Liverpool Selamatkan ”Reputasi” Liga Inggris
Kekalahan pertama Liverpool di kompetisi Liga Inggris tengah pekan lalu di tangan Manchester City sesungguhnya merupakan berkah tersembunyi bagi kompetisi paling populer di dunia tersebut. Dengan tumbangnya ”The Reds” di Etihad pada pekan ke-20, liga-liga besar Eropa hanya tinggal menyisakan Juventus di Serie A Italia dan Paris St Germain di Ligue 1 Perancis sebagai klub-klub favorit yang belum terkalahkan sepanjang musim 2018-2019.
Di liga-liga utama Eropa, para favorit juara dan juara bertahan sudah pernah merasakan kekalahan bahkan sebelum jeda musim dingin dimulai. Juara bertahan Liga Primera Spanyol, Barcelona, meski memimpin klasemen telah mencatat dua kekalahan. Bahkan, juara Liga Champions, Real Madrid, sejauh ini tercecer di peringkat ke-5 La Liga dengan mencatat enam kekalahan.
Juara bertahan Bundesliga Jerman, Bayern Muenchen, pun kini masih tercecer di peringkat kedua dengan torehan tiga kekalahan, sementara pemimpin klasemen Borussia Dortmund yang berselisih enam poin dengan raksasa Bavaria, Bayern, mencatat satu kekalahan. Sementara di Eredivisie Belanda, dua tim yang merajai kompetisi dalam tiga dekade terakhir, Ajax Amsterdam dan PSV Eindhoven, masing-masing telah menelan satu kekalahan dan bersaing ketat di pemuncak klasemen dengan selisih hanya dua poin.
Di Serie A, Juventus, yang musim ini mendatangkan megabintang, Cristiano Ronaldo dari Real Madrid, bahkan melaju sendirian dengan perbedaan sembilan poin dengan peringkat kedua, Napoli, dan 14 poin dengan ranking ketiga, Internazionale Milan. Sebagai klub terkaya di Italia dengan sokongan industri otomotif terkemuka, Juventus tidak tergoyahkan sebagai jawara Serie A dengan menjuarainya dalam tujuh musim beruntun.
Setali tiga uang dengan Juventus adalah PSG yang dimiliki miliarder jazirah Arab. Tim kota Paris yang dimotori Neymar Junior itu adalah juara bertahan dan merajai Ligue 1 sejak 2011-2012 dan hanya diganggu sekali oleh AS Monaco pada musim 2016-2017. PSG yang baru menyelesaikan 17 laga sebelum libur Tahun Baru telah mengoleksi 47 poin dengan selisih 7 poin dengan peringkat kedua, Lille, yang sudah menjalani 19 laga. Dengan tren saat ini, hampir bisa dipastikan Juventus dan PSG akan kembali menjadi juara pada akhir musim dan memperpanjang dominasi mereka di liga domestik.
Baca: Terulangnya Jebakan Awal Tahun Liverpool?
Akan halnya Liga Primer Inggris, La Liga Spanyol, dan Bundesliga Jerman dipastikan berlangsung ketat sampai akhir musim. Liverpool memang masih unggul empat poin atas juara bertahan Manchester City setelah kekalahan di Etihad. Namun melihat tren Januari yang biasanya berat bagi The Reds, kehilangan poin lagi akan menjadi bencana bagi klub yang sudah 29 tahun tidak pernah lagi menjadi juara Inggris tersebut.
Sementara dengan kemenangan atas Liverpool, pasukan Pep Guardiola menemukan kembali kepercayaan diri untuk mempertahankan gelar dengan persaingan masih akan seru bersama Tottenham Hotspur, Chelsea, Arsenal, dan jangan lupa Manchester United yang kembali menemukan gairah di bawah kendali manajer sementara Ole Gunnar Solskjaer.
Di La Liga, Barcelona yang masih diperkuat jimat Lionel Messi belum tergoyahkan di pucuk klasemen tetapi penampilan musim ini tidak segarang musim lalu. Sayangnya saingan tradisional mereka, Real Madrid, juga kalang kabut sejak awal musim dan hancur luluh di tangan Pelatih Julen Lopetegui. Setelah serangkaian kekalahan, termasuk dihantam telak oleh Barcelona di Camp Nou, Lopetegui dipecat dan digantikan sementara oleh Santiago Hernan Solari.
