Tradisi Kuliner Fermentasi Jawa Barat Melintasi Kerasnya Zaman
Makanan fermentasi Jawa Barat terus melegenda dan bertahan di tengah zaman. Ragam perjalanan bangsa dan manusia mengiringi jatuh bangun ragam kuliner itu.
Mata Frans Tasma (28) tajam mengamati satu per satu guci kedelai fermentasi di pabrik pengolahan taoco Cap Meong di Kecamatan Cugenang, Cianjur, Senin (28/2/2022). Di dalam guci itu, ada warisan leluhur yang terus dijaga untuk selalu memberi warna unik bagi kuliner tradisi Jawa Barat.
Di setiap guci berdiameter 45 sentimeter itu, ada sekitar empat kilogram fermentasi kacang kedelai. Siang itu, puluhan guci itu sengaja dibuka dan dijemur di bawah matahari. Semua menjadi bagian dari pembuatan taoco yang bisa memakan waktu 3- 6 bulan. Sekilas mirip proses pembuatan kimchi di Korea Selatan.
Akan tetapi, langit mendung membuat satu per satu guci itu kembali ditutup rapat. ”Biasanya kami buka terus biar dijemur. Tapi karena mendung, sekarang ditutup dulu. Cara ini tidak berubah dari dulu hingga sekarang,” ujar Frans.
Baca juga : Mariyah, Penjaga Cita Rasa Kupat Tahu Gempol yang Legendaris
Taoco Cap Meong adalah legenda kuliner Jabar asal Cianjur. Makanan fermentasi kedelai ini sudah ada sejak tahun 1880. Frans adalah generasi keempatnya.
Frans mengatakan, ada banyak kisah mengiringi perjalanan panjang itu. Taoco Cap Meong pernah menikmati ramai Bandung-Jakarta sejak masa Hindia Belanda. Sejauh ini, mereka juga bisa bertahan saat terimbas Tol Cipularang sejak 2005. Melewati kenaikan harga kacang kedelai dalam berbagai zaman hingga kini menjadi saksi sejarah ganasnya pandemi Covid-19.
”Dulu, kami bisa menghabiskan 4 kuintal kacang kedelai sehari. Setelah tol, hanya sekitar 1 kuintal lebih dalam sehari. Dulu ada belasan merek taoco di Cianjur. Sekarang kurang dari 10 merek,” ujarnya.
Akan tetapi, Frans mengatakan, dia dan keluarganya belum ingin menyerah. Cita rasa warisan, asin-asam-manis, tetap dipertahankan. Bahkan, penggunaan centong kayu untuk mengemas taoco tetap dilakukan. Dia percaya, semuanya berkontribusi menjaga rasa terbaik tidak berubah.
Ada yang tetap sama, tetapi beberapa harus mengikuti zaman. Kemasan botol kaca dengan penutup kedap udara, misalnya, dibuat agar taoco bisa tahan lama. Apabila dibiarkan di udara terbuka, taoco hanya tahan seminggu setelah dikemas.
Umurnya akan lebih panjang hingga sebulan jika disimpan di lemari es. Cara itu juga membuat Frans percaya diri mengirimkan taoco yang dihargai Rp 22.000 untuk botol ukuran 330 mililiter ini ke berbagai daerah.
”Kami juga tengah berupaya membuat variasi baru yang lebih sesuai dengan lidah anak muda. Untuk variasi nantinya akan menjadi pelengkap tanpa harus meninggalkan tradisi yang sudah mewarnai banyak kehidupan,” ujar Frans.
Iding (65), warga Cianjur, menjadi saksi hidup kejayaan taoco Cap Meong. Dia bukan warga biasa. Iding adalah satu-satunya orang yang memiliki resep kuliner khas Cianjur, tauge taoco (geco), yang diduga muncul sejak tahun 1930-an. Dengan lapak yang diberi nama Nusasari, Iding berjualan di sekitar Alun-alun Cianjur.
”Saya biasa menggunakan taoco Cap Meong untuk membuat geco. Gurihnya cocok dengan resep saya,” ujarnya.
Rasa asin dan gurih lumer di mulut bersama tauge yang disiram bumbu taoco. Dalam sepiring geco, bercampur taoco, tomat, bawang merah, bawang putih, dan bumbu dapur lainnya.
Akan tetapi, nikmatnya geco berkurang di tengah pandemi. Iding mengeluhkan pembeli yang berkurang drastis sejak tahun 2020. Geco seharga Rp 15.000 yang biasanya terjual ratusan piring dalam sehari sekarang hanya bisa laku kurang dari 100 piring.
