Ada dua agenda institusional mendesak dioptimalkan untuk jamin kesatuan langkah seluruh sumber daya negara. Pertama, pelipatgandaan kinerja pencegahan oleh KPK. Kedua, partisipasi masyarakat untuk melakukan kontrol.
Oleh
Halili
·5 menit baca
Fragmentasi elite merupakan salah satu masalah serius tata politik dan pemerintahan kita. Di tengah pandemi Covid-19, saat seluruh energi potensial serta sumber daya kolektif dimobilisasi untuk pencegahan dan penanganan dampak wabah, fragmentasi ini menjadi satu simtom negatif yang mengemuka.
Fenomena fragmentasi elite ini sebenarnya sudah ”diingatkan” banyak studi, salah satunya Fragile State Index (FSI) yang dirilis Fund for Peace. Indeks ini menunjukkan, salah satu indikator yang berkontribusi besar bagi data tingginya kerentanan (fragility) di Indonesia adalah elite yang terfaksionalisasi (factionalised elites).
Pada FSI 2019, Indonesia menempati posisi menengah pada zona kuning, urutan ke-93 dari 178 negara. Meskipun masih berada pada kategori warning, posisi itu merupakan kemajuan pesat dibandingkan dengan satu dekade sebelumnya, yakni peringkat ke-61 (high warning).
Itulah mengapa indeks yang sebelumnya berlabel Failed State Index tersebut menempatkan Indonesia pada kelompok negara yang paling meningkat dalam jangka panjang (long-term most improved). Dari lima indikator dan 12 subindikator, kita memiliki skor buruk pada subindikator faksionalisasi elite (7,3 dalam skala 1-10), di samping HAM dan penegakan hukum (7,3) serta keluhan kelompok (7,1), terutama kelompok agama minoritas.
Inkoherensi kebijakan
Di tengah pandemi, fragmentasi elite sangat tampak dalam kebijakan dan implementasinya. Fragmentasi dapat kita temukan dalam dua lokus. Pertama, lingkungan pemerintah pusat, khususnya lingkaran inti kekuasaan presiden dan ranah ministerial. Kedua, dalam relasi pemerintah pusat-daerah.
Di tengah pandemi, fragmentasi elite sangat tampak dalam kebijakan dan implementasinya.
Fragmentasi elite di tingkat pemerintah pusat menghasilkan serta tampak dari inkoherensi kebijakan pencegahan dan penanganan dampak Covid-19. Kebijakan pemerintah mengenai pembatasan sosial berskala besar (PSBB), misalnya, direspons dan diinterpretasi berbeda di tingkat kementerian.
Polemik sikap Kemenhub mengenai ojek daring yang diperbolehkan mengangkut penumpang dengan Kemenkes yang menyatakan sebaliknya merupakan potret telanjang inkoherensi ini.
Begitu pula kebijakan pembebasan narapidana korupsi yang mengeksplisitkan tak koherennya kebijakan penanganan Covid-19, terutama pada aspek dampak sosial-keamanan. Tanpa pembebasan narapidana saja, potensi kriminalitas sudah meningkat sebagai dampak anjloknya ekonomi dan turunnya pendapatan masyarakat. Kepentingan terselubung elite sangat nyata dalam kebijakan ini.
Contoh lain, proyek Kartu Prakerja senilai Rp 20 triliun. Pelatihan daring yang diperluas untuk tenaga kerja yang terdampak Covid-19, melalui penyedia jasa delapan platform digital tidak saja menggambarkan buruknya analisis biaya dan manfaat pemerintah, tetapi juga merefleksikan konflik kepentingan aktor-aktor strategis di lingkungan istana kepresidenan. Kebijakan ini tak koheren dengan spirit menyelamatkan anggaran negara di tengah pandemi.Wajar jika publik merespons secara negatif kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19. Riset Indef pada 27 Maret-25 April 2020 tentang sentimen dan perspektif publik di medsos terhadap kebijakan pemerintahan Jokowi menunjukkan sentimen negatif 68 persen warganet terhadap kebijakan pemerintah terkait Covid-19.
