Berdayakan Eks ODGJ untuk Kembali Berkarya
Penyintas ODGJ di Wonorejo, Malang, mendapatkan pelatihan keterampilan hingga pemberian dan pendaftaran merek produk.
Pemberdayaan bagi para penyintas gangguan jiwa sangat dibutuhkan. Mereka juga ingin produktif berkarya dan bermanfaat di tengah masyarakat.
Bersama rekannya, Siti antusias mengoleskan cairan pewarna menggunakan kuas ke lembaran kain yang sebelumnya telah dibubuhi cap dan cipratan malam. Kain yang semula putih itu pun berubah warna menjadi keunguan.
Sesekali, senyum Siti mengembang. Dia merasa gembira bisa ikut dalam proses membatik. Sebuah kegiatan baru di luar rutinitas yang biasa dia lakukan.
Biasanya, gadis belasan tahun itu membantu orang berjualan makanan ringan di depan sekolah taman kanak-kanak di daerah tempat tinggalnya di Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
”Iya, senang (membatik),” katanya kepada Kompas, Selasa (23/4/2024), di Posyandu Jiwa-Gerakan Peduli Jiwa Sehat (Gardu Sawah), Dusun Blandit Barat, Wonorejo.
Siti berkumpul bersama beberapa penyintas orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dari desa setempat. Mereka menghadiri acara pertanggungjawaban sosial oleh platform kekayaan intelektual mebiso.com bekerja sama dengan Gardu Sawah dan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang.
Turut hadir, antara lain, sejumlah mahasiswa dari Universitas Negeri Malang, pemerintah desa, pihak Puskesmas Ardimulyo, dan pihak International Mental Health Cooperation and Training Center (IMHCTC) Taiwan.
Sejauh ini setidaknya ada 20-an orang yang memanfaatkan posyandu jiwa yang lokasinya di pinggir jalan desa di kawasan perkebunan tebu itu. Mereka adalah warga setempat yang sebelumnya mengalami gangguan kesehatan mental.
Selain menjalani terapi pengobatan rutin sebulan sekali, sejak 2018, mereka juga mengikuti kegiatan pemberdayaan. Setidaknya lima produk telah dihasilkan bersama masyarakat, seperti kemoceng, keset, sandal, dan bros dari kain perca. Adapun keterampilan membatik baru mereka rasakan baru-baru ini.
Posyandu jiwa dibangun atas inisiatif Pemerintah Desa Wonorejo guna menangani warganya yang mengalami gangguan jiwa. Awalnya, kegiatan itu dilakukan di rumah warga. Sejak 2016, dibangun gedung baru di tanah kas desa menggunakan anggaran dana desa senilai Rp 194,5 juta. Gedung ini pun disebut-sebut sebagai satu-satunya posyandu jiwa yang diinisiasi oleh desa.
Sekretaris posyandu jiwa, Siti Aminah (47), mengatakan pemberdayaan tak hanya bisa membantu penyintas, tetapi juga keluarganya dari sisi ekonomi. Maklum, sebagian penyintas berasal dari golongan ekonomi kurang mampu.
Adapun dari sisi kecakapan, kegiatan pemberdayaan bisa menjadikan mereka lebih mandiri sehingga pada akhirnya akan berimbas pada kesehatan masing-masing.
Mengenai pemasaran produk, Aminah mengaku sejauh ini mereka baru menerima pesanan, termasuk melalui daring. ”Kalau kesulitan, sejauh ini terletak pada bahan baku. Untungnya kemarin ada bantuan dari yayasan dan dinas sosial,” ucapnya.
Keberadaan posyandu memberi arti tersendiri bagi masyarakat. Sebelum ada posyandu, sebagian warga lebih memilih dukun dalam rangka pengobatan. Namun, saat ini hal itu tidak dilakukan lagi. Mereka kini berkomunikasi langsung dengan tenaga kesehatan.
Posyandu jiwa bekerja sama dengan puskesmas setempat dan pihak RSJ dr Radjiman Wediodiningrat. Selain penyintas yang aktif datang, petugas yang menangani program dan perawat desa juga masih berkunjung ke rumah untuk melakukan pengobatan kepada pasien yang lain.
Alhamdulillah sekarang sudah bebas pasung. Dengan adanya posyandu jiwa ini sudah ada yang sembuh.
