Final "Di Luar Radar"
Sofia Kenin diprediksi akan kesulitan mengalahkan Iga Swiatek, petenis muda bermental baja, pada final tunggal putri Perancis Terbuka, Sabtu malam. Sementara itu, Nadal meraih final ke-13 di Rolland Garos, Paris.
PARIS, JUMAT - Dua petenis “di luar radar” akan memerebutkan gelar juara tunggal putri Perancis Terbuka untuk pertama kalinya. Sofia Kenin akan menjalani final Grand Slam untuk kedua kalinya pada tahun ini. Lawannya, Iga Swiatek, punya lebih sedikit pengalaman, tetapi sangat dominan dalam perjalanan menuju final.
Final Swiatek melawan Kenin akan berlangsung di Lapangan Philippe Chatrier, Roland Garros, Paris, Sabtu (10/10/2020), mulai pukul 20.00 WIB. Kedua petenis yang akan bertemu untuk pertama kalinya di level profesional tersebut, muncul di antara para favorit juara, seperti Simona Halep, Serena Williams, atau Garbine Muguruza.
Meskipun minim pengalaman, Swiatek hanya kehilangan 23 gim dari enam laga atau dengan rata-rata 3,8 gim per babak. Dalam Perancis Terbuka di era Terbuka (sejak 1968), Steffi Graf menjadi juara tunggal putri dengan jumlah gim hilang paling sedikit. Dia menjadi juara pada 1998 dengan hanya kehilangan 20 gim.
Baca juga : Schwartzman, "David" di Antara Para "Goliath" Tenis
Selama enam babak itu, tak ada satu pun petenis yang bisa menemukan solusi untuk mengatasi keseimbangan serangan dan pertahanan Swiatek. Mantan petenis nomor satu dunia, Martina Navratilova, menyebut Swiatek memiliki “pertahanan indah dengan serangan yang bahkan lebih baik”. Juara Perancis Terbuka 1982 dan 1984 itu memprediksi, sulit bagi Kenin untuk mengalahkan Swiatek.
“Ini seperti tak nyata. Di satu sisi, saya tahu bisa bermain dengan baik. Di sisi lain, ini menjadi kejutan. Saya tak menduga bisa mencapai final di sini,” komentar Swiatek, petenis Polandia pertama yang tampil pada final Grand Slam setelah Agnieszka Radwanska pada Wimbledon 2012.
Swiatek, yang juga tampil pada ganda putri bersama Nicole Melichar (AS) dan kalah di semifinal, berulang kali menyebut permainan “efektif” telah mengantarkannya ke final. Dia selalu berupaya menekan terlebih dulu agar lawan tak bisa mengembangkan kemampuan terbaiknya.
Meski masih berusia 19 tahun, petenis peringkat ke-54 dunia ini memiliki bekal kekuatan mental, yang diasah bersama psikolog olahraga, selama dua tahun terakhir.
Itu bisa dilakukan berkat kemampuannya menjaga fokus sepanjang pertandingan. Swiatek tak peduli dengan hasil akhir yang akan didapat, termasuk di final, sepanjang dia bisa mengeluarkan semua kemampuan terbaiknya.
Baca juga : Langkah Besar Anak Muda
Kekuatan mental
Meski masih berusia 19 tahun, petenis peringkat ke-54 dunia ini memiliki bekal kekuatan mental, yang diasah bersama psikolog olahraga, selama dua tahun terakhir. Untuk mengurangi beban, misalnya, dia memperlakukan setiap pertandingan sebagai laga babak pertama. Hal itu dikatakannya setelah mengalahkan Martina Trevisan pada perempat final.
“Situasi pada final akan berbeda. Saya akan melawan petenis berpengalaman. Saya harus berada dalam level yang lebih tinggi, meski telah bermain sangat baik pada semifinal. Apalagi, Sofia berada dalam kondisi terbaik pada tahun ini,” ujar Swiatek yang selalu membangkitkan semangatnya dengan mendengar lagu dari Guns N’Roses sebelum bertanding.
Kenin, meski hanya dua tahun lebih tua dari Swiatek, telah menembus dua final Grand Slam, yang keduanya terjadi pada tahun ini. Dari final pertama, Australia Terbuka, dia membawa pulang trofi juara. Kala itu, ia juga menembus kekuatan para favorit, seperti Serena, Osaka, dan Barty, termasuk Garbine Muguruza yang menjadi lawannya di final.
Pengalaman tersebut akan menjadi keunggulan Kenin di lapangan tanah liat yang selama ini menyulitkannya. “Saya tahu emosi yang dirasakan tampil dalam final Grand Slam. Saya berharap, Iga bisa sedikit gugup,” ujar Kenin yang membuat 100 winner dalam enam babak menuju final.