Fragmentasi di daerah
Respons pemerintah daerah terhadap kebijakan pusat juga terfragmentasi. Dari sisi anggaran, misalnya, pemda tak serta-merta melakukan realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 di daerah masing-masing.
Sampai awal April pun pemda tak menunjukkan gereget dan sensitivitas, berbeda dengan gelombang solidaritas yang ditunjukkan masyarakat atau kebijakan yang sudah lebih dulu diambil pemerintah pusat. Presiden pada sidang kabinet, pertengahan April, sampai memberikan perhatian khusus soal lambatnya respons pemda.
Berdasarkan data Kemendagri, hingga 17 April, masih ada 14 pemda belum melaporkan hasil realokasi APBD. Adapun 93 pemda yang sudah melapor belum mengalokasikan anggaran untuk penyediaan jaring pengaman sosial dan 138 pemda belum menganggarkan untuk penanganan dampak ekonomi (Kompas, 18/4/2020).
Padahal, sudah sejak 2 April, Mendagri Tito Karnavian mengeluarkan instruksi khusus ke semua kepala daerah, bahkan disertai ancaman sanksi penundaan penyaluran dana alokasi umum atau dana bagi hasil, agar realokasi anggaran dilakukan pemda untuk merespons pandemi.
Salah satu faktor penyebab fragmentasi daerah adalah pilkada serentak 2020. Sebanyak 270 provinsi dan kabupaten/kota akan menyelenggarakan pilkada, dengan 130 petahana akan kembali bertarung sebagai kontestan elektoral.
Pilkada pasti akan ”mengerem” keinginan pemda melakukan realokasi anggaran. Terutama pada pos yang secara khusus dialokasikan untuk penyelenggaraan pilkada atau realokasi dana bansos dan dana hibah yang dalam catatan Fitra (2015), satu dari tujuh celah APBD yang kerap digunakan petahana untuk ”modal” politik.
Salah satu faktor penyebab fragmentasi daerah adalah pilkada serentak 2020.
Penundaan pilkada dalam hitungan bulan, ke 9 Desember 2020, tetap akan membuat mobilisasi daerah untuk pandemi di daerah tak seoptimal arahan pusat. Daerah akan tetap ”setengah hati” dalam realokasi anggaran atau realokasi akan digunakan secara terselubung oleh petahana untuk kepentingan elektoral.
Defragmentasi elite
Defragmentasi elite merupakan syarat elementer untuk membangun soliditas lintas aktor di pusat dan daerah dalam pencegahan dan penanganan dampak pandemi. Semua elite yang sedang memimpin mesti menanggalkan kepentingan ekonomi-politik mereka. Keselamatan seluruh rakyat harus jadi prioritas, sebagaimana doktrin Cicero, salus populi suprema lex esto.
Ada dua agenda institusional mendesak dioptimalkan untuk jamin kesatuan langkah seluruh sumber daya negara. Pertama, pelipatgandaan kinerja pencegahan oleh KPK, sebagaimana ”mimpi” UU KPK dan KPK ”baru”. Realokasi anggaran pusat Rp 405,1 triliun dan triliunan anggaran seluruh daerah adalah subyek yang semestinya mengundang insting antikorupsi KPK karena anggaran sebesar itu pasti jadi target elite korup yang, sering dianalogikan Buya Syafii Maarif, berwatak lele. Semakin keruh air, semakin lahap ia makan.
Kedua, partisipasi masyarakat sipil untuk melakukan kontrol publik atas perumusan dan implementasi kebijakan di tengah pandemi. Dalam konteks itu, kita harus memberikan kritik keras dikeluarkannya telegram Kapolri perihal penanganan kejahatan di ruang siber, yang antara lain menyasar penghinaan kepada presiden dan pejabat pemerintah.
Halili, Pengajar Ilmu Politik di Universitas Negeri Yogyakarta; Direktur Riset Setara Institute.