Menyusun Tatanan Masa Depan Kesehatan di Dunia Baru
Tidak ada peluru ajaib yang dapat mengakhiri pandemi. Masalah dan tantangan yang kompleks tidak mungkin diselesaikan dengan hanya satu alat, dari satu sudut pandang dan oleh satu kelompok aktor pembangunan.
Oleh
Diah S Saminarsih
·5 menit baca
Washington Post mendedikasikan editorialnya 22 Juli 2020 untuk menggarisbawahi sebuah dokumen strategi yang dikeluarkan lembaga filantrofi Rockefeller Foundation. Dokumen ini menegaskan dua cara terbaik untuk keluar dari pandemi: melaksanakan tes sebanyak-banyaknya dan penelusuran kasus seluas-luasnya.
Jalan keluar dari pandemi, demikian ditulis Washington Post, bak antrean panjang kendaraan di jalan bebas hambatan. Alih-alih melaju, saat ini semua kendaraan dalam antrean hanya punya satu pilihan jalan.
Memang, dokumen Rockefeller Foundation merujuk pada kondisi di AS. Namun, mengingat dunia sedang sama-sama berjuang untuk keluar dari pandemi, beberapa langkah konkret yang ditawarkan dalam dokumen itu dapat dipikirkan dan dicoba diaplikasikan pada kondisi global. Terutama karena memasuki bulan kelima pandemi, desakan ekonomi dan politik untuk mengembalikan dunia ke situasi seperti sebelum pandemi, semakin besar.
Saat ini, kecepatan penyebaran virus SARS-CoV-2 berada dalam moda akselerasi. Situation Report WHO menunjukkan, lebih dari 23 juta orang di seluruh dunia terpapar dengan penambahan kasus baru 250 juta lebih dalam 24 jam terakhir. Bandingkan dengan total penambahan kasus baru pada 11 Maret saat pandemi diumumkan, yaitu 4.900 kasus baru per hari.
Saat ini, kecepatan penyebaran virus SARS-CoV-2 berada dalam moda akselerasi.
Beberapa bagian dunia yang sebelum ini telah nampak berhasil mengendalikan wabah dan melonggarkan restriksi belakangan mulai kembali menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Situasi ini kemudian mendorong Direktur Jenderal WHO memberikan pernyataan bahwa ”Dunia tidak akan kembali pada kenormalan lama. Pandemi telah mengubah cara kita menjalani kehidupan. Bagian dari beradaptasi dengan normal baru adalah dengan menemukan cara-cara agar kita dapat hidup dengan aman.”
Baik secara global maupun nasional, kesehatan dan narasi seputar kesehatan jadi sentral percakapan publik. Imbauan cuci tangan dengan sabun, pembicaraan mengenai data, kebijakan, dan anggaran kesehatan menjadi dialog publik sehari-hari. Di ranah kebijakan, mulai tumbuh pemahaman, kondisi kesehatan populasi menjadi pembisa dari berhasil tidaknya pembangunan.
Bila saja ini terjadi dalam situasi tanpa pandemi, sejatinya inilah kondisi yang sejak lama diharapkan para pegiat sektor kesehatan agar health in all policies bisa sungguh-sungguh tercapai. Satu hal yang amat menyedihkan: butuh jutaan orang jatuh sakit dan ratusan ribu lainnya kehilangan nyawa dulu untuk membangun kesadaran bahwa tanpa populasi yang sehat tidak ada target pembangunan dapat dicapai.
Dengan situasi dan modalitas yang ada, fundamental apa saja yang perlu diletakkan untuk merancang desain skenario masa depan setelah pandemi berakhir? Pendekatan paling pragmatis, segera kembali pada kebiasaan sebelum pandemi.
Walau cara ini paling mudah untuk dilaksanakan karena mengembalikan manusia ke zona nyamannya, hampir tak mungkin dikerjakan sekarang tanpa menambah korban jiwa. Mengapa? Karena transmisi virus terjadi melalui kontak erat antarmanusia. Normal lama yang telah terlanjur jadi kenyamanan untuk dikerjakan, tak memutus rantai penyebaran virus.