Sempat membaik dengan empat kemenangan, ”Los Blancos” kembali labil dan terakhir kalah 0-2 atas Real Sociedad di Bernabeu. Sementara saingan Barcelona lainnya, Atletico Madrid, pun belum menunjukkan ancaman serius. Meski berada di peringkat kedua, pasukan Diego Simeone tersebut sangat buruk dalam laga tandang. Diego Godin dan kawan-kawan terakhir ditahan 1-1 oleh Sevilla di Sanchez Pizjuan yang musim ini juga menjadi penantang kuat bagi Barcelona.
Liga paling sukses
Lantas mengapa kekalahan pertama Liverpool musim ini menjadi penting? Liga Inggris adalah kompetisi dengan nilai bisnis terbesar dan liga dengan tingkat kesuksesan global tertinggi di antara liga besar Eropa lainnya. Salah satu kunci sukses Premiership di pasar global adalah tingkat kompetisinya yang ketat terutama pada satu dekade terakhir.
Tidak seperti era 1990-an yang didominasi pasukan Manchester United dengan pelatih legendarisnya Sir Alex Ferguson, juara Liga Primer satu dekade terakhir bergantian di antara beberapa klub. Bahkan, klub ”gurem” seperti Leicester City dua musim lalu mengejutkan dunia dengan menjadi juara menggeser para raksasa seperti City, Chelsea, Liverpool, dan Arsenal.
Liga Inggris adalah kompetisi dengan nilai bisnis terbesar dan liga dengan tingkat kesuksesan global tertinggi di antara liga besar Eropa lainnya.
Dari pasar internasional, Liga Inggris menghasilkan 1,1 miliar poundsterling sejak musim 2016-2017 hanya dari hak siar media saja. Angka ini dua kali lebih tinggi daripada La Liga Spanyol yang sebenarnya sejak 2015-2016 juga mengalami pertumbuhan melesat dalam pendapatan dari hak siar media. Prestasi bisnis Premiership terutama ditunjang oleh peningkatan permintaan (demand) di Asia, utamanya di wilayah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Bagi penikmat sejati sepak bola, liga dengan persaingan yang ketat di mana siapa pun bisa mengalahkan tim-tim kuat daya tariknya sangat besar. Ketidakpastian siapa juara di ujung musim menjadi faktor penting minat penonton televisi yang menyebar di seluruh belahan bumi.
Liga Serie A dengan juara yang monoton dipegang Juventus menjadi contoh nyata betapa kompetisi yang sudah bisa ditebak juaranya menjadi kurang menarik dalam konteks tontotan global. Demikian pula yang terjadi dengan Bundesliga dengan Bayern Muenchen dan Ligue 1 dengan PSG.
La Liga Spanyol yang punya nilai bisnis global nomor dua setelah Liga Inggris sebenarnya punya masalah yang nyaris serupa dengan Serie A dan Ligue 1. Barcelona dan Real Madrid terlalu mendominasi kompetisi ini dalam 14 tahun terakhir dengan selingan oleh Atletico Madrid. Meski demikian, musim 2018-2019 terjadi beberapa kejutan yang membuat persaingan semakin sengit meski tetap Barcelona memimpin dengan keunggulan poin yang tidak terlalu dominan.
Dengan situasi ini, La Liga berharap mereka bisa menaikkan level keketatan kompetisi untuk bersaing dengan Liga Primer secara global. Di luar mutu dan ketatnya persaingan kompetisi, pengelola La Liga sebenarnya telah bekerja habis-habisan mengatrol nilai bisnis global mereka.
Sejak 2013, pengelola La Liga telah membuka kantor perwakilan di China (Shanghai), Amerika Serikat (New York), Afrika Selatan (Johannesburg), India (New Delhi), dan Uni Emirat Arab (Dubai). La Liga juga mengaktifkan sejumlah perwakilan di 40 negara dengan sasaran utama mengatrol jumlah penonton media di Asia dari 200 juta menjadi 400 juta pada 2020.
Strategi mengejar pasar Asia juga dilakukan dengan menggeser laga besar (big match) terutama el clasico ke waktu utama (prime time) Asia dari pukul 21.00 waktu lokal menjadi pukul 13.00 waktu lokal agar mendapatkan waktu tayang utama di Asia. La Liga juga melakukan uji coba tayangan bebas biaya di wilayah Filipina.
