Memaknai Arti Satu Nyawa
Terlalu tinggi mengeluarkan nada kritik tanpa memetakan jejaring masalah dan menyusun hierarki masalah secara tepat bukanlah cara yang bijak. Sebaiknya pemetaaan masalah berbasis dan berorientasi pada nilai satu nyawa.
Hingga saat ini belum tampak penyajian data kasus Covid-19 ke bentuk penyajian analitik, yakni dengan kategorisasi dan klasifikasi yang memberikan indikasi awal tentang hierarki daerah terdampak dan sebab-sebab utama yang membuat tinggi rendahnya kasus dan angka kematian di suatu daerah.
Baik ekspose oleh pihak berwenang maupun narasi yang dibuat oleh media massa masih bertolak dari hierarki daerah berdasarkan jumlah kasus dan angka pasien Covid-19 yang meninggal per provinsi.
Hierarki yang sangat administratif pemerintahan itu tentu tak menggambarkan hierarki masalah dan peta sumber masalah secara tepat di tingkat nasional ataupun yang khas untuk daerah-daerah tertentu. Misalnya, di mana daerah yang menunjukkan ada masalah dengan kapasitas pemerintah, mana cukup signifikan dipengaruhi oleh karakter masyarakat, mana yang dipengaruhi oleh pola migrasi penduduk, mana yang dipengaruhi oleh letak geografis, atau variasi-variasi kombinasi dari beberapa hal itu. Ke depan, setelah pandemi ini nanti berakhir, pemetaan yang analitik itu akan berguna untuk memperbaiki strategi mengelola urusan publik.
Penyusunan hierarki dan peta masalah yang tepat itu sebetulnya juga berguna untuk mengoptimalkan kerja menangani serangan Covid-19 saat ini. Jika terus-menerus menggunakan bentuk penyajian selama ini, akan makin banyak orang salah membayangkan peta dan hierarki masalah yang terjadi. Perbandingan jumlah kasus antarprovinsi, misalnya, menimbulkan persepsi bahwa provinsi yang memiliki kasus lebih banyak lebih buruk kondisinya dibandingkan provinsi yang kasusnya lebih sedikit.
Ukuran hilangnya nyawa jauh lebih tinggi bobotnya dibandingkan parameter angka jumlah kasus ataupun angka kesembuhan.
Bahkan, penempatan hierarki provinsi berdasarkan tingkat efek pandemi Covid-19 berdasarkan jumlah kasus, dan bukan berdasarkan jumlah pasien yang meninggal, sudah menjadi kebenaran dalam pandangan umum tentang tingkat keparahan ataupun tingkat keberhasilan membendung penyebaran Covid-19 di tiap-tiap daerah.
Menggunakan ukuran kasus untuk membandingkan dengan jumlah yang sembuh memberi nilai untuk melihat tingkat keberhasilan penanganan pasien terinfeksi. Namun, jangan lupa, ukuran hilangnya nyawa jauh lebih tinggi bobotnya dibandingkan parameter angka jumlah kasus ataupun angka kesembuhan.
Baca juga: Ribuan Kematian Terkait Covid-19 yang Tak Tercatat
Jumlah kasus lebih sedikit dan tingkat kesembuhan pasien yang lebih tinggi tidaklah bisa diberi bobot lebih tinggi dari jumlah pasien meninggal yang lebih besar dari jumlah kasus dan jumlah angka kesembuhan. Baik-buruknya nilai untuk kumpulan kasus di suatu negara atau suatu daerah seharusnya lebih ditentukan oleh nilai nyawa seorang manusia. Di dunia Barat, jangankan nyawa manusia, nyawa seekor hewan yang sedang terancam akan menjadi prioritas diselamatkan oleh pemerintah dan masyarakat.
Penajaman penilaian berdasarkan nilai nyawa seorang manusia tadi juga tidak cukup dengan membandingkan jumlahnya antara negara yang satu dan negara lain atau antara provinsi satu dan provinsi lain. Variabel penting dan fair untuk menilai tingkat keparahan atau tingkat keberhasilan menghadapi penyebaran Covid-19 ini adalah rasio jumlah kasus dan jumlah pasien meninggal terhadap jumlah penduduk. Untuk rasio satu pasien meninggal terhadap jumlah penduduk, seharusnya mendapat bobot sangat besar.
