Memilah dan Olah Sampah, Kota Batu Memanen ”Eco-enzyme”
Diolah melalui fermentasi, limbah dapur berubah menjadi ”eco-enzyme” yang punya banyak manfaat. Beberapa tahun terakhir, warga di Kota Batu membuat dan membagikannya secara cuma-cuma.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
Aroma wangi nan segar menusuk hidung ketika Haris Yudistiro (24) membuka tutup bak plastik berkapasitas sekitar 200 liter, Senin (13/6/2022). Di dalam wadah itu masih tersisa separo lebih cairan agak pekat berwarna kecoklatan yang dikenal dengan sebutan eco-enzyme.
Tak terasa sama sekali bau menyengat layaknya yang biasa tercium dari sisa-sisa limbah rumah tangga yang telah lama membusuk. Jika diamati dari sisi fisik, orang awam hanya melihat ratusan liter cairan mirip kuah asinan atau sirup rasa gula jawa.
Dari bak yang ditempatkan di salah satu sisi kebun Soemarni—punya keluarga Har—di Dusun Gondang, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, itulah eco-enzyme itu dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan di desa lain secara cuma-cuma.
Cairan tersebut dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, mulai dari pestisida dan pupuk bagi tanaman, cairan pembersih lantai, hingga sanitasi bagi kandang ternak. Eco-enzyme juga bisa dimanfaatkan untuk mendukung kesehatan manusia.
”Ini eco-enzyme. Beda dengan kompos yang berwujud padat, eco-enzyme berwujud cair meski sama-sama berasal dari limbah rumah tangga. Kesamaannya, mereka sama-sama terbuat dari sampah organik, seperti kulit buah dan sisa potongan sayur,” ujar Haris yang mengelola kegiatan itu.
Menurut Haris, kegiatan pembuatan eco-enzyme di tempatnya telah berlangsung empat tahun terakhir. Mereka yang terlihat adalah anggota Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Ibu-ibu peserta PKK membawa sampah yang telah dipilah dari rumah masing-masing untuk kemudian disatukan di dalam bak untuk diolah bersama.
Proses pembuatannya pun simpel dengan melibatkan proses fermentasi. Sampah organik dipotong kecil-kecil (dipisahkan dari yang busuk), lalu ditambahkan tetes tebu atau molase dan air dengan perbandingan tertentu. Setelah itu, bak penampungan ditutup rapat dan dibiarkan sekitar tiga bulan.
Menurut Haris, permintaan eco-enzyme meningkat dalam beberapa pekan terakhir seiring berkembangnya penyakit mulut dan kuku (PMK) pada ternak. Para peternak meminta cairan itu untuk desinfektan kandang ataupun dicampurkan ke dalam comboran (minuman) sapi sebagai suplemen dengan perbandingan tertentu pula.
”Eco-enzyme untuk menyemprot kandang. Selain itu, juga dicampurkan ke minuman. Alhamdulillah, ternak kembali membaik,” katanya. Haris menuturkan, tiga ekor sapi milik kerabatnya sehat dan terhindar dari serangan PMK. Pasalnya, saudaranya telah memanfaatkan eco-enzyme untuk sanitasi dan tambahan suplemen sebelum marak PMK.
Kegiatan pembuatan eco-enzyme di Kota Batu sendiri tidak hanya terbatas di Kebun Soemarni. Kegiatan serupa banyak dilakukan di desa/kelurahan lain. Tiap desa rata-rata punya program eco-enzyme yang dikerjakan oleh kader PKK dan Bank Sampah setempat.
Hasil eco-enzyme yang didapat pun tidak sedikit. Saat kegiatan panen eco-enzyme serentak di semua desa/kelurahan di Batu, Kamis (9/6/2022), total cairan eco-enzyme yang terkumpul mencapai 7 ton. Sebuah jumlah yang cukup besar untuk kota dengan jumlah penduduk sekitar 250.000 jiwa tersebut.
Koordinator Relawan Eco Enzim, G Endah Tuti Rahayu, mengatakan, eco-enzyme menjadi salah satu upaya menangani pemanasan global. Cara ini mencegah penumpukan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA), menjernihkan air, dan mampu memerbaiki unsur hara tanah.