”Sekarang tinggal saya yang berjualan geco dan berusaha tetap bertahan. Apalagi sekarang pandemi, semua menjadi semakin susah,” ujarnya.
Baca juga: Usaha Keras Melepas Ketergantungan Kedelai Impor
Tetap bertahan
Sejarah kota
Tradisi fermentasi turun-temurun juga hadir dari ”Kota Para Wali”, Cirebon. Mirip seperti taoco, kota ini menjadi salah satu persinggahan dari jalan raya pos yang menyumbang peradaban di tanah Jawa. Di sana ada terasi udang yang telah diproduksi selama turun-temurun.
Identitas Cirebon sebagai ”kota udang” sudah melekat sejak dahulu. Dikisahkan, pada abad ke-14, Ki Cakrabumi, pendiri Cirebon, menjamu para menteri dari Kerajaan Galuh dengan menu garagal (rebon yang ditumbuk). Para tamu memuji makanan yang disebut terasi itu.
”Aduh ngeunah teuing garagal teh (alangkah enaknya garagal ini),” ucap tamu itu seperti dikutip dalam buku Sunan Gunung Jati karya Prof Dadan Wildan. Ki Cakrabumi lalu menjawab dalam bahasa Sunda, ”Mundak caina (apalagi airnya garagal).” Para tamu lalu berlomba mencobanya.
Ketagihan, mereka pun meminta sambil berteriak, ”Cai rebon, cai rebon (air rebon).” Sejak saat itu, daerah tersebut dinamakan Cairebonan, yang lalu menjadi Cirebon. Sang Prabu Rajagaluh dari Kerajaan Pajajaran bahkan meminta terasi sebagai upeti dan pajak dari penangkap rebon.
”Ketika masa kepimpinan Sunan Gunung Jati, pemberian upeti seperti terasi dan garam dihentikan. Sejak itu, Cirebon berdiri sendiri,” ucap pengamat budaya Cirebon, Akbarudin Sucipto. Terasi, katanya, tidak hanya buah kreativitas mengolah bahan pangan, tetapi juga alat kemerdekaan.
Geliat pembuatan trasi ini masih ada hingga saat ini, bahkan aromanya masih menyeruak ketika memasuki rumah Inayah (30) di Blok Kamis, Desa Kanci Kulon, Astanajapura, Cirebon, Jawa Barat, Senin (28/2/2022). Bebauan itu berasal dari rebon kering yang dibungkus karung. Sebelumnya, udang kecil itu telah difermentasi semalam dan dijemur.
Inayah lalu mencomot dan menaruh rebon itu di atas lumpang yang terbuat dari batu. Di wadah yang konon berusia puluhan tahun itu, ia mulai menumbuk rebon dengan lesung kayu. Campurannya hanya air bersih. Sinar matahari dari jendela dan dinding bata turut menemaninya.
Setengah jam berlalu, rebon kering tersebut membentuk adonan berwarna coklat. Inayah lalu menatanya menjadi lingkaran seperti cetakan serabi. Setiap lingkaran atau setangkep terasi berukuran 6 ons. Terasi itu kemudian dibungkus kertas atau koran untuk dijual ke bakul.
”Sekarang, ada terasi yang pakai pewarna (makanan) atau dicampur kepala ikan. Saya enggak berani begitu. Mau enggak mau, buat terasi harus kayak gini. Kalau dicampur, takutnya orang enggak beli. Kita juga yang rugi. Saya maunya yang murni saja,” ujar Inayah.
Terasi yang bahannya campuran teksturnya lebih lembek dibandingkan dengan yang berbahan rebon. Warna kemerahan terasi juga lebih mencolok karena pewarna. Jika digoreng, terasi campuran pun lebih gampang pecah. ”Kalau bahannya ikan, baunya itu enggak seenak terasi rebon,” katanya.
Itu sebabnya ia memilih cara pembuatan terasi dari generasi ke generasi di kampungnya. Ibu satu anak ini menjadi perajin terasi tujuh tahun terakhir karena ibu mertuanya sudah sepuh. Awalnya, ia kesulitan membuat terasi. Telapak tangannya kapalan karena harus menumbuk rebon berjam-jam.
