Ramadhan di saat pandemi Covid-19 tak memberi dampak apa pun terhadap perekonomian.
Oleh
A Prasetyantoko, Rektor Unika Atma Jaya Jakarta
·4 menit baca
Seperti apa dunia pascapandemi korona? Sejujurnya, tak seorang pun tahu. Namun, setiap orang punya peluang turut menentukan dunia pasca-Covid-19. Laporan Worldometers (26/4/2020) mencatat, hampir 3 juta orang terinfeksi dan lebih dari 200.000 orang meninggal. Jika setelah situasi berangsur pulih kita begitu saja kembali pada kebiasaan lama, maka kita kehilangan momentum besar.
Arundhati Roy, novelis India, menulis kolom reflektif di Financial Times (4/4/2020) berjudul ”Pandemic is a Portal”. Tragedi kemanusiaan ini merupakan gerbang dari satu dunia ke dunia berikutnya. Lalu, dunia berikutnya seperti apa? Ramadhan tahun ini di satu sisi memberi suasana khusyuk karena harus tinggal di rumah, di sisi lain memberi waktu lebih besar memikirkan dunia pascapandemi korona.
Pandemi sebesar ini bukan tak pernah terjadi sebelumnya. Pada 1918, dunia mengalami pandemi flu Spanyol yang menewaskan lebih dari 50 juta jiwa. Menurut laman Historia, ada sekitar 1,8 juta penduduk Jawa meninggal akibat wabah flu yang tersebar bersama mobilitas tentara di pengujung Perang Dunia I. Salah satu wabah terbesar dalam peradaban dunia adalah Black Death pada 1347-1351 yang menewaskan tak kurang dari 200 juta penduduk dunia.
Pada awal abad ke-17, kawasan Eropa dilanda wabah pes beberapa kali. The Guardian (22/3/2020) melaporkan, William Shakespeare menyelesaikan naskah King Lear, Macbeth, dan Anthony & Cleopatra pada saat London mengalami karantina. The Telegraph (20/4/2020) mengulas Isaac Newton menemukan prinsip gravitasi saat diam di rumah akibat kebijakan pembatasan sosial di London pada 1665. Pandemi adalah bencana, tetapi juga berkah yang perlu dimaknai secara nyata bagi perubahan dunia.
Dampak ekonomi
Ramadhan di tengah pandemi tak memberi efek apa pun secara ekonomi. Biasanya, aktivitas konsumsi meningkat menjelang Ramadhan hingga hari raya Lebaran. Seperti dilaporkan Badan Pusat Statistik, biasanya dua bulan sebelum Lebaran terjadi peningkatan inflasi akibat peningkatan permintaan. Bagi pengusaha, khususnya makanan, pakaian, dan transportasi, Ramadhan merupakan peluang musiman yang menggairahkan.
Pada 2019, inflasi bulanan tertinggi terjadi pada Mei sebesar 0,68 persen, efek Ramadhan dan Lebaran. Pada bulan itu, jumlah uang beredar tumbuh 7,8 persen atau sebesar Rp 5.861,3 triliun. Lebaran selalu memberi efek musiman yang positif bagi pertumbuhan ekonomi karena sektor konsumsi rumah tangga sekitar 55 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Tahun ini, perekonomian ”puasa” akibat pandemi Covid-19 yang memaksa kita semua bekerja, belajar, dan beribadah di rumah. Penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta yang seharusnya selesai pada 23 April diperpanjang hingga 7 Mei 2020. Dengan catatan, jika masih ditemukan penyebaran dan kasus baru, PSBB akan diperpanjang hingga 21 Mei 2020 atau beberapa hari menjelang Lebaran. Selain DKI Jakarta, daerah penyangga Ibu Kota juga menerapkan PSBB mulai 15 April untuk periode 14 hari, yaitu Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Kota Depok. Hingga kini sudah 18 daerah menerapkan PSBB.
