Kerja Memang Belum Selesai
Selama persoalan ekonomi politik masih terjadi, kita akan berkutat terus dengan problema eksekusi kebijakan. Kemajuan terjadi dalam tempo yang lambat. Demokrasi memang membutuhkan kesabaran dalam mengelola perbedaan.
Jika kapalmu telah rapat ke tepi,
kita akan bercerita
”Tentang cinta dan hidupmu pagi hari”.
Asrul Sani
Apa yang akan kita ceritakan tentang hidup Indonesia pagi hari ketika usianya beranjak 75 tahun?
Kapal memang belum lagi rapat ke tepi dan warna senja belum kemerahan, seperti bait puisi Asrul Sani. Tapi mungkin kita bisa bercerita tentang perjalanan yang belum lagi usai, tentang harapan yang kepergok kenyataan. Indonesia memang sebuah cita-cita yang belum tuntas.
Pada 17 Agustus 2020 kemarin kita merayakan kemerdekaan yang ke-75. Sutan Sjahrir pernah bicara, kemerdekaan adalah sebuah jembatan untuk mencapai tujuan: negara yang menjunjung kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan, menghindari tekanan dan pengisapan, menegakkan keadilan, membebaskan bangsa dari genggaman feodalisme, dan menuju pendewasaan bangsa.
Lalu apa yang harus dicatat tentang hidup negeri ini pagi hari? Seorang kawan pernah berkelakar: Indonesia adalah negeri yang mengecewakan. Ia mengecewakan mereka yang optimistis, yang bersemangat bicara tentang pertumbuhan ekonomi yang akan terbang. Ia juga mengecewakan mereka yang pesimistis, yang dengan waswas selalu bicara bahwa negeri ini akan runtuh.
Seorang kawan pernah berkelakar: Indonesia adalah negeri yang mengecewakan.
Belum selesai
Tahun ini Indonesia masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas (dengan pendapatan per kapita penduduk di atas 4.046 dollar AS). Ini sebuah pencapaian. Namun, kita harus jujur: kerja belum selesai.
Di mana Indonesia berdiri dalam usia yang ke-75 tahun saat ini dibandingkan negara lain? Kita harus membandingkannya dengan negara yang punya karakteristik mirip dengan kita. Misalnya, jumlah penduduk, struktur ekonomi, struktur geografis, dan sebagainya.
Perhitungan saya dengan data Penn World Table (PWT) 9.1 menunjukkan, dalam hal pendapatan per kapita—dihitung dengan pendapatan per kapita relatif (relative income per capita) dalam paritas daya beli (purchasing power parity) terhadap Amerika Serikat—Indonesia lebih baik dibandingkan India yang juga berpenduduk besar, yang juga punya masalah institusi dan punya demokrasi yang berisik serta kualitas infrastruktur yang tertinggal.
Kita juga lebih baik dibandingkan Filipina yang memiliki kesamaan geografis sebagai negara kepulauan. Namun, jika dibandingkan dengan China dan Brasil, yang juga memiliki populasi yang banyak, Indonesia tertinggal. Begitu juga jika dibandingkan dengan Malaysia yang juga banyak memiliki ketergantungan kepada sumber daya alam.
Baca juga: Jalan Panjang Pemulihan Ekonomi
Indonesia sebenarnya sudah masuk ke dalam kelompok kelas berpendapatan menengah tahun 1998. Namun, krisis keuangan Asia membuat kita turun kelas. Lalu dibutuhkan waktu sepuluh tahun untuk kembali ke tingkat tahun 1998. Dan dalam periode 2008-2013 pendapatan per kapita Indonesia meningkat tajam karena boom komoditas dan arus modal masuk. Dari segi ini, prestasi Indonesia cukup baik.
Woo dan Hong (2010) menulis: dalam soal pertumbuhan ekonomi, Indonesia cukup berhasil. Sayangnya, Indonesia tak terlalu cemerlang dalam hal kesejahteraan masyarakat. Hal ini tecermin dari berbagai indikator termasuk, tingkat kematian bayi, pendidikan, dan tingkat harapan hidup dibandingkan negara-negara itu. Selain itu, kita miskin inovasi dalam produk ekspor.
Baca juga: Ekonomi dalam Normal Baru
Dengan kata lain, ekspor kita masih relatif primitif. Kita juga mencatat pertumbuhan ekonomi relatif melambat sejak 1998, dan sumber pertumbuhan bergeser dari investasi dan ekspor kepada konsumsi rumah tangga.
