen) dan paslon 02, Toto Sucartono-Deis Handika (8,63 persen).
KPU Indramayu hingga Kamis (10/12/2020) sore, mencatat, Nina-Lucky meraih 36,7 persen suara, mengungguli kontestan lainnya. Suara itu dikumpulkan dari 1.512 tempat pemungutan suara atau 46,01 persen dari total 3.286 tempat pemungutan suara (TPS).
”Hasil ini bukan final. Hingga ditetapkan KPU, kami akan mengawal suara Nina-Lucky. Namun, hasil ini membuktikan bahwa rakyat Indramayu butuh perubahan,” ujar Ono Surono.
”Selama 20 tahun, enggak ada perkembangan dan perubahan apa pun di Indramayu,” kata Nina yang berdomisili di Jakarta. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indramayu tahun lalu tercatat 66,97 poin, salah satu yang terendah di Jabar.
Hampir dua dekade, Indramayu dikuasai ”Randu Gede”. ”Randu Gede” merujuk pada pohon di dekat rumah keluarga Irianto MS Syafiuddin atau Yance, tepat di depan Kantor Bupati Indramayu. Seperti pohon itu, Yance, ayah Daniel, juga mengakar di masyarakat.
Yance menjadi bupati pada 2000-2010. Selanjutnya, kursi bupati diduduki istrinya, Anna Sophanah, pada periode 2010-2020. Namun, dengan alasan mengurus keluarga, Anna mengundurkan diri sebagai bupati akhir 2018. Wakil Anna, Supendi, menjadi bupati.
Meskipun bukan keluarga Yance, Supendi saat itu masih dianggap sebagai buah ”Randu Gede”. Ia besar di Golkar, partai Yance. Namun, mantan Sekretaris Daerah Indramayu ini tertangkap KPK pertengahan Oktober 2019. Ia terlibat korupsi infrastruktur.
Supendi menyusul Yance yang juga terjerat korupsi pembebasan lahan pembangkit tenaga uap di Desa Sumuradem tahun anggaran 2004. Perbuatannya merugikan negara Rp 4,1 miliar. Pada September 2016, Anna sempat diperiksa KPK sebagai saksi kasus tindak pidana pencucian uang dengan tersangka mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rohadi.
Kasus korupsi yang menjerat petinggi Golkar di Indramayu itu turut memengaruhi suara Daniel dan Taufik (Pelaksana Tugas Bupati Indramayu) dalam Pilkada 2020. Padahal, Golkar menguasai 22 dari 50 kursi di DPRD setempat. Daniel pun belum berhasil meneruskan jabatan kedua orangtuanya.
Sementara Nina-Lucky yang tidak mencoblos karena tidak punya KTP Indramayu malah juara. Dua menteri asal partai pengusung paslon 04 yang ditangkap KPK beberapa waktu lalu tidak menghentikan langkah Nina-Lucky meraih suara terbanyak.
Kasus korupsi yang menjerat petinggi Golkar di Indramayu itu turut memengaruhi suara Daniel dan Taufik. Dua menteri asal partai pengusung paslon 04 yang ditangkap KPK beberapa waktu lalu tidak menghentikan langkah Nina-Lucky meraih suara terbanyak.
Iman Soleh, pengamat politik dari Universitas Wiralodra, Indramayu, menilai, soliditas partai pengusung, ketenaran Lucky sebagai artis, dan kerinduan masyarakat akan perubahan menjadi faktor kemenangan Nina-Lucky. ”Sebaliknya, persoalan internal Golkar membuat Daniel-Taufik kalah,” ucapnya.
Pecahnya Golkar kian terlihat ketika Yance berpulang, pertengahan Agustus lalu. Selanjutnya, kubu Syaefudin, Ketua DPRD Indramayu yang juga kader Golkar, tidak sejalan dengan Daniel. Supendi yang punya massa di daerah Indramayu Barat juga diisukan mendukung Nina. Begitu pun dengan Ami Anggraeni (kader Golkar).