Normal lama yang telah terlanjur jadi kenyamanan untuk dikerjakan, tak memutus rantai penyebaran virus.
”Reset”
Atau pendekatan kedua, mengambil keterpurukan karena pandemi sebagai kesempatan melakukan reset—mendesain masa depan yang kita inginkan untuk kehidupan manusia setelah pandemi.
Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa dan OECD setidaknya telah sejak 2003 menggunakan metodologi tertentu dalam merancang pembangunannya. Salah satunya, foresight. Dalam makalah ilmiah tentang foresight dijelaskan, arah pergerakan strategis dari berbagai elemen dalam konstruksi sosial negara dibagi jadi Sosial, Teknologi, Ekonomi, Lingkungan, Politik, dan Nilai.
Menelaah dinamika yang terjadi dalam setiap maupun antarelemen tadi; sangat penting memastikan adanya gerakan seirama untuk mencapai prioritas pembangunan maupun pemerintahan. Sering kali masalah yang dihadapi pemerintah tak eksklusif pada kementerian tertentu, tetapi menyangkut banyak kementerian.
Karenanya, membangun visi yang sama, menyetujui trajektori tertentu sebagai rencana misi, dan menyepakati implementasi aksi apa yang harus dilakukan masing-masing maupun secara kolektif-kolaboratif sangat penting. (Miles et al, 2002-2009).
Menilik Indonesia saat ini, menerapkan logika berpikir foresight ataupun futures thinking bisa jadi berguna untuk mengatur alur pikir kita.
Langkah pemindaian cakrawala bisa dipilih untuk memotret wajah wabah di Indonesia. Setidaknya tiga hal yang bisa dijadikan indikator. Pertama, aspek pelaksanaan tes dan penelusuran kontak. WHO memberi standar jumlah tes yang dilaksanakan sebanyak 1 tes setiap 1.000 orang per minggu. Indonesia saat ini 0,4 tes setiap 1.000 orang per minggu. Dengan populasi 267 juta jiwa, Indonesia harus mencapai jumlah tes hingga 40.000 orang per hari.
Kedua, penelusuran kontak yang saat ini masih 6 orang kontak per kasus terkonfirmasi positif (KawalCovid19). Sementara itu, standar WHO meminta penelusuran hingga 30 orang per kasus terkonfirmasi positif.
Ketiga, dari aspek penerapan protokol kesehatan, kita lihat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilonggarkan walau jumlah kasus baru masih terus menunjukkan peningkatan.
Tanpa menafikan pentingnya elemen lain, penekanan pada sektor kesehatan dan penyelamatan sistem kesehatan nasional hendaknya jadi prioritas. Transformasi layanan kesehatan primer dengan fokus pada penguatan puskesmas tepat dipakai sebagai cara delivery yang bisa menyelesaikan pandemi sekaligus berbagai pekerjaan rumah sektor kesehatan.
Imunisasi dan penyakit tak menular; implikasi tertundanya layanan kesehatan esensial karena pandemi seperti pemeriksaan ibu hamil dan pengawasan status gizi anak; peningkatan jumlah tes dan penelusuran kontak sebagai jalan keluar dari pandemi; transformasi layanan kesehatan primer; hingga penyiapan distribusi vaksin; bisa ditempatkan secara strategis di bawah kerangka reformasi sistem kesehatan nasional sebagai salah satu pilar penopang Indonesia masa depan.
Inilah skenario yang memberi arah kebijakan, menata prinsip tata kelola kelembagaan, menavigasi dinamika hubungan antarlembaga dan menjadi basis aksi-aksi yang harus dikerjakan untuk memberikan solusi yang utuh, tepat, dan permanen. Tidak ada peluru ajaib yang dapat mengakhiri pandemi. Masalah dan tantangan yang kompleks tidak mungkin diselesaikan dengan hanya satu alat, dari satu sudut pandang dan oleh satu kelompok aktor pembangunan.
Diah S Saminarsih,Penasihat Senior Dirjen WHO bidang Gender dan Pemuda di Markas Besar WHO Geneva, Swiss. Pendiri CISDI.