Jika kita ingin agar ekonomi Indonesia berkelanjutan, sumber pertumbuhan ekonomi harus kembali kepada investasi dan ekspor. Ini membutuhkan investasi, infrastruktur, dan sumber daya manusia (SDM) yang baik. Ini adalah resep yang dipilih China, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan negara-negara yang berhasil naik kelas.
Sayangnya, Indonesia tak terlalu cemerlang dalam hal kesejahteraan masyarakat.
Aspek kelembagaan
Kita bukannya tidak tahu soal itu. Berbagai upaya reformasi sudah dilakukan, tetapi kinerja ekonomi belum sebaik pra-1998. Mengapa? Daron Acemoglu dan James Robinson (2012) dalam karya seminalnya, ”Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty”, menunjukkan betapa penting aspek kelembagaan.
Pengelolaan reformasi ekonomi di Indonesia tak mudah karena berbagai persoalan ekonomi politik yang rumit. Sistem demokrasi yang diadopsi Indonesia membuat kita tak bisa membandingkannya secara sederhana dengan China, Vietnam, atau Singapura misalnya.
Baca juga: Beradaptasi Menghadapi Resesi
Tengok krisis 1998, reformasi ekonomi, reformasi politik, dan desentralisasi dilakukan secara bersamaan dengan cara big bang (drastis). Hal ini tak terjadi di negara Asia lain yang mengalami krisis keuangan Asia, seperti Korea Selatan, Thailand, atau Malaysia.
Bagaimana faktor ekonomi politik berperan? Ada beberapa hal yang berpengaruh. Pertama, struktur kekuasaan dan peta politik. Dalam era Soeharto, kekuasaan terpusat pada Soeharto dan orang-orang di sekitarnya.
Dengan kekuasaan yang terpusat seperti ini, garis komando dalam kebijakan menjadi lebih ringkas dan jelas. Ia memberikan kepastian. Kepastian adalah hal penting buat bisnis. Kepastian usaha akan mendorong investasi dan ekspor; dan membuat kinerja ekonomi Indonesia relatif kuat di masa itu.
Walaupun korupsi di era Soeharto relatif tinggi, ia terpusat (centralized corruption) (McLeod 2000). Centralized corruption adalah one stop bribe di mana seseorang atau entitas bisa menjamin persoalan akan lancar.
Reformasi tahun 1998 telah mengubah struktur politik di Indonesia dari otoriter menjadi lebih demokratis. Reformasi politik telah mengubah peta kekuasaan menjadi tersebar dari Soeharto kepada DPR, DPRD, kepala daerah, partai politik, birokrasi, dan sebagainya. Penyebaran kekuasaan ini membuat proses konsolidasi untuk melakukan reformasi menjadi lebih sulit.
Baca juga: Parpol Terasa Jalan di Tempat
Tak hanya itu, ia juga membuat biaya transaksi untuk melakukan reformasi jadi lebih tinggi. Bardhan (1997) menunjukkan fragmentasi kekuasaan ini telah membuat korupsi terjadi di berbagai tingkat (decentralized corruption). Suap mungkin harus dilakukan terhadap beberapa orang, dan tak ada jaminan persoalan akan selesai. Akibatnya, biaya korupsi jadi lebih tinggi dibandingkan pola korupsi yang tersentralisasi karena harus dilakukan berkali-kali. Ketidakpastian meningkat (Kuncoro, 2006)
Kita tahu, kepastian usaha memang amat penting bagi investasi. Namun, prioritas investasi tak boleh mengabaikan persoalan institusi, korupsi, dan HAM. Kita pernah belajar dengan amat pahit. Kasus Indonesia menunjukkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di sektor keuangan, terutama di mana kredit diberikan tanpa analisis risiko yang benar, telah membuat sektor perbankan menjadi rumah kartu yang rapuh.
Acemoglu dan Robinson (2012) menunjukkan institusi yang ekstraktif, di mana keputusan dikuasai oleh oligarki, membawa pada keruntuhan ekonomi. Peraih Nobel ekonomi, Amartya Sen, pernah menulis: sistem pemerintah yang otoriter di China turut bertanggung jawab atas meninggalnya jutaan orang karena kritik terhadap kesalahan kebijakan pangan menjadi muskil dalam sistem otoriter.
Acemoglu dan Robinson (2012) menunjukkan institusi yang ekstraktif, di mana keputusan dikuasai oleh oligarki, membawa pada keruntuhan ekonomi.
Kedua, sistem presidensial dengan banyak partai. Parpol yang banyak tak memungkinkan munculnya mayoritas tunggal di parlemen. Akibatnya, presiden harus bersedia melakukan kompromi untuk mendapatkan dukungan politik di parlemen. Untuk itu, presiden harus membentuk ”koalisi pelangi” di dalam kabinetnya. Kabinet yang dibentuk tidak dapat sepenuhnya berdasarkan meritokrasi karena harus mempertimbangkan kompromi politik.
