Australia akan menerbitkan undang-undang yang mewajibkan Facebook dan Google berbagi keuntungan dari iklan, dengan perusahaan media setempat.
Oleh
·2 menit baca
Australia akan menerbitkan undang-undang yang mewajibkan Facebook dan Google berbagi keuntungan dari iklan, dengan perusahaan media setempat.
Jika ini berlaku, Australia menjadi negara pertama yang mengharuskan platform digital, yang juga content agregator, untuk membayar kompensasi atas konten yang mereka gunakan. Kue iklan daring Australia senilai sekitar 5,72 miliar dollar AS (sekitar Rp 88,3 triliun) per tahun, tumbuh delapan kali lipat sejak 2005. Untuk setiap 100 dollar AS belanja iklan daring di sana, sepertiganya masuk ke Google dan Facebook.
Desember lalu, Pemerintah Australia menyatakan Google dan Facebook akan menyetujui aturan baru guna menjamin tidak ada penyalahgunaan kekuatan pasar, dan persaingan media jadi lebih kondusif. Jika aturan ini ditolak, Pemerintah Australia menegaskan akan memaksakan kontrol baru.
Model kompensasi nantinya berbasis pada biaya penyiapan konten jurnalistik, dan nilai tambah bagi platform digital pengguna.
Pemerintah Australia menyadari beratnya kendala seiring kegagalan negosiasi serupa di Perancis dan Spanyol. Model kompensasi nantinya berbasis pada biaya penyiapan konten jurnalistik, dan nilai tambah bagi platform digital pengguna.
Facebook kecewa terhadap pengumuman itu karena mereka merasa sudah berusaha mencapai kesepakatan bersama. Selain itu, juga sudah ada investasi untuk mendukung perusahaan media yang berjuang tetap hidup. Pernyataan senada dikatakan Google, yang menilai tingginya minat penggunaan Google semata karena relevansi dengan pengguna.
Sikap Australia, yang menjadikan nilai kompensasi, salah satunya berbasis pada biaya konten jurnalistik, menjadi pemikiran di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.
Liputan jurnalistik berkualitas sepatutnya tak cuma dilihat dari hasil akhir, saat dimuat di media cetak, tersiar di televisi, atau dipublikasikan di media daring. Proses pembuatan konten berawal dari ide-ide kreatif di tim redaksi, yang kemudian didiskusikan. Dari diskusi-diskusi itulah lantas muncul strategi peliputan dan strategi pemberitaan.
Proses peliputan tergolong berbiaya mahal. Keharusan media menghadirkan berita akurat, mewajibkan jurnalis datang ke lokasi kejadian, sehingga perlu biaya perjalanan, termasuk hadir di area terpencil. Di samping itu, ada kebutuhan untuk menggaji wartawan dengan upah yang layak.
Perusahaan-perusahaan media di sebuah negara juga punya catatan sejarah panjang sebagai the fourth estate (kekuatan keempat), selain Trias Politika (eksekutif, legislatif, yudikatif). Saat era merebut kemerdekaan, pers menggelorakan semangat perjuangan. Di masa pembangunan, pers menjadi jembatan informasi pemerintah-masyarakat, juga kerap menyuarakan aspirasi rakyat, atau menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap pemerintah.
Amat disayangkan jika perusahaan media yang berperan strategis harus terpinggirkan. Selayaknya ada solusi yang menguntungkan semua pihak agar polemik ini tertuntaskan. Media-media nasional di banyak negara tetap menjadi aset bangsa, berjalan beriringan dengan platform digital.