Kini, ia enteng membubuk rebon untuk jadi terasi. Jika rebon melimpah seperti bulan Juni dan Juli, ia mampu memproduksi hingga 60 tangkep atau lebih dari 10 kilogram terasi per hari. Namun, harganya ditentukan oleh tengkulak, bisa Rp 16.000 hingga Rp 40.000 per tangkep.
Inayah tak kuasa atas harga terasinya karena tidak paham cara pemasarannya. Ia hanya menjual produknya ke bakul atau orang yang datang ke tempatnya. Kemasannya pun cuma kertas, tanpa merek. ”Saya enggak punya medsos (media sosial). Enggak ngerti jual online,” ucapnya.
Selain pemasaran, perajin terasi juga dihadapkan pada masalah bahan baku. Kala musim kemarau atau pertengahan tahun, nelayan bisa menangkap hingga 1,5 kuintal rebon. ”Tapi, kalau enggak musim kayak sekarang, paling dapat 1 kg rebon,” ucap Ming (32), suami Inayah.
Tangkapan itu bakal susut jika dijemur. Sebagai gambaran, berat 1 kuintal rebon bisa berkurang hingga menjadi 30 kg setelah dikeringkan. Ketimbang merugi melaut setengah hari, Ming memilih memperbaiki jaring dan perahunya yang sepanjang 5 meter dan lebar 1,3 m.
Baca juga : Lestarikan Memberi untuk Menolak Bala
Terdampak pembangunan
Belasan tahun lalu, kala ikut melaut dengan bapaknya, Ming mengingat masa panen rebon yang lebih dari dua bulan. Ia juga hanya menjaring rebon di pesisir yang dangkal. Namun, kini, ia harus melaut lebih dari setengah jam hingga kecamatan lain demi mencari rebon.
Ming tidak tahu pasti apakah pembangunan pabrik yang masif di kampungnya berdampak pada tangkapan rebon. Yang jelas, pabrik pakan ternak hingga dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 660 megawatt (MW) dan 1.000 MW memadati kampungnya yang sempit.
Maraknya alat tangkap yang ditarik dengan mesin, menurut dia, juga turut mengurangi tangkapan rebon. Alat itu menyisir ke dasar, merusak tempat tinggal biota laut. ”Kalau saya kan pakainya dengkul aja. Mesin perahu saya kecil, enggak kuat untuk derek jaring,” katanya.
Ming dan Inayah berharap, ada solusi atas berbagai persoalan perajin terasi. Dengan pendidikan hanya tamatan sekolah dasar, mereka sulit mencari mata pencaharian lagi. ”Dari rebon dan ikan, kami bisa punya rumah,” ucap Inayah sambil menyentuh teras rumahnya yang berkeramik.
Sekretaris Desa Kanci Kulon Ade Arief mengatakan, warga membuat terasi turun temurun. Orang dari luar Cirebon bahkan datang ke desanya mencari terasi. ”Salah satu blok namanya Siwaring. Artinya, jaring kecil untuk menangkap rebon. Dulu, jemur rebon di sana,” katanya.
Pesisir, katanya, menjadikan warga tak lagi menganggur. Mereka bisa membuat tambak ikan saat musim hujan. Jika rebon tak musim, warga menggarap lahan garam. Hampir setiap rumah membuat terasi di Blok Kamis. Kini, kurang dari 10 rumah yang masih menjalankan usaha itu.
”Sekarang, hampir enggak ada pesisir. Adanya daerah KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang dipagari,” katanya. Puluhan hektar tambak garam beralih fungsi menjadi PLTU. Padahal, Cirebon adalah sentra garam dengan produksi sekitar 500.000 ton per tahun.
Arief memprediksi, wilayah pesisir di desanya bakal terus menyusut. Apalagi, Pemkab Cirebon mendorong daerah timur, termasuk Kanci Kulon, sebagai kawasan industri seluas 10.000 hektar. Kondisi ini bisa memicu berkurangnya bahan baku terasi.
Produksi udang di Cirebon pada 2016 terdata 4.201 ton atau menurun dibandingkan 2011, yakni 6.684 ton. Adapun produksi terasi pada 2014 hanya 2,7 ton, anjlok dibandingkan 2011 yang sebanyak 306 ton.
Di tengah sulitnya bahan baku hingga pandemi, kuliner fermentasi di Jabar tetap bertahan dan menemani lidah masyarakat yang ada di sekitarnya. Mereka ingin membuktikan, resep warisan nenek moyang ini akan tetap ada dan tetap lestari.
Baca juga : Warisan Hidup Sehat dari Para Pemuka Agama