Buronan Joko S Tjandra, yang datang ke Jakarta membuat KTP, paspor, dan mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, telah mempermalukan republik.
Oleh
Editor KOMPAS
·3 menit baca
Buronan Joko S Tjandra, yang datang ke Jakarta membuat KTP, paspor, dan mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, telah mempermalukan republik.
Kasus Joko Tjandra adalah skandal besar dalam penegakan hukum di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Saatnya Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan memanggil pembantunya dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dan memerintahkan apa yang harus dilakukan oleh mereka. Joko Tjandra adalah bekas Direktur PT Era Giat Prima, dihukum dua tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Dia harus mengembalikan sejumlah dana. Joko kabur lebih dahulu dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, dengan pesawat carter, 10 Juni 2009, sebelum MA membacakan putusannya.
Ia buronan selama sebelas tahun. Namanya sempat terdaftar dalam red notice Interpol. Namun, sejak 2014, namanya hilang dari daftar Interpol. Tak diketahui siapa yang menghapusnya. Tidak ada juga yang berani bertanggung jawab.
Belakangan baru heboh ketika buronan koruptor datang ke Indonesia. Menurut Jaksa Agung ST Burhanuddin, sudah tiga bulan Joko berada di Indonesia. Namun, keterangan Jaksa Agung itu dibantah oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly yang menyatakan nama Joko Tjandra tidak tercatat dalam perlintasan imigrasi. Buronan yang seharusnya diburu malah mendatangi kantor simbol pemerintahan, pun tidak ada yang menangkapnya.
Pelacakan media, pada 8 Juni 2020 Joko Tjandra mengurus KTP elektronik di Kelurahan Grogol Selatan dengan diantar kuasa hukumnya, Anita Kolopaking. Joko disambut lurah. Dalam waktu 30 menit, KTP elektronik milik Joko selesai. Dari kantor kelurahan, Joko menuju Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Joko diterima pegawai pengadilan. Berkas peninjauan kembalinya didaftar. Tak ada yang tahu bahwa yang datang adalah seorang buronan. Menurut Jaksa Agung Burhanuddin, Joko juga mengurus paspor pada 23 Juni 2020. Mengurus paspor berarti datang ke kantor Imigrasi yang juga mengurus pintu gerbang keluar masuk Indonesia.
Kejadian itu menunjukkan seorang buronan Joko Tjandra telah mengacak-acak sistem hukum negeri ini. Ia telah mempermalukan pejabat hukum. Akan tetapi, reaksi pejabat Indonesia sepertinya biasa-biasa saja. Padahal, bagi publik, langkah Joko dan kuasa hukumnya telah menampar wajah penegak hukum. Sayangnya, dalam budaya Indonesia, belum ada bentuk pertanggungjawaban moral bagi yang gagal mengemban tugasnya. Misalnya, mundur dari jabatan.
DPR pun diam saja. DPR, yang biasanya agresif membentuk pansus atau panja, tetap tenang ketika ada buronan menampar wajah penegak hukum Indonesia. Kewibawaan hukum Indonesia runtuh jika hal seperti ini dibiarkan. Tidak boleh ada prinsip uang bisa membeli semuanya. Tak ada jalan lain: skandal ini harus diungkap. Siapa yang membantu pelarian Joko Tjandra harus ditangkap. Jaksa jangan hanya menunggu Joko datang ke pengadilan, tetapi harus memburunya. Kuasa hukum seharusnya bisa diajak bekerja sama.