Lebaran yang biasanya diiringi mobilitas masif terhalang kebijakan pembatasan berskala besar. Biasanya, pada saat itu sektor transportasi, telekomunikasi, perhotelan, dan pariwisata akan melesat. Namun, tahun ini dipastikan tak terjadi efek Lebaran akibat kebijakan larangan mudik melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah. Tujuannya, mencegah penyebaran Covid-19.
Pandemi Covid-19 telah menimbulkan kemandekan total pada perekonomian, mulai dari konsumsi, distribusi, hingga produksi. Meski begitu, pemerintah telah mengeluarkan paket stimulus yang akan berfungsi menyangga perekonomian agar tak melorot lebih buruk. Kerangka kebijakan pemerintah, pertama-tama, menyelamatkan kehidupan akibat penyakit, tetapi juga kehidupan yang terdampak kemandekan perekonomian. Baru setelah penyakit bisa dikendalikan, rekayasa pemulihan perekonomian bisa mulai dijalankan.
Langkah-langkah itu dijalankan melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atau paket stimulus kebijakan jilid 3 melawan pandemi korona. Total alokasi anggaran Rp 405 triliun atau 2,5 persen dari PDB, dengan rincian anggaran kesehatan Rp 75 triliun, perlindungan sosial Rp 110 triliun, dukungan untuk industri Rp 70,1 triliun, dan program pemulihan ekonomi Rp 150 triliun.
Anggaran perlindungan sosial Rp 110 triliun akan dibagikan melalui berbagai program, yaitu Program Keluarga Harapan (10 juta penerima), Kartu Sembako (20 juta penerima), Kartu Prakerja (5,6 juta orang), insentif cicilan kredit pemilikan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah, dan diskon tarif listrik. Anggaran ini akan membantu kelompok rentan agar mampu bertahan. Jika pada masa sebelumnya permintaan domestik menstimulus perekonomian, kali ini mereka harus di-bail-out.
Ramadhan kali ini memaksa kita merenung lebih dalam. Pertama, pandemi dalam kacamata ekonomi merupakan peristiwa di mana alam tak lagi menopang kecepatan dinamika pembangunan. Di sektor keuangan dikenal istilah ”Minsky Moment” atau peristiwa kolapsnya harga aset secara mendadak akibat perilaku spekulatif yang keterlaluan pada fase sebelumnya. The Sunday Times (29/3/2020) menyebut virus korona telah memicu Minsky Moment jenis lain. Pascapandemi Covid-19 perlu dirumuskan agenda pembangunan yang lebih memperhatikan keseimbangan, termasuk dengan alam. Masalah perubahan iklim harus dimitigasi secara progresif melalui pendekatan ilmiah.
Kedua, Ramadhan bisa menjadi momentum untuk menjaga solidaritas bangsa melalui berbagai kegiatan yang berorientasi bela rasa pada sesama yang kekurangan. Jika hal itu terjadi, program stimulus perlindungan sosial akan mengalami efek pengganda dengan partisipasi dari masyarakat. Di situlah esensi dari gerakan solidaritas yang harus dibangkitkan di masa pandemi ini. Kita berharap semangat berbela rasa menjadi sebuah pengalaman kolektif yang membekas sehingga pascapandemi korona prinsip tersebut bisa dilembagakan lewat berbagai kebiasaan maupun kebijakan.
Dengan begitu, kita akan bergerak dari satu dunia ke dunia berikutnya. Sejarah telah mengajarkan manusia selalu lebih kuat dari pandemi dengan berbagai inovasi yang muncul pascapandemi. Semoga Friedrich Hegel salah saat mengatakan: satu-satunya yang bisa kita pelajari dari sejarah adalah kita tak pernah belajar dari sejarah. Frasa ini dikutip Slavoj Žižek, filsuf kontemporer Slowakia, dalam buku terbarunya, Panic Pandemic! Covid-19 Shakes the World.
Sejarah telah mengajarkan manusia selalu lebih kuat dari pandemi dengan berbagai inovasi yang muncul pascapandemi.