logo Kompas.id
OpiniKembalinya Kejayaan Konten...
Iklan

Kembalinya Kejayaan Konten Berbayar

Setelah dimanjakan dengan konten-konten gratis di internet, tren kini mulai berubah. Orang pun mulai mau membayar untuk mendapatkan konten di internet. Ada syaratnya bila bisnis konten berbayar ini ingin sukses dan mendapatkan perhatian konsumen.

Oleh
Andreas Maryoto
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/9qXnymxV2CJI7KBB7h0zfQAGjHw=/1024x1215/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F01%2F20190111IAM-Andreas-Maryoto_1547209674.jpg
Kompas

Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas

Sekian tahun orang dimanjakan oleh konten-konten gratis ketika internet muncul ke permukaan. Orang mudah dan bebas dari biaya saat mendapatkan konten, baik berupa berita, foto, video, maupun suara. Tren ini telah berubah. Orang mau membayar konten. Ada syaratnya jika bisnis konten berbayar ini bisa sukses dan mendapatkan perhatian konsumen.

Para pembuat konten, seperti industri media, yang sejak bertahun-tahun menikmati kue bisnis konten tergagap ketika internet muncul karena semua orang bisa membuat, meluncurkan, dan membuat bisnis yang semuanya mudah diakses publik dan gratis pula. Hak kekayaan intelektual pun tak sedikit dilanggar dan penghargaan terhadap karya seseorang makin kabur.

Kini konten berbayar mulai banyak dilirik dan mendapatkan tempat di kalangan konsumen. Menilik sejarahnya, konten berbayar sebenarnya bukan dilakukan oleh perusahaan baru dengan model bisnis baru, tetapi oleh perusahaan lama atau petahana yang berhasil melakukan transformasi bisnis, seperti Netflix, New York Times, dan Sony Music. Mereka adalah pemain lama yang pernah diramalkan hancur karena disrupsi, tetapi bisa bertahan karena melakukan perubahan model bisnis.

Ambil contoh Netflix. Perusahaan ini semula adalah perusahaan penjualan dan persewaan DVD yang melayani permintaan konsumen dengan menggunakan surat. Perusahaan ini didirikan tahun 1997, yang tak lama setelah itu mereka berfokus pada persewaan DVD saja. Tentu saja ketika internet muncul, mereka menggunakan teknologi ini, tetapi mudah ditebak karena kecepatan internet pada masa sekitar 2000 awal masih lamban, cara pengaliran konten (streaming) belum mendapatkan perhatian konsumen. Paling banter, konsumen mengunduh film pada malam hari dan baru bisa menonton pada pagi hari.

https://cdn-assetd.kompas.id/DyKzKYNJOlosWdCryA1CRavd9Sg=/1024x684/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F01%2FSaudi-Netflix_74288294_1546497362.jpg
AP PHOTO/PATRICK SEMANSKY

Aplikasi Netflix di iPad, 19 Maret 2018.

Netflix terus melakukan inovasi, tetapi belum bisa mengangkat bisnis mereka, seperti konsumen bisa memilih DVD secara daring dan kemudian mengambilnya di beberapa konter fisik. Akan tetapi, bisnis persewaan DVD terus merosot sejak 2006 hingga 2011. Di sela-sela tertimpa masalah bisnis ini, mereka mengembangkan bisnis video berbasis permintaan (video on demand) pada 2007.

Baca juga: Mengenal Libra, Mata Uang Facebook

Perkembangan selanjutnya sangat mengejutkan ketika mereka memasuki bisnis pengaliran konten. Kemudian tak hanya menjadi platform pengaliran konten, Netflix juga membuat konten dan bekerja sama dengan para pembuat konten untuk dialirkan. Bisnis pengaliran konten ini kemudian menjadi bentuk transformasi bisnis Netflix. Laporan terakhir, mereka telah memiliki pelanggan sebanyak 148 juta di seluruh dunia.

Iklan

Di industri media cetak, New York Times mengawali bisnis konten berbayar pada tahun 2011. Pada tahun lalu jumlah pelanggan mencapai 2,8 juta, tetapi pada tahun ini sudah naik menjadi 3,3 juta pelanggan. Boleh dibilang media ini adalah pelopor dalam bisnis konten berbayar di media cetak. Saat itu mungkin strategi ini dicibir di tengah konten gratis yang berseliweran di internet. Wall Street Journal menyusul mengembangkan konten berbayar dan kini telah mendapat sekitar 1,4 juta pelanggan. Media cetak, secara khusus koran, kini telah berbondong-bondong memasuki bisnis konten berbayar. Mereka tengah mencoba peruntungan di bisnis ini dengan berbagai strategi dan inovasi.

https://cdn-assetd.kompas.id/6Mw0phTmgbVx6UAn6Yub8pGHCrg=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F07%2FOng-Sea-Yen.jpg
DOK SPOTIFY

Ong Sea Yen, Regional Vice President Sales Spotify untuk Area Asia, di depan logo Spotify.