”Ini gejala tumbangnya ’Randu Gede’. Namun, Nina-Lucky perlu rekonsiliasi, merangkul partai dan kubu lawan, untuk membangun Indramayu,” ujarnya.
Nina mengatakan bakal bersinergi dengan pihak mana pun demi kemajuan Indramayu. ”Mas Daniel sudah telepon. Dia bilang selamat dan menitipkan masyarakat Indramayu,” ujarnya.
Adapun Daniel masih membicarakan langkah selanjutnya setelah hasil penghitungan cepat pilkada keluar. Ia juga menampik anggapan Golkar tidak solid. ”Kondusivitas Indramayu harus tetap terjaga. Pilkada ini pesta rakyat. Semua harus bergembira,” katanya.
Tumbangnya dinasti politik juga terjadi di Kabupaten Bandung. Dua dekade terakhir, Bandung tak jauh dari keluarga besar Obar Sobarna. Obar memimpin pada 2000-2010 sebelum memberikan estafet kepemimpinan kepada menantunya, Dadang M Nasser (2010-2020).
Pada pilkada kali ini, istri Nasser, Kurnia Agustina, ingin meneruskan jabatan suaminya. Namun, harapan putri Obar ini terancam pupus. Berdasarkan hitung cepat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, pasangan Kurnia-Usman Sayogi hanya meraup 30,81 persen suara.
Angka ini jauh di bawah pasangan Dadang Supriatna-Sahrul Gunawan yang mencapai 56,38 persen suara. Sedangkan pasangan lainnya, Yena Iskandar Masoem-Atep Rizal, hanya meraih 12,81 persen.
Pengamat politik Universitas Padjadjaran, Firman Manan, berpendapat, ketenaran figur lawan turut menumbangkan dinasti politik di Bandung. Sahrul merupakan selebritas sejak era 1990-an. Sedangkan Dadang sebelumnya merupakan kader Golkar yang populer.
Bahkan, ujar Firman, Dadang berpotensi menjadi kepala daerah yang diusung sebelum tiket calon kepala daerah dari kubu Golkar diambil Kurnia. ”Kemungkinan sebagian pendukung masih melihat Dadang sebagai figur yang cocok sebagai pemimpin sehingga memilih pasangan tersebut,” tuturnya.
Di sisi lain, kekalahan Kurnia juga karena faktor kinerja penguasa daerah sebelumnya belum memuaskan masyarakat meski berkuasa sekitar 20 tahun. ”Masyarakat ingin perubahan,” ujarnya.
Ketenaran figur lawan turut menumbangkan dinasti politik di Bandung.
Hal tersebut akan berbeda jika setiap dinasti memiliki persepsi positif di masyarakat. Pandangan baik ini, ujar Firman, bisa dilihat dari daerah yang maju hingga bebas dari isu negatif seperti korupsi.
Sebagai contoh, Bupati Purwakarta terpilih Anne Ratna Mustika (2018-2023) merupakan istri dari bupati sebelumnya, Dedi Mulyadi. Publik menilai Dedi mampu memajukan Purwakarta sehingga istrinya pun lebih leluasa melenggang untuk melanjutkan kekuasaan.
Ketika dinasti politik tumbang di Bandung dan Indramayu, dua anggota keluarga Presiden Joko Widodo, yakni Gibran Rakabuming Raka (anak) dan Bobby Nasution (menantu), memenangi Pilkada Surakarta dan Medan. Menurut Firman, kedua calon ini mendapatkan keuntungan dari figur Jokowi yang masih positif di tengah masyarakat.
Dinasti politik di Indonesia bagaikan pisau bermata dua. Sisi positifnya, jika kinerjanya baik, dinasti ini memberikan insentif jejaring yang mampu menguatkan calon. Namun, sisi negatifnya, jika dinasti tidak memberikan kinerja yang baik, warga akan jenuh dan mencari harapan baru.