Baca juga: Tatanan Dunia Pasca-Covid-19
Jumlah kasus yang cukup besar di suatu provinsi tidak bisa langsung dinilai lebih buruk dari provinsi yang jumlah kasus ataupun korban pasien meninggalnya lebih sedikit dan juga tidak bisa langsung dinilai lebih buruk dari provinsi yang jumlah kasus ataupun jumlah pasien meninggalnya lebih banyak.
Jumlah kasus dan jumlah pasien Covid-19 yang meninggal di Amerika Serikat yang jauh di atas rata-rata semua negara di dunia tidak bisa dijadikan dasar untuk menilai bahwa AS adalah negara yang mengalami masalah paling buruk di dunia oleh Covid-19 ini. Berdasarkan rasio pasien meninggal terhadap jumlah penduduk tiap-tiap negara, posisi kasus yang dialami AS baru terlihat lebih buruk dibandingkan dengan yang dialami Belanda, Kanada, Brasil, Meksiko, dan Jerman.
Baca juga: Persentase Kasus Kematian Covid-19 di Jawa Timur Tertinggi
Masalah yang diderita AS tidaklah lebih buruk dari Belgia, Inggris, Spanyol, Italia, Swedia, dan Perancis. Rasio jumlah pasien Covid-19 yang meninggal terhadap jumlah penduduk di AS memang cukup tinggi, yakni satu orang meninggal untuk 2.700 penduduk. Namun, rasio pasien yang meninggal terhadap jumlah penduduk jauh lebih tinggi di enam negara Eropa yang penulis sebutkan terakhir tadi. Di Inggris, misalnya, rasio pasien yang meninggal adalah satu untuk 1.623 penduduk.
Asia paling rendah
Dengan ukuran rasio pasien yang meninggal terhadap jumlah penduduk, negara-negara Asia bertengger di posisi paling rendah terdampak penyebaran Covid-19 walaupun awal munculnya Covid-19 dari Wuhan, China. Hal ini dengan catatan negara-negara remote di Afrika ataupun Amerika Latin dikesampingkan.
Jika diurut berdasarkan rasio pasien meninggal terhadap jumlah penduduk, tiga negara ASEAN, yakni Vietnam, Kamboja, dan Myanmar, patut diberi penilaian sebagai negara-negara paling aman dari Covid-19. Vietnam dan Kamboja tercatat nol pasien meninggal. Adapun di Myanmar, hingga 9 Juni tercatat terdapat pasien meninggal enam orang. Namun, berdasarkan rasio terhadap jumlah penduduk, angka pasien meninggal di Myanmar ”hanyalah” satu untuk setiap 9 juta penduduk.
Berikutnya, negara Asia yang cukup berhasil menahan pandemi Covid-19 berdasarkan korban jiwa adalah Taiwan, Thailand, dan Jordania, dengan rasio korban meninggal terhadap jumlah penduduk adalah Taiwan 1 dari 3.400.000 penduduk, Thailand 1 untuk 1.196.000 penduduk, dan Jordania 1 untuk 1.100.000 penduduk. Sementara China, sebagai tempat asal munculnya Covid-19 pada Desember 2019, bisa disebut cukup berhasil mengendalikan penyebaran virus ini.
Jumlah pasien yang meninggal di China adalah 1 orang untuk 300.000 penduduk. Dengan angka rasio ini, jumlah korban meninggal di China tidak lebih buruk dibandingkan di Australia, Singapura, Selandia Baru, Korea Selatan, India, dan Indonesia. Di Australia rasionya 1 untuk setiap 245.000 penduduk, di Singapura dan Selandia Baru hampir sama, masing-masing 1 untuk 228.000 dan 222.000 penduduk.
Provinsi dengan dampak terburuk
Dengan ukuran rasio korban meninggal terhadap jumlah penduduk di setiap provinsi, nilai baik-buruk dampak Covid-19 di tiap provinsi tidak bisa diwakili oleh jumlah kasus atau korban meninggal di antara provinsi-provinsi yang ada di Indonesia.
