Korupsi Hantui ”Bumi Kie Raha” Maluku Utara
Penerapan desentralisasi lewat kebijakan otonomi daerah diharapkan membawa pemerataan pembangunan di tingkat terbawah. Sayangnya, praktik korupsi tumbuh subur, seperti yang melanda Maluku Utara satu dekade terakhir.
Sambil berjalan pelan keluar gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (20/12/2023), dengan suara rendah, Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba meminta maaf kepada masyarakat Maluku Utara. Ia bersama beberapa anak buahnya baru saja ditetapkan tersangka oleh lembaga antirasuah dengan dugaan jual beli jabatan.
”Ini risiko jabatan,” ucapnya membela diri. Kasus ini menambah catatan buruk kinerja para pemimpin di ”Bumi Kie Raha”, sebutan Maluku Utara yang menggambarkan empat kerajaan yang membentuk wilayah itu, yakni Bacan, Ternate, Tidore, dan Jailolo.
Penetapan tersangka Abdul Gani Kasuba (AGK) semakin miris karena terjadi di tengah ingar-bingar pertumbuhan fantastis Maluku Utara (Malut). Pembangunan infrastruktur yang merupakan motor penggerak perekonomian daerah menjadi sasaran korupsi AGK, sebut saja pembangunan jalan dan jembatan ruas Matuting-Rangaranga, serta konstruksi jalan ruas Saketa-Dehepodo.
Dalam siasatnya, AGK meminta Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Malut Adnan Hasanudin dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Daud Ismail untuk memanipulasi perkembangan kedua proyek tersebut. Total pagu anggaran pembangunan infrastruktur di Maluku Utara sendiri mencapai Rp 500 miliar. AGK pun menentukan besar setoran yang harus diberikan oleh kontraktor kepada dirinya.
Selain mereka bertiga, KPK juga menetapkan tersangka lain, yakni Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa Ridwan Arsan, ajudan AGK Ramadhan Ibrahim, serta dua pihak swasta yakni Stevi Thomas dan Kristian Wuisan.
”AGK meminta Adnan dan Daud untuk membuat laporan bahwa proyek pengerjaan jalan tersebut sudah 50 persen agar anggaran segera dicairkan. Dugaan jual beli jabatan juga sedang kami dalami,” ucap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata dalam keterangan persnya.
Dalam catatan Kompas, sebelum AGK, Gubernur pertama Maluku Utara Thaib Armaiyn juga terjerat kasus korupsi. Thaib yang menjabat dua periode dari 2002-2007 dan 2008-2013 dinyatakan bersalah karena menggunakan dana darurat bencana alam tahun 2004 sebesar Rp 6,9 miliar. Dana ini digunakan untuk kepentingan pribadinya. Pada Rabu (12/8/2015), majelis hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis ia dengan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 150 juta.
Kasus ini mulai diselidiki Polda Malut sejak 2006, lalu dilanjutkan oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri pada tahun 2012. Sebelum disidang, Thaib bahkan sempat buron selama sepekan, hingga akhirnya ditangkap lagi oleh kepolisian di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Baca juga: Korupsi Subur di Daerah Pemekaran
Setelah Thaib, giliran sang putri Vaya Amalia Armaiyn yang jadi koruptor. Vaya yang pada 2014 menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Maluku Utara ditetapkan sebagai tersangka atas korupsi proyek Rencana Tata Ruang Wilayah Maluku Utara dari dana APBD Maluku Utara sebesar Rp 2,3 miliar.
Mirip sang ayah, ia juga sempat buron selama satu tahun sebelum menyerahkan diri kepada Kejaksaan Negeri Ternate pada akhir 2018. Pada 2021 lalu, Vayadinyatakan bebas bersyarat oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Sumber korupsi
Pengamat politik lokal Universitas Padjadjaran, Carolina Paskarina, menjelaskan, otonomi daerah merupakan cita-cita mulia agar sistem desentralisasi yang diterapkan awal 2000-an berjalan baik. Wewenang besar yang dipegang gubernur, bupati, dan wali kota diharapkan membantu para pemimpin untuk menyejahterakan rakyat.
Namun, struktur relasi kuasa yang tidak banyak berubah di daerah membuat otonomi keropos. Pembentukan daerah otonomi yang sarat kepentingan politik menjadi salah satu bibit korupsi di era desentralisasi. Ia menyebut, biasanya ada keinginan satu daerah, baik kabupaten, kota, maupun provinsi untuk lepas dari wilayah induk, lalu mengelola sumber dayanya sendiri.