Di dunia industri musik, petahana seperti Sony Music telah menjadi pemegang utama platform pengaliran konten musik Spotify. Konten berbayar di industri musik telah mendapat tempat yang signifikan. Di Amerika Serikat, pendapatan platform pengaliran musik mencapai 65 persen dibandingkan platform fisik dan pengunduhan. Tak mengherankan apabila penawaran saham perdana Spotify pada April tahun lalu mencapai nilai sekitar 24 miliar dollar AS. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan valuasi para petahana di industri musik.

Optimisme

Tren global ini memunculkan optimisme di kalangan pebisnis konten lama yang nyaris hancur karena disrupsi digital. Sejak tahun lalu bermunculan berbagai analisis tentang masa depan bisnis ini. Salah satu analis mengatakan, saat ini mulai tampak penyelesaian masalah disrupsi yang menimpa pemain-pemain lama di bisnis konten. Teknologi diakui menjadi faktor kunci dalam dunia digital, tetapi cara mencapai skala bisnis lebih penting. Dengan teknologi, seharusnya pengelola mampu menjangkau lebih banyak pelanggan. Akan tetapi, meski telah menggunakan teknologi, kadang sejumlah perusahaan di bisnis ini tidak berkembang. Dalam konteks ini, maka strategi harga sangat menentukan masa depan bisnis ini.

https://cdn-assetd.kompas.id/GEQ2jU1P3kjqQ8Sy-DnAO6dAxgY=/1024x701/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F07%2FTOPSHOT-US-POLITICS-TRUMP-MEDIA_69942771.jpg
AFP/ANGELA WEISS

Gedung kantor New York Times di New York, AS, 6 September 2018.

Kita bisa membayangkan ketika Netflix tengah berjaya, tiba-tiba Disney bakal meluncurkan platform Disney+ yang merupakan platform konten berbayar, maka Netflix tak lagi bisa berleha-leha dan nyaman dengan posisi sekarang. Apalagi Disney telah mengatakan akan menjual konten dengan harga lebih murah, yaitu 6,99 dollar AS per bulan, sementara Netflix berkisar 9 dollar AS sampai 16 dollar AS per bulan. Belum lagi ada pemain lain seperti Hulu dan Amazon Prime Video yang juga bertarung di lapangan yang sama.

Baca juga: Disrupsi di Bisnis Penjualan Buku

Persaingan bisnis di konten berbayar ini bakal sangat ketat. Inovasi setiap hari yang bisa menyelamatkan bisnis mereka. Inovasi yang penting adalah kemampuan menekan biaya sehingga menghasilkan produk yang harganya bisa rendah di pasar. Meraih skala audiens yang lebih besar sangat ditentukan oleh strategi harga. Berbeda dengan Wall Street Journal yang merupakan media ekonomi yang memiliki pasar tertentu, strategi harga mereka berbeda. Orang membutuhkan berita ekonomi tidak terlalu banyak, tetapi memiliki kemampuan bayar tinggi sehingga mereka bisa menjual dengan harga lebih tinggi.

Kunci lainnya dalam bisnis konten berbayar adalah pengalaman pengguna (user experience). Kenyamanan pengguna menjadi faktor penentu. Jika konsumen menyatakan konten A atau konten B mudah diakses, nyaman digunakan, mudah disimpan, mudah dicari, dan lain-lain, maka pemain bisnis konten mudah menjual produknya. Dengan kata lain, pengguna akan mudah merogoh kantong untuk membayar konten. Akan tetapi, jika obrolan di pasar lebih banyak keluhan, mereka secepatnya perlu mendengar suara konsumen dan melakukan perbaikan segera.

Pertanyaan paling esensial adalah mengapa konten berbayar kembali muncul? Seorang analis mengatakan, tidak ada ”makan siang gratis” dalam mengonsumsi konten. Apabila selama ini ada platform gratis, sejatinya hanya menunda hingga suatu saat berbayar. Konten berbayar ini juga merupakan antitesa dari konten gratis yang telah membuat lelah dan gangguan konsumen dengan konten-konten kontroversial yang hanya mengejar jumlah klik dan kunjungan. Keinginan untuk mendapatkan konten-konten bermutu meski dengan membayar telah kembali. Selamat tinggal konten gratisan!

Editor:
prasetyoeko
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000