Teori dramartugis Erving Goffman membantu memahami mengapa terjadi sejumlah kasus penjemputan paksa jenazah pasien yang positif tertular Covid-19 oleh keluarganya. Upacara kematian merupakan ungkapan simbolik bermakna.
Oleh
Deddy Mulyana
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 mewariskan ranah penelitian yang subur dalam berbagai bidang ilmu (kedokteran, matematika/statistika, psikologi, politik, komunikasi, dan sebagainya), juga secara interdisipliner. Dalam ilmu komunikasi, pagebluk ini dapat diteliti dengan paradigma obyektif (kuantitatif) dan interpretif (kualitatif).
Dalam paradigma kedua, teori dramaturgis Erving Goffman dapat digunakan untuk meneliti, misalnya, bagaimana taktik-taktik pengelolaan kesan (impression management) yang dilakukan pejabat resmi seperti presiden, menteri, dan kepala daerah untuk mendongkrak popularitas mereka.
Teori dramaturgis juga dapat digunakan untuk menganalisis penjemputan paksa jenazah berstatus pasien dalam pengawasan (PDP). Di Makassar setidaknya ada empat penjemputan jenazah PDP di empat rumah sakit berbeda. Kasus serupa terjadi di Manado, Bekasi, Surabaya, Batam. Di dua kota yang disebut terakhir perebutan jenazah bahkan dilakukan di pekuburan. Pihak keluarga menolak pemakaman mendiang sesuai protokol Covid-19.
Alasannya, mendiang bukan pasien positif. Salah satu jenazah di RS Stella Maris Makassar diambil paksa oleh lebih dari 100 orang yang menerobos penjagaan aparat TNI dan Polri dan membawa pulang jenazah dengan berjalan kaki. Berbagai kasus pengambilan paksa jenazah Covid-19 itu mengesankan bahwa keluarganya tak ingin mendiang dan mereka sendiri terstigmatisasikan. Mengapa ironi ini terjadi?
Suatu komunitas menganggap kematian sebagai rites of passage, seperti juga kelahiran, sunatan, perayaan ulang tahun, pertunangan, dan pernikahan. Menggunakan teori Goffman, upacara kematian adalah panggung depan (front stage) yang dilakukan aktor, baik individu maupun tim, untuk membangun kesan positif khalayak sebagaimana diinginkan aktor. Metafora yang sering digunakan untuk peristiwa itu adalah ”teater”.
Teori dramaturgis juga dapat digunakan untuk menganalisis penjemputan paksa jenazah berstatus pasien dalam pengawasan (PDP).
Karena itu, upacara kematian, dalam masyarakat primitif hingga masyarakat modern, dan agama apa pun, adalah ”teater” yang memungkinkan orang-orang menampilkan ujaran atau tindakan simbolik, bak para pemain sandiwara di atas panggung. Para pelaku ritual itu berbagi dan meneguhkan kembali ikatan emosional dan kesetiaan mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa, negara, ideologi, atau agama mereka.
Bukan ritual itu yang penting, melainkan perasaan bersama bahwa hadirin, terutama keluarga dan kerabat, terikat oleh entitas abadi yang lebih besar daripada diri mereka sendiri, dan bahwa mereka diakui dan diterima dalam kelompok mereka. Jika panggung depan adalah ”manipulasi” untuk menciptakan kekaguman khalayak, panggung belakang (back stage) lebih alamiah. Dalam upacara kematian seseorang, meski panggung depannya tampak khidmat, panggung belakangnya boleh jadi ditandai dengan perpecahan keluarga atau bahkan perebutan warisan.
Filosof Jerman Ernst Cassirer menyebut manusia sebagai homo symbolicum (makhluk pengguna simbol), bukan makhluk rasional semata. Bila semua kegiatan manusia harus rasional, mestinya orang yang meninggal dikuburkan secepatnya, jenazahnya tak perlu dibersihkan, didandani, dikafani atau dimasukkan ke dalam peti mati yang mahal, tak perlu diazani saat pemakaman, tak perlu kebaktian penghiburan atau acara tahlilan.
Segelap apa pun latar belakang mendiang, sebagai peselingkuh, misalnya, keluarganya menghendaki upacara kematian yang layak. Mayatnya tak mungkin dilemparkan begitu saja ke liang lahat dan ditimbun dengan tanah seperti bangkai seekor kambing.
Merayakan keunikan
Sebuah TV swasta di Indonesia pernah menayangkan upacara kematian seorang pria homoseksual sebagai kematian yang agung karena kesabaran atas penderitaannya semasa ia hidup. Tidak juga mengejutkan jika seorang koruptor dimakamkan di taman makam bergengsi dan disebut pemimpin upacara sebagai ”pahlawan keluarga”, ”dermawan”, atau bahkan ”putra terbaik bangsa”.
Sebagaimana dilukiskan Ralph Ross, upacara kematian menekankan posisi manusia dalam masyarakat, keluarga, persahabatan, dan dalam cinta. Ritual itu juga menegaskan kembali identitasnya, kekhususan hidupnya, dan kesenjangan yang ia tinggalkan dalam kehidupan orang lain. Manusia memang bukan mesin, dan tidak dapat digantikan oleh orang lain yang penampilan fisiknya lebih menawan dan status sosialnya lebih terhormat. Alih-alih, menurut Ross, setiap manusia itu unik dan keunikannya dirayakan.
Sebagaimana dilukiskan Ralph Ross, upacara kematian menekankan posisi manusia dalam masyarakat, keluarga, persahabatan, dan dalam cinta.
Masyarakat menunjukkan kesetiaannya kepada setiap anggotanya yang unik itu dan generasi penerusnya lewat upacara pemakaman. Masyarakat menegaskan kematian seorang manusia dan kesinambungannya, dalam kenangan dan pengaruh, dalam keluarganya, para sahabatnya, dan komunitasnya.
Beralasan jika dalam Hamlet, karya sastra William Shakespeare yang legendaris itu, penutupnya bukan kematian sang pangeran, melainkan pemakaman tentara yang simbolik dan pidato Fortinbras, pelanjut Hamlet. Fortinbras mengemukakan makna hidup Hamlet dan memuji segala kebajikannya. Intinya, Hamlet bukan hanya seorang pangeran, tetapi pangeran yang satu ini: kematiannya membuat negerinya kehilangan dirinya.
Pemakaman jenazah Covid-19 seperti dikehendaki keluarganya mestinya dapat dipahami semua pemangku kepentingan (pemerintah, gugus tugas terkait, RS, dokter, polisi, dan sebagainya) dalam upaya mengatasi pandemi Covid-19.
Jika tetap ingin berpegang pada protokol kesehatan, pemerintah pusat dan pemda seharusnya sejak awal tanpa lelah mengajak para ulama dan tokoh masyarakat lain di wilayah mereka menyosialisasikan kebijakan pemakaman orang yang meninggal karena Covid-19 dan mengedukasi masyarakat luas, termasuk keluarga mendiang, dengan menekankan bahwa pemakaman berdasarkan protokol kesehatan adalah demi keselamatan semua orang, dan bahwa sebagai korban wabah, sebagaimana hadis Nabi, mendiang meninggal sebagai syahid.
Deddy Mulyana, Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.