Pengelola La Liga tetap memakai Liga Primer sebagai patokan karena mereka sampai dengan tahun lalu masih merajai pasar internasional dengan pendapatan 40 persen lebih tinggi daripada La Liga. Sementara menurut indeks POWA, yang meneliti pendapatan sponsorship di dunia olahraga, dari 20 organisasi komersial di seluruh dunia, enam di antaranya datang dari Liga Primer.
Klub-klub Liga Primer menjadi primadona pemasar untuk meningkatkan awareness global.
Klub-klub Liga Primer menjadi primadona pemasar untuk meningkatkan awareness global. Meski bukan klub juara, nilai bisnis klub-klub Liga Inggris sangat tinggi berkat citra merek (brand image) mereka yang dibangun dengan konstan sejak dua dekade lalu. Arsenal, misalnya, klub asal kota London ini musim lalu menduduki posisi keenam klasemen akhir.
”The Gunners” hanya bisa ikut kompetisi strata dua, Liga Europa, tetapi tetap mendapatkan sponsor teknik senilai 300 juta poundsterling dari Adidas untuk musim 2019-2020. Hal seperti ini tidak terbayangkan terjadi di La Liga misalnya pada Deportivo Alaves atau Real Betis.
Distribusi pendapatan hak siar
Hal lain yang membedakan antara Premiership dan La Liga adalah pendapatan hak siar media. Liga Primer membagi nyaris rata di antara 20 klub peserta. Sementara di La Liga, dua klub utama Barcelona dan Real Madrid selalu mendapatkan ”kue” yang jauh lebih besar dibandingkan dengan 18 tim lainnya. Strategi ini menimbulkan ”lingkaran kemiskinan” yang tidak berkesudahan di antara klub gurem yang kemudian bukan saja tak sanggup bersaing secara finansial, melainkan juga jatuh bangkrut.
Situasi ketidakadilan itu baru berubah pada musim 2016-2017 saat pengelola La Liga memperkenalkan skema baru pembagian pendapatan hak siar media. Klub papan tengah Bilbao mendapatkan 71 juta euro, sementara klub papan bawah Leganes mengantungi 39,6 juta euro. Dengan nilai bisnis yang terus meningkat, pendapatkan klub-klub semenjana pun melesat. Mereka mampu mendatangkan pemain-pemain berkualitas untuk menantang hegemoni Barcelona dan Real Madrid.
Apa yang terjadi pada musim 2018-2019 ini menunjukkan semakin kompetitifnya La Liga dengan klub raksasa Real Madrid, misalnya, bisa tumbang oleh klub seperti Real Sociedad, Eibar, atau Levante. Kemenangan Sociedad atas Real Madrid akhir pekan lalu adalah kemenangan pertama klub tersebut atas raksasa Spanyol tersebut sejak 2014. Sementara itu, klub seperti Alaves kini berada di posisi keempat di zona Liga Champions menggeser Real Madrid ke peringkat kelima setelah mengalahkan Valencia akhir pekan lalu.
Perbedaan yang tidak terlampau jauh antara Barcelona (40) di peringkat pertama dengan Atletico Madrid (35) di posisi kedua, serta Sevilla (33) di peringkat tiga sampai dengan pekan ke-18 musim ini menimbulkan harapan semakin ketatnya persaingan menuju tangga juara dan posisi Liga Champions. Dengan situasi ini, La Liga bisa berharap terus menempel popularitas Liga Primer Inggris untuk bersaing di pasar global. Problemnya, kemungkinan Barcelona menjadi juara lagi di ujung musim sangat besar dan ini akan menimbulkan persepsi kurang bagus bagi daya saing La Liga di pasar internasional.
Kondisi yang berbeda terjadi di Premiership. Kekalahan pertama Liverpool memunculkan persaingan yang sengit di posisi puncak dan empat besar. Jika The Reds mampu melewati bulan Januari dengan hasil-hasil positif, peluang juara terbuka lebar. Setelah seperempat abad lebih tidak merebut gelar Liga Inggris, inilah kesempatan terbaik bagi pasukan Juergen Klopp untuk mencatatkan tinta emas menjadi juara Inggris ke-19 kalinya. Jika Liverpool menjadi juara, kesuksesan bisnis global Liga Inggris akan semakin tidak terkejar oleh siapa pun, termasuk La Liga.