Namun, DKI tetap menempati posisi sebagai provinsi dengan dampak terburuk karena rasio jumlah kasus dan korban meninggal terhadap jumlah penduduk DKI paling tinggi dengan rasio angka kematian 1 orang untuk 19.400 penduduk.
Baca juga: DKI Jakarta Tetapkan Denda bagi Pelanggar Protokol
Berdasarkan ukuran itu juga, provinsi di urutan kedua bukanlah Jawa Timur meski angka pasien Covid-19 meninggalnya sudah 575 orang hingga 12 Juni 2020, melainkan Kalimantan Selatan dengan angka korban Covid-19 yang meninggal 1 untuk 36.200 penduduk.
Berikutnya, Sulawesi Utara dengan angka rasio pasien meninggal 1 untuk 48.000 penduduk, Maluku Utara dengan rasio 1 untuk 56.000 penduduk, dan baru Jawa Timur di urutan kelima dengan rasio angka pasien meninggal 1 untuk 69.000 penduduk.
Jawa Tengah dan Jawa Barat bahkan tak masuk di kelompok 10 provinsi teratas. Jawa Barat, meskipun total korban meninggal hingga 12 Juni 2020 mencapai 161 orang dan Jawa Tengah 103 orang, rasio pasien meninggal terhadap penduduk di tiap-tiap provinsi ini adalah 304.000 dan 335.000. Sementara Sulawesi Selatan dengan 110 pasien meninggal, rasionya 1 orang untuk 80.700 penduduk. Ini menempatkannya sebagai provinsi urutan keenam teratas dampak terburuk.
Empat provinsi berikutnya menurut nilai terdampak paling buruk berdasarkan rasio pasien meninggal terhadap jumlah penduduk adalah Nusa Tenggara Barat, Banten, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat. Rasio angka pasien meninggal terhadap jumlah penduduk untuk masing-masing lima provinsi ini adalah: NTB 1 untuk 161.000 penduduk, Banten 1 untuk 171.000 penduduk, Sumatera Selatan 1 untuk 180.800 penduduk, dan Sumatera Barat 1 untuk 189.000 penduduk.
Hierarki provinsi terdampak berdasarkan rasio pasien Covid-19 meninggal terhadap jumlah penduduk ini tidak harus menjadi indikator tunggal dalam memetakan dampak penularan virus pembawa maut ini di tingkat global ataupun nasional. Namun, jika memaknai arti satu nyawa bagi suatu keluarga, pastilah parameter ini akan diberi bobot dominan dalam perhitungan scoring nilai agregat.
Oknum dan kelompok masyarakat yang awalnya membangkang kepada arahan pemerintah pun kemudian tersadar akan tidak ternilainya satu nyawa dengan uang berapa pun ketika yang jadi korban meninggal adalah anggota keluarga mereka atau ketika mereka sendiri sebagai orang yang terkena virus korona baru penyebab Covid-19 berjuang sekuat tenaga untuk selamat dari kehilangan nyawa.
Baca juga: WHO: Pandemi dalam Fase Baru dan Berbahaya
Dengan penanganan berorientasi pada penyelamatan setiap nyawa, dengan sendirinya, masyarakat awam pun akan mudah diingatkan tentang berbagai faktor yang bisa membuat kasus menimpa diri mereka atau keluarga mereka.
Namun, jika memaknai arti satu nyawa bagi suatu keluarga, pastilah parameter ini akan diberi bobot dominan dalam perhitungan scoring nilai agregat.
Sementara bagi pihak berwenang, dan para akademisi, tinggal menelusuri berbagai faktor lain yang signifikan dan relevan untuk tiap wilayah di negara Indonesia yang memang amat majemuk dan proses pembangunan tata kelolanya masih belum tuntas.
Terlalu tinggi mengeluarkan nada kritik tanpa memetakan jejaring masalah dan menyusun hierarki masalah secara tepat bukanlah cara yang bijak. Untuk meninggalkan penilaian-penilaian yang spekulatif, sebaiknya kita mulai dengan memetakan masalah keseluruhan secara tepat dengan berbasis atau berorientasi pada nilai satu nyawa.
Andrinof A Chaniago, Analis Kebijakan Publik dan Dosen di Departemen Ilmu Politik FISIP UI