Dikenal sebagai sosok pemberani sedari kecil, dia menunjukkan karakternya itu ketika wartawan memintai pendapatnya tentang Swiatek yang tak kehilangan satu set pun selama di Roland Garros. Swiatek hanya membutuhkan total tujuh jam dari enam babak, sedangkan Kenin harus bertanding selama 10 jam 34 menit.
“Tentu saja, Iga bermain sangat bagus. Petra juga tak kehilangan set untuk menuju semifinal. Saya pikir, itu tak berarti apa-apa jika saya bermain baik,” ujar Kenin menyebut Petra Kvitova yang dikalahkannya, 6-4, 7-5, pada semifinal.
Kenin juga menyebut dirinya sebagai pemecah masalah hingga tak gentar meski berada dalam situasi sulit. Ketika berhadapan Kvitova, yang dikenal memiliki pukulan keras, Kenin memvariasikan pengembalian servis dengan drop shot, forehand slice, atau pukulan datar nan keras.
Kvitova juga dibuatnya tak berkembang. Kenin selalu bisa membaca arah pukulannya. “Sofia memiliki sesuatu yang tak bisa diajarkan. Semakin sulit untuk mendapat poin, dia semakin tertantang,” ujar Lindsay Davenport, petenis AS peraih tiga gelar Grand Slam pada akhir era 1990-an.
Rick Macci, pelatih pertama Kenin, menyebut anak didiknya itu sebagai anak kecil paling “menakutkan” yang pernah dilihatnya. Itu dikatakannya saat Kenin pertama kali datang ke akademi tenis di Florida, AS, pada usia lima tahun. “Sofia bahkan tidak takut jika harus melawan (Rafael) Nadal,” katanya.
Final ke-13 Nadal
Meski mengakui menghadapi kondisi sulit pada Perancis Terbuka kali ini, karena berlangsung pada musim gugur, Rafael Nadal tetap menjadi petenis yang sulit dikalahkan di Roland Garros. Untuk ke-13 kalinya dari 16 partisipasi, dia lolos ke final.
Tiket laga puncak itu didapat setelah mengalahkan Diego Schwartzman dalam semifinal, Jumat. Nadal menang, 6-3, 6-3, 7-6 (7-0). Lawannya di final adalah Novak Djokovic atau Stefanos Tsitsipas yang bersaing pada semifinal lainnya, Sabtu (10/10) dini hari WIB.
Meski menang dengan straight sets, semifinal bukan laga yang mudah dilewati. Pada set pertama misalnya, Nadal harus mempertahankan servis pada gim pembuka selama 14 menit. Hampir setiap gim juga berlangsung hingga deuce.
Sebanyak 69 poin yang diperebutkan pada set awal juga menjadi indikator lain. Dengan jumlah itu, rata-rata sebanyak 7,6 poin diperebutkan dalam setiap gim. Itu terjadi karena Schwartzman bisa memberikan perlawanan terbaik, terutama dalam bertahan dan mengubah ritme permainan.
Persaingan Nadal dan Schwartzman untuk pertama kalinya di Roland Garros itu menjadi pertemuan ke-11 mereka. Meski kalah sembilan kali dari 10 laga sebelumnya, Schwartzman membawa modal penting, yaitu memenangi pertemuan terakhir yang terjadi pada perempat final ATP Masters 1000 Roma, sepekan sebelum Perancis Terbuka.
Baca juga : Mengapa Nadal Dominan di Tanah Liat?
Paling dominan
Namun, mengalahkan Nadal di Roland Garros, dengan format pertandingan best of five sets, tak hanya menjadi tantangan tersulit di arena tenis, melainkan juga dalam persaingan olahraga dunia. Setidaknya, itulah hasil jajak pendapat daring ESPN pada Juni.
ESPN memilih prestasi fenomenal atlet, tim, dan pelatih yang mendominasi satu ajang dalam 20 tahun terakhir. Selain Nadal di Roland Garros, momen lain yang dipilih, di antaranya Usain Bolt di Olimpiade 2008, 2012, dan 2016, serta Michael Schumacher bersama Ferrari pada 2000-2004.
“Dipertemukan” dalam sistem gugur, pemenang dari setiap babak ditentukan berdasarkan pilihan pembaca. Hasil jajak pendapat itu menunjukkan Nadal di Roland Garros menjadi dominasi terbesar di olahraga hingga mengalahkannya menjadi tantangan tersulit.
Dari 101 pertandingan yang telah dijalani Nadal di Roland Garros, sejak debutnya pada 2005 hingga semifinal 2020 melawan Schwartzman, hanya ada dua petenis yang pernah mengalahkannya, yaitu Robin Soderling pada babak keempat 2009 dan Djokovic di perempat final 2015. (afp)