Berita penderitaan WNI yang menjadi awak kapal China benar- benar mengguncang hati nurani. Negara perlu menyelesaikan masalah itu hingga ke akar-akarnya.
Oleh
Editor
·3 menit baca
Berita penderitaan WNI yang menjadi awak kapal China benar- benar mengguncang hati nurani. Negara perlu menyelesaikan masalah itu hingga ke akar-akarnya.
Dalam beberapa hari terakhir, publik di Tanah Air disuguhi berita mengenaskan tentang penderitaan yang dialami belasan warga negara Indonesia (WNI) anak buah kapal (ABK) pada kapal penangkap ikan asal China. Penderitaan itu menyebabkan empat orang meninggal, tiga orang meninggal di tengah pelayaran, seorang lainnya dalam perawatan di rumah sakit di Busan, Korea Selatan. Seperti yang diberitakan, tiga jenazah dilarung di tengah laut Samudra Pasifik. Seorang lainnya bisa diserahkan kepada keluarganya di Sumatera Utara.
Tak berlebihan kiranya jika sejumlah kalangan menyebut praktik-praktik itu sebagai perbudakan.
Penuturan tiga WNI pekerja awak kapal itu, kepada harian ini melalui sambungan telepon ketika berada di Korsel, pekan lalu, mengenai beban pekerjaan rutin mereka sungguh menyayat hati. Awak kapal biasa bekerja 10-17 jam dalam beberapa tim, dengan pembagian kerja mulai dari menyiapkan perangkat pancing, menarik tangkapan, hingga memproses hasil tangkapan. Jika hasil tangkapan buruk, ”mereka harus bekerja dari pukul 10.00 hingga keesokan hari tanpa tidur”.
Lebih mengenaskan lagi, dengan beban kerja seperti budak, para WNI awak kapal itu diberi makan kurang baik, seperti ayam beku, ikan umpan, dan sayur tak segar, serta air minum hasil penyulingan air laut. Dalam penuturan kepada Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi setiba para WNI itu di Jakarta, Minggu (10/5/2020), dengan beban kerja seperti itu, sebagian dari mereka belum menerima gaji sama sekali. Sebagian yang lain digaji, tetapi angkanya di bawah perjanjian kontrak yang disepakati. Tak berlebihan kiranya jika sejumlah kalangan menyebut praktik-praktik itu sebagai perbudakan.
Dalam pernyataan pers, Minggu, Retno sampai menyatakan istilah sangat keras dalam ranah diplomatik. ”Kita mengutuk perlakuan tidak manusiawi yang dialami para ABK kita selama bekerja di kapal-kapal milik perusahaan RRT (China),” tegasnya. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, memakai jalur diplomatik untuk menyelesaikan kasus itu. Selain menyampaikan nota diplomatik kepada Pemerintah China di Beijing, Kemenlu juga memanggil Duta Besar China untuk Indonesia Qiao Xian. Disepakati, Indonesia dan China menggelar penyelidikan bersama dengan sasaran terpenuhi hak WNI awak kapal China itu, hingga proses hukum atas pelanggaran yang terjadi. Polri juga memulai penyelidikan.
Kita berharap penyelesaian tidak berhenti pada kasus WNI awak kapal China itu saja. Momentum ini juga harus dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah pekerja penangkapan ikan di kapal hingga akarnya, termasuk pembenahan di hulu titik awal pengiriman awak kapal. Masalah ini melibatkan banyak instansi dan lembaga, perlu kerja sama lintas sektoral. Selain itu, mengingat besarnya risiko pekerjaan penangkapan ikan di kapal bagi keselamatan pekerjanya, pemerintah perlu juga mempertimbangkan meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.