Sembilan Isu Jadi Agenda Munas Perempuan 2024 di Bali
Munas Perempuan 2024 bakal digelar di Badung, Bali. Terdapat sembilan isu menjadi agenda Munas Perempuan 2024.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·2 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Musyawarah Nasional atau Munas Perempuan bakal digelar di Kabupaten Badung, Bali, 19-20 April 2024. Dalam perhelatan Munas tahun kedua tersebut, ada sembilan isu utama.
Munas Perempuan diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), dan organisasi masyarakat sipil bidang perempuan dan kesetaraan jender.
Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Titi Eko Rahayu dalam acara jumpa media secara daring, Selasa (16/4/2024), menyatakan, pelaksanaan Munas Perempuan 2024 digelar jelang peringatan Hari Kartini. Tak hanya itu, pelaksanaannya juga bertepatan dengan serangkaian proses penyusunan perencanaan dokumen pembangunan nasional lima tahunan, baik di tingkat pusat maupun di daerah, serta di kementerian dan lembaga.
Sebelum Munas Perempuan 2024, tepatnya 26-27 Maret 2024 telah dilangsungkan pertemuan secara daring yang diikuti 2.195 partisipan dari 35 provinsi. Sebanyak 86 persen peserta pertemuan itu dari kalangan perempuan dan 5 persennya penyandang disabilitas. Hasil pertemuan secara daring itu berupa usulan dan rekomendasi terhadap sembilan isu, yang menjadi agenda Munas Perempuan 2024.
Kesembilan isu itu meliputi perlindungan perempuan, perempuan pekerja, penghapusan perkawinan anak, dan ekonomi perempuan berperspektif jender. Terdapat pula isu kepemimpinan perempuan, kesehatan perempuan, perempuan dan lingkungan hidup, kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum.
Munas Perempuan 2024 diselenggarakan Kementerian PPPA bersama Kementerian PPN/Bappenas, 11 organisasi masyarakat sipil, dan 8 mitra riset dukungan Program Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif (Inklusi). Munas kali ini mengangkat tema ”Perempuan bagi Bumi Pertiwi” untuk mengingatkan kembali perjuangan RA Kartini.
Perubahan iklim, cuaca ekstrem, dan gangguan bencana alam juga memengaruhi perempuan karena berdampak terhadap sumber nafkah mereka.
Koordinator Program Migrant Care Savitri Wisnu Wardani mengatakan, perlindungan bagi pekerja informal belum maksimal dan masih terbatas. Terlebih bagi perempuan pekerja di sektor informal. Padahal, jumlah pekerja informal di Indonesia sangat besar dan jumlahnya terus bertambah.
Di sisi lain, ia menilai, pemberdayaan dan peningkatan kapasitas bagi pekerja informal juga masih minim dan ditambah masih adanya stigma dan diskriminasi terhadap pekerja informal, termasuk para pekerja migran.
Isu ekonomi
Terkait dengan isu ekonomi perempuan berperspektif jender, Nunung Nurnaningrum dari Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) menyebutkan, program pemberdayaan ekonomi di Indonesia belum sepenuhnya berperspektif jender. Padahal, perempuan menjadi penggerak utama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia.
Di sisi lain, Nunung berpandangan, masih kuatnya budaya patriarki dan adanya stigma juga menghambat perempuan untuk berkembang dan mandiri dalam mengambil keputusan. Hal ini berdampak terhadap ekonominya.
”Perubahan iklim, cuaca ekstrem, dan gangguan bencana alam juga memengaruhi perempuan karena berdampak terhadap sumber nafkah mereka,” ujar Nunung.
Adapun Ranie Ayu Hapsari dari Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum) mengatakan, pendataan perlindungan sosial masih mengeksklusi perempuan, termasuk perempuan di daerah terpencil, di panti rehabilitasi, maupun di daerah bencana. Dampaknya, akses mereka terbatas dalam menjangkau program perlindungan sosial.
Ranie menambahkan, persoalan perempuan dan kemiskinan juga menghadapi tantangan terkait pengalokasian anggaran perlindungan sosial yang belum berperspektif jender.
Sementara itu, Koordinator Konsorsium Perempuan Sumatera Mampu (Permampu) Dina Lumbantobing mengatakan, penghapusan perkawinan anak masih menghadapi tantangan di Indonesia. Meskipun minimal umur perkawinan ditetapkan 19 tahun berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, jumlah perkawinan anak di Indonesia juga mengalami peningkatan dalam kurun 2019-2020. Situasi itu juga dipengaruhi minimnya pemahaman seks akibat terbatasnya pendidikan seks sedari dini.
Adapun Budhis Utami dari Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) untuk Perempuan mengatakan, beragam tantangan yang dihadapi saat ini juga disebabkan minimnya pelibatan perempuan dan kelompok marjinal dalam perencanaan pembangunan.
Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sudah mengatur perihal musyawarah desa sebagai sarana menghimpun aspirasi dan mengambil keputusan bersama, misalnya, menurut Budhis, penerapannya dengan melibatkan perempuan dan kelompok rentan.
”Jikalau ada pendampingan, partisipasi perempuan dan kelompok marjinal itu dalam musyarawah bisa meningkat,” kata Budhis.