Kepala Urusan Perencanaan Desa Wonorejo Iin Farikhin mengatakan jumlah ODGJ di tempatnya cukup banyak, mencapai 40 orang. Namun, saat ini kondisinya sudah bebas pasung. Terakhir pemasungan dilakukan 2016 dengan jumlah tujuh orang.
Baca juga: Beban Berlipat Penyintas Disabilitas Mental Saat Pandemi Covid-19
”Alhamdulillah sekarang sudah bebas pasung. Dengan adanya posyandu jiwa ini sudah ada yang sembuh. Mereka sudah bekerja, seperti di bidang bangunan dan pekerja rumah tangga. Bahkan, ada yang sudah menikah pula,” ucapnya.
Direktur RSJ dr Radjiman Wediodiningrat, Yuniar, menilai upaya pemasungan jelas melanggar hak asasi manusia. Namun, langkah itu kerap dilakukan lantaran pihak keluarga tidak paham jika ODGJ ternyata bisa diobati. Keluarga juga menganggap mereka sebagai beban.
Dari situlah kemudian muncul gagasan bagaimana menangani mereka melalui sebuah posyandu. Namun, keberadaan posyandu jiwa dengan pengobatan satu bulan sekali dianggap belum cukup. Harus ada waktu bagi penyintas untuk keluar rumah dan menghasilkan sesuatu. Di sinilah mereka kemudian diberdayakan dengan pelatihan keterampilan.
”Dengan kerja sama puskesmas, dinas sosial, dan rumah sakit jiwa, kita tunjukkan bahwa mereka punya potensi tidak menjadi beban lagi (melalui posyandu jiwa),” ucapnya.
Menurut Yuniar, keberadaan ODGJ di masyarakat sebenarnya cukup banyak. Hanya saja, banyak di antara mereka yang belum teridentifikasi sehingga jumlah pastinya sulit diketahui, termasuk berapa persen yang sudah mendapatkan pengobatan.
Untuk menangani ODGJ memang menghadapi banyak kendala. Langkah kecil yang diambil bersama-sama oleh banyak organisasi dan pemangku kepentingan diyakini bisa menyelesaikan masalah itu.
Mebiso sendiri, pada kesempatan itu, membantu membuatkan nama merek ”Danakirti” pada produk batik yang dihasilkan para penyintas serta mendaftarkan nama merek tersebut secara cuma-cuma. Mebiso juga membantu memasarkan produk melalui live di media sosial. Kegiatan ini juga sebagai salah satu bentuk dukungan peringatan hari kekayaan intelektual.
Baca juga: Undang-Undang Kesehatan ODGJ dan Kesehatan Jiwa
”Kami memberikan dukungan kepada masyarakat yang ingin berkarya, membuat usaha mikro, kecil, dan menengah. Salah satunya dengan membuat fasilitas nama unik, logo, dan pendaftaran mereknya,” ujar Chief Executive Officer Mebiso, Hesti Rosa.
Upaya ini pun memperoleh apresiasi. Steven dari IMHCTC mengatakan, tak hanya Indonesia, negara lain, termasuk negerinya, juga menghadapi masalah yang sama dalam menangani warga yang mengalami gangguan kejiwaan. Taiwan pun melakukan penanganan kesehatan mental seperti di Wonorejo meski dengan metode berbeda.
Salah satu hal yang dilakukan adalah secara berulang mempertemukan penyintas dengan publik guna menghilangkan stigma negatif. Merangkul dan berjejaring bersama penyintas merupakan hal penting. ”Di Taiwan juga banyak edukasi, kampanye, tetapi juga tidak mudah dilakukan,” ujarnya.
Begitu pula dalam hal pekerjaan, penyintas di Taiwan juga punya kesempatan yang sama untuk bekerja. Pemerintah di sana membuka lapangan kerja bagi mereka yang sudah sembuh.
”Ada UMKM, buka warung, dari hal sekecil itu mereka diberdayakan. Secara konsisten ajarkan pekerjaan dan berhubungan dengan pelanggan. Ini akan membantu mereka sembuh. Pada akhirnya mereka tidak lagi dianggap orang ’spesial’. Itu akan membantu kepercayaan diri,” kata Steven.
Semoga, kepedulian semua pihak bisa membantu para penyintas untuk kembali berkarya bersama masyarakat lainnya….