Tidak hanya itu, ada manfaat lain yang bisa diperoleh darinya. ”Manfaatnya bagi manusia juga bagus untuk kesehatan, mulai dari mengurangi gejala flu, pilek, luka bakar, dan luka akibat diabetes. Eco-enzyme juga diyakini bisa meringankan PMK yang saat ini merebak,” ujarnya.
Soal PMK, Endah menuturkan, ada seorang peternak di Batu yang mendapati sapi miliknya mengeluarkan air liur berlebihan. Karena belum tahu ada istilah PMK, sang peternak kemudian mencampurkan eco-enzyme untuk diminumkan pada ternaknya. Upaya itu membuahkan hasil, sehari kemudian ternak tersebut langsung mau makan.
”Untuk ternak, eco-enzyme diencerkan 1 : 100. Boleh diminumkan, sangat aman. Kalau kemudian doyan makan, (itu) tanda-tanda sapi makin (mem)baik. Lebih dari 100 ekor yang sudah diberi eco-enzyme. Saya gerakkan teman-teman sukarelawan untuk mencatat bagaimana perkembangannya,” ujarnya.
Eco-enzyme menjadi cairan probiotik yang membantu memercepat penyembuhan ternak. Dia dinilai ikut ambil bagian dalam meningkatkan imunitas ternak bersama ramuan herbal dan pakan bergizi. Seperti diketahui, Batu tak lepas dari serangan PMK. Data terakhir per 10 Juni, ada 1.200 ekor ternak yang terjangkiti dengan kematian 32 ekor dan kesembuhan 258 ekor.
Peningkatan angka kesembuhan tidak lepas dari tindakan petugas medis dan paramedis veteriner dalam memberikan obat pada ternak yang sakit, antibiotik, vitamin, dan antistres pada sapi. Juga sosialisasi soal higienitas sanitasi kepada peternak untuk menjaga sanitasi kandang.
Melihat cukup banyak manfaatnya, Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko berharap penelitian lebih lanjut terkait keberadaan eco-enzyme bagi ternak terus dilakukan. ”Saya berharap betul-betul bisa diteliti lagi karena banyak peternak yang hewannya sembuh dengan cairan ini,” ujarnya.
Kembali ke sampah, penanganan sampah dengan cara memanfaatkan untuk keperluan lain menjadi keniscayaan di Batu. Mengingat daerah berhawa sejuk yang diapit oleh Gunung Panderman, Arjuno, dan Anjasmoro itu memiliki sumber daya sampah organik yang besar. Selama ini Batu dikenal sebagai daerah penghasil sayur dan buah-buahan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, untuk produksi kubis, misalnya, luas panen di Batu pada 2021 mencapai 240 hektar (ha). Angka ini di bawah Kabupaten Probolinggo (3.431 ha), Malang (3.220 ha), serta kabupaten lainnya yang memiliki wilayah jauh lebih luas dari Batu. Begitu pula dengan kembang kol (370 ha), tomat (192 ha), wortel (462 ha), dan kentang (364 ha) produksi dari Batu tetap diperhitungkan.
Batu juga surganya buah. Tahun 2021 produksi apel di Batu mencapai 350.091 kuintal (kw), di bawah Pasuruan (2.916.893 kw) dan Malang (2.242.774 kw). Sementara untuk jeruk keprok, untuk tahun yang sama, Batu menghasilkan 303.066 kuintal di bawah Banyuwangi (3.444.466 kw), Malang (2024706 kw), Jember (1.114.483 kw), serta Tulungagung (393.007 kw).
Sementara volume sampah di Batu mencapai 80-90 ton per hari yang masuk ke TPA Tlekung. Jumlah ini bisa meningkat pada hari libur panjang yang mana banyak wisatawan datang ke kota itu. Sebelum pandemi, Batu dikunjungi tak kurang dari 7 juta wisatawan dalam setahun. Artinya, banyak pelaku wisata dan pendukungnya yang beraktivitas dengan menyisakan sampah.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Batu Aris Setyawan mengatakan, pembuatan eco-enzyme menjadi salah satu upaya dalam pengelolaan sampah di wilayahnya. Pemerintah sendiri telah memberikan pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat untuk membuat eco-enzyme.