Provinsi Maluku Utara menjadi salah satu provinsi yang hadir dari rahim desentralisasi. Provinsi ini terbentuk pada tahun 1999 setelah menjadi bagian dari Provinsi Maluku, dengan nama Kabupaten Maluku Utara, dan Kabupaten Halmahera Tengah.
Sumber daya ini pun menjadi bahan rebutan bagi kelompok tertentu yang menjadi bibit tumbuhnya korupsi di daerah. Kelompok yang berperan dominan dalam pembentukan daerah otonomi menjadi salah satu struktur kekuasaan yang menginginkan kekuasaan tersebut. Berbagai regulasi mengenai otonomi daerah untuk meminimalkan korupsi pun masih lemah, contohnya penerapan lelang elektronik. Masih adanya praktik tatap muka antara pemerintah dan penyedia barang dan jasa membuat korupsi rentan terjadi.
Baca juga: Jangan Ada Lagi Raja-raja Kecil Perampas Uang Rakyat
”Pembentukan daerah otonom baik demi pemerataan pembangunan, tetapi nuansa politiknya kental. Relasi kuasa yang eksis di daerah, bahkan setelah Orde Baru selesai, membuat mindset pemerintahan daerah belum sepenuhnya mampu mereformasi birokrasinya,” ujarnya.
Pengawasan lemah
Tidak hanya pemimpin, calon pemimpin Maluku Utara pun pernah terjerat korupsi. Pada 2018 lalu, calon gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus ditetapkan tersangka oleh KPK dalam kasus pengadaan lahan fiktif untuk pembangunan Bandara Bobong, Sula, Maluku Utara. Ahmad yang menjabat sebagai Bupati Kepulauan Sula periode 2005-2010 menjadi tersangka bersama sang adik, Zainal Mus, yang menjabat sebagai Ketua DPRD Kepulauan Sula 2009-2014.
Saat ditetapkan sebagai tersangka, Ahmad tengah berkontestasi dalam Pilkada Gubernur Maluku Utara melawan gubernur yang kini juga terjerat korupsi, AGK. Dalam hasil hitung cepat KPU kala itu, Ahmad bahkan sempat mengungguli sang lawan, sebelum akhirnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemenang Pilkada Malut 2018 adalah AGK. Pada 2019 lalu, kakak adik ini divonis empat tahun penjara, denda Rp 500 juta, serta subsider 3 bulan kurungan.
Sebelum tersandung kasus korupsi lahan Bandara Bobong, Ahmad terseret kasus korupsi dana pembangunan Masjid Raya Sanana senilai Rp 23,5 miliar. Namun, pada Selasa (13/6/2017), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Ternate menjatuhkan vonis bebas bagi Ahmad.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman menerangkan, kewenangan besar yang diterima para kepala daerah di era desentralisasi membuat korupsi tumbuh subur. Wewenang mulai dari rotasi jabatan, pengadaan barang jasa, hingga perizinan usaha ada di tangan mereka, sehingga mudah melakukan korupsi.
Sumber daya ini pun menjadi bahan rebutan bagi kelompok tertentu, yang menjadi bibit tumbuhnya korupsi di daerah. Kelompok yang berperan dominan dalam pembentukan daerah otonomi, menjadi salah satu struktur kekuasaan yang menginginkan kekuasaan tersebut.
Pengawasan dari pemerintah daerah pun lemah. Inspektorat yang harusnya menjadi garda pengawas dinilai tidak berfungsi optimal. Hal ini karena jajaran inspektorat di tingkat daerah juga dipilih oleh kepala daerah. Zaenur juga mengkritik, aparat penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan, kurang tegas menindak kasus korupsi di daerah. Padahal, kedudukan aparat penegak hukum yang bukan perangkat di bawah kepala daerah memungkinkan pemberantasan korupsi bisa maksimal.
Pembentukan lembaga pengawas, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, di tingkat daerah pun bisa menjadi salah satu solusi. Sayangnya, pembentukan KPK di tingkat daerah kerap menemui jalan buntu, baik di eksekutif maupun legislatif.
”Delegasi wewenang ini juga membuat perilaku korupsi juga terjadi di daerah karena jabatan semakin banyak mengingat korupsi itu penyakit jabatan. Pembenahan harus dilakukan lewat reformasi aparat penegak hukum, pengawasan di daerah sulit optimal karena pejabatnya berada di bawah kepala daerah. Cita-cita otonomi agar daerah bebas korupsi setelah lepas dari sentralisasi kekuasaan di Jakarta belum terwujud,” ucapnya.