Kasus Mutilasi Ciamis dan Fenomena ”Gunung Es” Problem Kesehatan Mental
Jumlah pengidap masalah kesehatan mental di Indonesia mengalami peningkatan signifikan setiap tahun.
Pembunuhan dan mutilasi yang dilakukan Tarsum (50) terhadap istrinya, Y (44), di Ciamis, Jawa Barat, beberapa hari lalu, menggegerkan publik. Bagaimana sang suami tega membunuh istrinya di tempat terbuka, lalu memotong dan menawarkan bagian tubuh korban kepada tetangga.
Hingga Senin (6/5/2024), polisi masih terus mendalami kasus tersebut. Sejumlah saksi diperiksa. Bahkan, kondisi kejiwaan pelaku pun diperiksa oleh tim dokter RSUD Ciamis.
Sejauh ini polisi belum bisa memastikan motif yang melatarbelakangi tindakan keji itu. Ada isu menyatakan tersangka membunuh dan memutilasi istrinya karena faktor ekonomi lantaran terjerat utang hingga Rp 100 juta akibat usahanya bangkrut.
Apa pun yang menjadi alasan, tindakan Tarsum yang tak mengenal belas kasihan mengingatkan kasus serupa yang terjadi di Malang, Jawa Timur, akhir Desember 2023. Bagaimana James L Tomatala (61), warga Kelurahan Bunulrejo, Kecamatan Blimbing, membunuh dan memutilasi istrinya, NMS (55).
Tubuh sang istri dipotong menjadi beberapa bagian dan ditemukan di dalam ember di teras rumah. Pelaku pun sempat meminta tolong tetangga untuk membersihkan lokasi dia menghabisi korban, sebelum akhirnya menyerahkan diri ke polisi.
James pun menjalani pemeriksaan kejiwaan sebelum akhirnya dinyatakan normal. Polisi menyebut motif yang melatarbelakangi tindakan itu disebabkan pelaku jengkel lantaran sang istri meninggalkan rumah selama berbulan-bulan.
Berbagai kasus yang menunjukkan pelaku berbuat di luar kewajaran dan tidak bisa diterima akal sehat marak akhir-akhir ini. Mengutip data di laman Pusat Informasi Kriminal Nasional (pusiknas.polri.go.id), sebanyak 3.335 orang terbunuh dalam empat tahun (2019-2022). Motifnya pun beragam, mulai dari perampokan hingga asmara.
Lantas, apa yang sebenarnya menjadi penyebab tindakan di luar nalar itu terjadi? Apakah benar penyebabnya hanya masalah ekonomi atau ada faktor lain? Mungkinkah seorang pelaku berbuat nekat karena yang bersangkutan memiliki gejala terkait kondisi kejiwaan sehingga tidak mampu mengatasi masalah yang dihadapi dengan melakukan tindakan keji?
Terkait kesehatan jiwa, akademisi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang Nandy Agustin Syakarofath, Selasa (7/5/2024), mengatakan, jumlah pengidap masalah kesehatan mental di Indonesia mengalami peningkatan signifikan setiap tahun.
Bahkan, pada 2024, jumlah penderita masalah kesehatan mental mencapai 3,24 juta orang. Pengidap penyakit mental ini pun memasuki berbagai kalangan usia, tidak hanya remaja. Meningkatnya populasi yang mengalami gangguan mental disebabkan oleh berbagai faktor.
Baca juga: UU Kesehatan ODGJ dan Kesehatan Jiwa
Salah satu faktor adalah perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan ini mencakup perubahan sosial, ekonomi, dan perkembangan teknologi.
”Perubahan gaya hidup, materialisme, dan industrialisasi yang terkait teknologi terkadang memunculkan tekanan sosial dan isolasi sosial sehingga memicu stres, depresi, hingga bunuh diri,” ujarnya.
Faktor lainnya ialah adanya tekanan hidup yang meningkat dari waktu ke waktu, seperti persaingan di dalam pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Berbagai hal itu dapat memunculkan respons psikologis yang negatif.
Seseorang yang kerap berada pada situasi yang memiliki tekanan hidup tinggi, termasuk tekanan akademik, ekonomi, dan sosial, ini sangat berkaitan dengan peningkatan risiko gangguan mental, seperti depresi dan kecemasan.
”Juga pada individu yang mengalami situasi krisis seperti pandemi, perang, bencana alam. Ini karena menderita dalam situasi yang lama, dapat memunculkan kecemasan, stres, dan berbagai isu kesehatan mental lainnya,” ucapnya.
Nandy pun menekankan, peningkatan individu yang bermasalah dengan kesehatan dan gangguan mental ini mirip fenomena gunung es. Data yang didapat hanya sebagian dari kenyataan.
”Sebagaimana bentuk gunung es yang hanya menonjolkan beberapa elemen di atas puncak, terdapat beberapa elemen penting lainnya yang tak terlihat karena berada di bawah puncaknya. Ini disebabkan oleh riset yang semakin marak dilakukan sehingga didapatkan data atau temuan-temuan yang seperti itu,” ucapnya.
Begitu pula soal akses layanan kesehatan mental yang dapat dirasakan masyarakat. Bagaimana biaya pengobatan yang tinggi, pelabelan negatif, dan fasilitas perawatan kesehatan mental yang masih minim di beberapa daerah. Dampaknya, yang bersangkutan akan mengalami hambatan dalam perawatan.
Untuk mengatasi hal ini, menurut dia, penting ada upaya bersifat mikro dan makro. Pada level mikro, pengidap harus diajari untuk meningkatkan kapasitas di dalam mengelola emosi dan keterampilan mengatasi stres. Dengan demikian, ia akan mampu beradaptasi dan menangani stres dalam kehidupan sehari-hari.
”Untuk tingkat makro, pemerintah harus lebih memperhatikan lagi akses terhadap layanan kesehatan mental, promosi lingkungan komunitas yang mendukung, pelatihan tenaga kerja masyarakat, dan pembentukan kebijakan publik yang mendukung kesehatan mental,” ucapnya.
Semua lini dan pemangku kepentingan harus ikut bertanggung jawab terhadap isu kesehatan mental. Secara spesifik terutama keluarga, sekolah, pemerintah, masyarakat, dan individu.
Baca juga: Memberdayakan Eks-ODGJ untuk Kembali Berkarya
Oleh karena itu, semua lini dan pemangku kepentingan harus ikut bertanggung jawab terhadap isu kesehatan mental. Secara spesifik terutama keluarga, sekolah, pemerintah, masyarakat, dan individu. Kerja sama dari semua pihak tersebut sangat penting untuk membentuk lingkungan yang mendukung terhadap pertumbuhan pribadi dan masalah kesehatan mental yang dihadapi.
Pendapat senada soal banyaknya angka penderita masalah kesehatan mental juga disampaikan Direktur Rumah Sakit Jiwa dr Radjiman Wediodiningrat, Lawang, Kabupaten Malang, Yuniar.
Dalam sebuah kegiatan pemberdayaan terhadap eks-orang dengan gangguan jiwa di Posyandu Gardu Sawah, Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, baru-baru ini, Yuniar mengatakan bahwa jumlah warga yang mengalami kesehatan mental sebenarnya cukup banyak.
Hanya saja, mereka belum terdeteksi. Begitu pula yang menjalani pengobatan, persentasenya masih kecil. ”Banyak, hanya saja belum teridentifikasi sehingga jumlah pastinya sulit diketahui. Termasuk berapa persen yang sudah mendapat pengobatan,” ujarnya.
Nah, oleh karena itu, penting selalu menjaga kesehatan mental.…