Pernyataan sepihak dari Dewan Transisi Selatan bagi kemerdekaan Yaman Selatan menyiratkan kegagalan koalisi Arab Saudi mengelola mereka.
Oleh
EDITOR
·2 menit baca
Pernyataan sepihak dari Dewan Transisi Selatan bagi kemerdekaan Yaman Selatan menyiratkan kegagalan koalisi Arab Saudi mengelola mereka.
Konflik di Yaman berawal dari kegagalan Presiden Ali Abdullah Saleh, yang berkuasa sejak Yaman bersatu pada 1990, mengalihkan kekuasaan kepada Wakil Presiden Abdurabbuh Mansour Hadi menyusul Musim Semi Arab tahun 2011. Sejak itu, Hadi membuat kesepakatan dengan berbagai pihak, termasuk kelompok jihadis, pemberontak di selatan, dan loyalis Saleh, untuk mengatasi korupsi, pengangguran, dan kekurangan pangan.
Kelompok Syiah Houthi, yang sebelumnya bermusuhan dengan pemerintahan Saleh, mengambil keuntungan dengan merebut beberapa kota, hingga pernah menduduki San’a, ibu kota Yaman. Bersama kelompok Sunni, dan aparat yang setia kepada Saleh, Houthi bisa ”mengusir” Hadi ke luar dan kemudian menetap di Arab Saudi pada Maret 2015.
Arab Saudi bersama negara-negara Teluk membentuk koalisi untuk memerangi Houthi di Yaman. Koalisi ini mendapat bantuan persenjataan dari Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat. Namun, hingga empat tahun berselang, koalisi belum juga bisa melumpuhkan Houthi dan kawan-kawan.
Dewan Transisi Selatan (STC) terbentuk sebulan setelah Hadi memecat Gubernur Aden Aidarus al-Zoubaidi karena diduga memiliki agenda tersembunyi, yakni memprioritaskan gerakan kemerdekaan Yaman Selatan. Terdiri atas 26 anggota, STC mencakup lima gubernur dari Yaman Selatan dan dua mantan menteri pada masa pemerintahan Saleh.
Pada Agustus 2019 muncul bentrokan antara pasukan Hadi yang didukung Arab Saudi dan STC yang diketahui didukung Uni Emirat Arab (UEA). STC menuduh Hadi salah kelola dan memiliki hubungan dengan kaum jihadis.
Konflik Yaman telah menewaskan puluhan ribu orang, sebagian besar warga sipil. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari 24 juta orang Yaman, atau lebih dari dua pertiga populasi, membutuhkan bantuan. PBB menggambarkan konflik Yaman sebagai ”krisis kemanusiaan terburuk di dunia”. Pada 10 April 2020, Yaman mengumumkan kasus pertama virus korona baru di selatan. Yaman kekurangan peralatan untuk menghadapi pandemi.
Juru bicara STC, Alkhader Sulaiman, kepada Al Jazeera mengatakan, pernyataan kemerdekaan Minggu (26/4/2020) tidak muncul tiba-tiba. ”Ini tumpukan salah urus, salah kelola, terutama di Yaman Selatan, bahkan Yaman Selatan telah menjadi Houthi (baca: Syiah) hanya dalam waktu kurang dari empat tahun,” ujar Sulaiman yang kini tinggal di AS.
Pernyataan kemerdekaan ini enam bulan setelah Arab Saudi membuat kesepakatan dengan pemerintah Hadi dan STC di Riyadh. Wajar Arab Saudi menolaknya. Perbedaan pandangan antara Arab Saudi dan UEA terkait peran STC, dan kritik terhadap Arab Saudi yang memimpin koalisi, ikut mempercepat keluarnya pernyataan ini. Akankah Arab Saudi bisa menghadapi dua front langsung, Houthi di utara dan STC di selatan? Kini Yaman terancam kembali terpecah dua.