Dalam kondisi seperti ini, sulit diharapkan sebuah reformasi yang solid dan teknokratik karena terlalu banyak kompromi politik yang dibuat untuk mengakomodasi berbagai kepentingan. Padahal, reformasi kerap harus menghilangkan kepentingan berbagai pihak.
Ketiga, siklus politik. Reformasi yang besar kerap kali membutuhkan waktu yang panjang untuk menunjukkan hasil. Namun, siklus politik yang lima tahun membuat politisi tak tertarik untuk mendorong reformasi yang hasilnya baru terlihat sepuluh tahun atau satu generasi dari sekarang. Alasannya, untuk apa mengorbankan modal politik dengan jadi tak populer jika yang mendapat manfaat nanti adalah penggantinya? Akibatnya, tak ada insentif bagi politisi untuk melakukan reformasi jangka panjang.
Baca juga: Parpol Dituntut Berbenah
Keempat, koordinasi pusat dan daerah. Desentralisasi meningkatkan risiko ketakselarasan antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Basri dan Hill (2010) menunjukkan adanya problema principal-agent di mana agent (pemerintah daerah) bisa tak sejalan dengan principal (pemerintah pusat) karena pemda sekarang dipilih langsung oleh konstituennya. Akibatnya, pemerintah pusat sulit untuk menerapkan insentif dan hukuman terhadap pemda.
Tentu di sisi lain, kita juga harus adil untuk menyatakan desentralisasi telah memunculkan pemimpin potensial dan reformis di beberapa daerah. Sayangnya, jumlahnya masih amat terbatas.
Dimulai dari ”quick wins”
Selama persoalan ekonomi politik ini masih terjadi, kita akan berkutat terus dengan problema eksekusi kebijakan. Kemajuan akan terjadi, tetapi dalam tempo yang lebih lambat. Demokrasi memang membutuhkan kesabaran dan kemampuan mengelola perbedaan pandangan. Lalu bagaimana mendorong reformasi dalam kondisi adanya kendala politik dan institusi seperti itu? Sukses sebuah reformasi akan tergantung pada modal politik dan ruang untuk melakukan reformasi.
Sukses sebuah reformasi akan tergantung pada modal politik dan ruang untuk melakukan reformasi.
Kita perlu ingat, sumber daya politik dan waktu terbatas. Itu sebabnya, prioritas jadi penting. Reformasi yang sifatnya big bang hanya bisa dilakukan jika kita memiliki modal politik yang amat kuat. Masalahnya, modal politik terbatas. Waktu juga pendek karena siklus politik. Karena itu, reformasi harus dilakukan dalam kendala yang ada.
Caranya? Studi saya, ”Reform in an Imperfect World: the Case of Indonesia” (2017), menunjukkan bahwa jika modal politik terbatas dan ada kendala politik serta institusi, maka reformasi ekonomi sebaiknya dimulai dari sesuatu yang mudah. Misalnya, dengan menciptakan hasil cepat (quick wins) yang dampaknya dapat dirasakan segera oleh masyarakat.
Jika masyarakat mulai merasakan dampak positif dari kebijakan itu, kredibilitas pembuat kebijakan akan meningkat, modal politik meningkat, sehingga ia memiliki dukungan untuk melakukan reformasi yang lebih kompleks.
Baca juga: Memformat Ulang Ekonomi Indonesia
Di sisi lain, dukungan masyarakat akan jadi insentif bagi pimpinan politik untuk mendukung pembuat kebijakan melanjutkan reformasinya. Karena itu, reformasi dapat dimulai dari yang paling sederhana, dengan target sederhana, kemudian terus meningkat ke target yang jauh lebih rumit dan sulit.
Kerja memang belum selesai. Belum apa-apa, tulis Chairil Anwar. Ada banyak pencapaian, tetapi kita belum jadi negeri yang adil dan bebas dari kemelaratan seperti bayangan Sutan Sjahrir. Berbagai persoalan menghadang kita saat ini, termasuk pandemi Covid-19.
Kita sadar, sebagian harapan kita terpenggal kenyataan. Toh, kita tak menyerah. Walau sulit, kita mencoba tetap teguh dan ikhlas melanjutkan perjalanan ini.
Lalu, dengan suara tercekat haru, kita berbisik melantunkan bait H Mutahar.
”Dari yakinku teguh
Hati ikhlasku penuh
Akan karunia-Mu
Tanah air pusaka
Indonesia merdeka”
Muhamad Chatib Basri, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia